Ramadhan Bersama KH Lanre Said
Oleh: Dr. Ilham Kadir, MA.*
KH. Lanre Said. Seorang alim besar, tokoh pejuang dan pendidik
agung, sosok KH. Lanre Said yang ‘mukhlish’
patut menjadi teladan bagi generasi muda Islam zaman
sekarang--Syamsuddin Arif, Ph.D.
***
Tidak diragukan lagi jika KH. Lanre Said adalah salah satu ulama
Bugis yang semasa hidupnya telah banyak melahirkan tunas-tunas harapan bangsa.
KH. Lanre Said lahir di Salomekko 1923 dan wafat di Sinjai 2005, ia mendirikan pondok pesantren
pada tanggal 7 Agustus 1975 dengan 7 santri pada jam 07 di Kampung Tuju-Tuju.
Nama pondoknya, Majelisul Qurra' Wal-Huffazh (MQWH). Jika ditilik secara
historis, tanggal berdirinya MQWH sama persis dengan tanggal dideklarasikannya
Negara Islam Indonesia (NII) oleh Kartoswiryo di Tasikmalaya, Jawa Barat tahun
1949. Apakah itu sebuah kebetulan? Tentu perlu penelitian lebih lanjut. Fokus
tulisan ini akan membahas seputar aktivitas KH. Lanre Said bersama para santri
di Bulan Ramadhan.
Selama penulis hidup dalam asuhan KH. Lanre Said, sejak tahun 1989
hingga 1997, setiap kali masuk Bulan Ramadhan, setiap itu pula diadakan program
khusus yang pada intinya mengoptimalkan Bulan Ramadhan dengan berbagai macam
aktivitas untuk mendukung hafalan para santri. Perlu ditegaskan bahwa sejak
awal berdirinya MQWH memang prioritas utamanya adalah menghafal Al-Qur'an, maka
program-program santri pun diarahkan untuk penguatan hafalan.
Namun pada tahun 1989, alumni Pondok Modern Darussalam Gontor,
Ponorogo mulai berdatangan, maka
dibukalah program Kulliatul Muallimin Al-Islamiyah (KMI) tujuan mereka adalah
menghafal dan mengabdi, penulis merupakan santri pertama. Pada awalnya KMI
hanya belajar dua jam dan dua mata pelajaran setiap harinya, materi utama hanya
berkisar pada bahasa Arab, baik pemberian kosakata (mufradat), penulisan
(khath), dikte (imla'), latihan berbicara (muhawarah), dan menghafal
potongan-potongan kata-kata bijak dalam bahasa Arab (mahfuzhat),
latihan-latihan berbahasa Arab secara komprehensif (tamrin al-lughah), dan
membaca serta memahami cerita dalam bahasa Arab (Al-Muthala'ah). Tapi ketika
Bulan Ramadhan tiba, program KMI diliburkan dan diganti dengan berbagai macam
kegiatan yang diarahkan dan dikendalikan langsung oleh Pimpinan Pondok. Berikut
suasana Ramadhan bersama KH. Lanre Said:
Pertama. Selama Ramadhan, setiap malam para santri wajib ikut salat
taraweh bersama. Santri yang sudah menyelesaikan hafalanya Al-Qur'annya 30 juz
diwajibkan jadi imam. Pada awalnya setiap malam hanya dua santri yang maju jadi
imam taraweh, mereka berdua bergantian. Ada pun jumlah rakaat dalam salat taraweh
hanya delapan yang terdiri dari dua salam.
Satu rakaat bacaannya satu halaman, jadi untuk satu salam harus selesai
bacaan minimal empat halaman. Satu malam, total bacaan dalam salah taraweh
sebanyak empat lembar atau delapan halaman. Untuk salat isya selalunya dipimpin
oleh KH. Lanre Said sendiri atau kadang juga digantikan sama Ustadz Andi
Sudirman Yahya. Sedangkan salat witir cukup membaca tiga surah terakhir di
masing-masing rakaat. Situasi ini penulis rasakan selama dua tahun 1990-1991,
dan ini sudah menjadi amalan rutin tahun-tahun sebelumnya. Namun setelah
bertambahnya santri yang masuk ke MQWH, terutama para santri senior dari PM
Gontor, maka tata cara jadi imam taraweh mengalami perubahan. Jika sebelumnya
setiap salam empat rakaat, maka kini diubah menjadi dua rakaat setiap salam.
