Fidyah dan Problematikanya
Ditilik dari sudut bahasa fidyah berarti 'tebusan' dalam sisi
istilah fidyah berarti memberi makan orang miskin sebagai pengganti dari
hari-hari yang dilalui di Bulan Ramadhan tanpa puasa karena tidak mampu dan
sakit. Kata fidyah dalam Al-Qur'an terdapat empat kali, secara khusus menegaskan pengertian dari sisi
istilah di atas ada pada Surah Al-Baqarah ayat ke-184 "dan bagi mereka
yang berat untuk berpuasa wajib membayar fidyah dengan memberi makan seorang
miskin". Tiga ayat lainnya, Surah Al-Baqarah:196, Surah An-Nisa':96, dan
Surah Al-Hadid:15 adalah fidyah dalam
pengertian bahasa.
Dalam tulisan ini, ada beberapa poin terkait fidyah yang akan
diperjelas:
Siapa saja yang boleh berfidyah? Orang