Demikian adanya agar lebih banyak santri yang bisa tampil latihan jadi imam
salat taraweh, jika sebelumnya hanya dua, kini bertambah jadi empat. Inilah
yang bertahan sampai sekarang, katanya pernah diubah setelah penulis tinggalkan
pondok, setiap malam bacaan imam satu juz dan khatam selama satu bulan, namun
akhirnya kembali seperti semula. Proses latihan jadi imam di Tuju-Tuju juga
unik, kalau bacaan imam masih seputar juz satu sampai juz tiga Surah
Al-Baqarah, jika imam ada yang salah ucap atau lupa, maka para jamaah berjamaah
membetulkan bacaan imam, karena orang banyak dengan bacaan yang sama dan nada
berbeda, kadang seperti suara lebah, tidak jelas apa yang mereka ucapkan,
akhirnya imam jadi confuse (bingung). Tapi kalau bacaan sudah naik ke atas,
Surah At-Taubah juz 10 misalnya, kadang terdengar tinggal satu suara, KH. Lanre
Said.
Kedua. Program menghafal
untuk para santri tetap jalan di Bulan Puasa, hanya saja jadual setor hafalan
(mangngolo) yang biasanya dilakukan setiap bakda subuh pindah ke bakda taraweh,
para santri diwajibkan mengulang atau menambah hafalan selama dua jam sebelum
dibebaskan beristirahat hingga jelang sahur. KH. Lanre Said sendiri, penulis
saksikan menyediakan banyak waktu untuk membaca Al-Qur'an di Bulan Ramadhan,
berbeda dengan hari-hari biasanya, beliau tidak pernah terlihat secara khusus
membaca Al-Qur'an. Hanya saja, kadang-kadang saling sima'an dengan beberapa
santri yang sudah khatam dan lancar hafalannya. Karena cara mengulang hafalan
di MQWH berpasang-pasangan, maka santri yang paling lancar biasa berpasangan
dengan Lanre Said. Berpasangan dimaksud adalah: dua santri yang menyetor
hafalan, katakanlah yang dihafal halaman 1 dan 2. Maka keduanya harus dihafal,
jika yang satu menghafal halaman 1 maka yang kedua menyimak dan membenarkan
kawannya jikalau ada yang keliru cara bacanya atau mengingatkan jika terlupa,
begitu sebaliknya dan seterusnya. Teori couple dalam takrir hafalan merupakan
pinjaman dari teori Rasulullah ketika menyetor hafalan pada Malaikat Jibril.
Ketiga. Di Bulan Ramadhan, KH. Lanre Said pernah rutin memberikan
kajian kepada para santri dan jamaah. Penulis sempat saksikan pada tahun
1990-1992, ia tampil pada waktu jeda antara Isya hingga Masuk Taraweh,
rata-rata durasi berbicaranya 15-25 menit. Pembahasannya yang masih penulis
ingat adalah kisah-kisah para Nabi, mulai dari proses penciptaan manusia
pertama, Nabi Adam hingga Nabi Muhammad, lalu masuk pada pembahasan alam rahim,
dunia, kubur, kiamat, kebangkitan, padang mahsyar, telaga Nabi, surga dan
neraka. Cara penyajiannya sangat sistematis, kerap dicampur dengan kisah-kisah
isra'iliyat, sering kali juga terdengar aneh dan lucu hingga mengundang tawa
para hadirin. Banyak jamaah dari luar kecamatan dan kabupaten, khususnya dari
Sinjai yang datang taraweh di Tuju-Tuju demi ingin mendengar ceramah Lanre
Said. Sayang karena disajikan dalam bahasa Bugis sehingga para alumni PM Gontor
yang hampir semuanya bukan suku Bugis susah memahami isi kajian Ramadhan itu.
Namun mereka tak kehabisan akal, caranya: ambil tape recorder, rekam, lalu
diterjemahkan. Penulis termasuk bagian dari transleter mereka, walau banyak
juga kosa kata Bugis yang tidak bisa penulis terjemahkan, bukan tidak paham
bahasa Bugis tapi penulis tidak cukup kosakata Bahasa Indonesia, atau baru
belajar berbahasa Indonesia. Tahun 1993
dan seterusnya, Lanre Said tidak lagi tampil memberikan kajian, akan tetapi
didelegasikan kepada alumni PM Gontor yang jumlahnya sama dengan santri KMI
waktu itu. Mereka bergiliran tampil ke depan membawakan ceramah Ramadhan. Lanre
Said sendiri kadang-kadang harus ke luar kecamatan untuk memberikan ceramah
Ramadhan, pernah ke Nangka Palattae yang kini menjadi tempat bertapak Pondok
Pesantren Darul Abrar Palattae sekarang.
Keempat. Suasana dapur juga
cukup unik, semua dikendalikan oleh Andi Siti Nurhasanah Petta Cinnong. KH.
Lanre Said punya dua istri dalam satu waktu, Andi Banunah Petta Paccing di
sebelah Selatan (diattang) dan Andi Siti Nurhasanah Petta Cinnong di sebelah
Utara (diahang). Khusus di Bulan Ramadhan terlihat Petta Cinnong sangat sibuk sebab seluruh
santri yang berjumlah ratusan itu diurus makanannya, kecuali beberapa orang
yang tinggal di rumah Selatan. Untuk ifthar, umumnya santri akan mendapat
masing-masing satu porsi kolak pisang. Setelah salat Magrib dilanjut dengan
makanan berat, tidak sampai di situ, Petta Cinnong juga harus menyediakan
makanan berupa pisang ijo atau barongko dan minuman teh manis kepada seluruh jamaah salat taraweh
setelah selesai salat. Bagi penulis, ini pekerjaan yang cukup berat karena
jumlahnya jamaah cukup banyak dan jenis makanan juga butuh proses cukup lama,
umumnya dikerja dari pagi hingga sore. Petta Cinnong sendiri dibantu sama
santri-santri di lingkaran dapur yang sudah terpercaya, termasuk penulis.
Beliau juga punya ponakan perempuan yang datang menghafal sambil meringankan
beban istri kiai itu. Kadang juga ada orang yang membawa makanan untuk ifthar
para santri, biasanya yang datang membawa gulai kambing dengan nasi putih, jika
begitu maka Pimpinan Pondok dan para santri ketika buka, makan kolak dan
dilanjut dengan santap gulai kambing, kemudian salat Magrib. Sewaktu awal
kedatangan penulis, pernah juga para santri diajak berbuka di rumah penduduk.
Kelima. Jika hari lebaran terjadi dua versi, Pemerintah dan
Muhammadiyah, secara dejure KH.Lanre Said ikut Pemerintah, hari lebaran di
pondok sama dengan pemerintah, tetapi secara defacto Lanre Said sebenarnya
mengakui kebenaran ketetapan waktu lebaran oleh Muhammadiyah, tapi dia juga
punya metode. Katakanlah, pada hari ke-29 Ramadhan sebagai hari terakhir
Ramadhan, maka keesokan harinya, bakda Subuh KH. Lanre Said menyuruh anak-anak
mengecek air laut, apakah pasang atau surut. Karena jarak pondok dengan sungai
yang tersambung ke laut hanya satu kilo, maka segera saja dilaporkan jika air
pasang naik, dan santri tidak lagi disarankan berpuasa, tapi bagi yang berpuasa
pun tidak dilarang. Teori yang menunjukkan jika bulan baru muncul menyebabkan
air laut pasang, ternyata sangat ilmiah. Karena di belahan bumi yang mengalami
bulan baru, jarak air laut dan pusat bulan lebih jauh daripada jarak antara
pusat bumi dengan pusat bulan. Akibatnya, gravitasi bulan menarik bumi lebih
kuat daripada air laut di bagian tersebut. Ini mengakibatkan air laut menggembung terhadap permukaan bumi dan jadilah
pasang.
Keenam. Sebelum MQWH yang akhirnya berubah menjadi Pondok Pesantren
Al-Qur'an Darul Huffadh, sejak berdirinya pondok pasa 7 Agustus 1975 hingga
tahun 1995, para santri menjadikan rumah panggung Pimpinan dimana Petta Cinnong
tinggal menjadi sentra aktivitas santri. Di rumah ini, semua aktivitas
kepesantrenan berlangsung mulai dari tempat tinggal kiai, tempat tinggal
santri, dapur, tempat belajar, tempat shalat, perpustakaan, ruang penerimaan
tamu, dan tempat tamu menginap. Ukuran rumah ini awal kedatangan penulis cukup
sederhana, tidak lebih dari 6x12. Rumah Panggung ini dipisah menjadi 4 bagian,
teras ruang utama, ruang keluarga pimpinan, dan dapur. Awalnya yang digunakan
salat hanya ruang utama, lama kelamaan santri membludak, ruang keluarga dialihfungsikan
sebagai tempat salat. Bahkan tempat imam, persis berada di pintu penghubung
ruang keluarga kiai dengan dapur. Terlihat jelas kesederhanaan Sang Kiai
beserta istrinya yang juga seorang ulama dan hafizhah.
Ketujuh. Suasana Ramadhan bersama KH. Lanre Said jika diperhatikan
pada dasarnya sangat sederhana. Penekanan utamanya sama dengan hari-hari
lainnya, mendorong para santri untuk membaca Al-Qur'an sesering mungkin, dan
mengkhatamkan bacaan sebanyak mungkin. Bahkan kerap penulis saksikan, sekali
duduk saja, ia mampu membaca hingga belasan juz. Walau penulis sendiri belum
pernah bertanya berapa kali khatam di Bulan Ramadhan. Yang penulis pernah
dengar adalah ucapannya yang merupakan jawaban atas orang-orang (termasuk
santri) yang bertanya, Bagaimana bisa dirinya bisa menjaga hafalan padahal di
luar Ramadhan hampir tidak pernah kelihatan secara khusus mengulang hafalan.
Saat itu dia katakan, Orang-orang tidak tau kalau kami dulu sewaktu nyantri
diwajibkan menghafal dengan baca patappulo, atau mengulang hafalan 30 juz
sebanyak 40 kali tanpa henti dan tidak boleh memegang mushaf. "Ketika penulis
masuk hutan, hafalan penulis sudah selesai," lanjutnya suatu saat ketika penulis
bersama beliau. Nyantri dimaksud adalah sewaktu belajar di Madrasah Arabiyah
Islamiyah, Sengkang di bawah asuhan Syekh Muhammad As'ad Al-Bugisi (1907-1952),
dan Syekh Afifi Al-Mishri, nama terakhir merupakan syekh dari mesir yang datang
membantu Al-Bugisi khusus dalam menangani hafalan Al-Qur'an para santri,
termasuk Lanre Said. Bagi yang ingin hafalannya melekat seperti KH. Lanre Said,
maka teori baca patappulo bisa diamalkan. Hutan dimaksud adalah perang griliya,
ketika berhabung dengan pasukan DI/TII di bawah komando Qahhar Mudzakkar.
Terakhir, pahamilah bahwa apa yang penulis tulis sesuai apa yang
pernah penulis alami dan rasakan serta masih lengket dalam ingatan, setiap
santri punya kisah dan cerita yang berbeda. Apa yang penulis alami belum tentu
sama yang dialami oleh santri atau bahkan keluarga dan keturunan Lanre Said
rahimahullah. Semoga tulisan ini memantik inspirasi untuk berbuat baik sebanyak
mungkin, dan lebih khusus mengisi hari-hari di Bulan Ramadhan dengan membaca,
menghafal, mentadabburi dan mengamalkan Al-Qur'an. Wallahu A'lam!
Palirang-Pinrang, 14 Ramadhan 1441H/7 Mei 2020M.
*Alumni Majelisul Qurra' Wal-Huffadh,
Tuju-tuju, menetap di Enrekang.
Comments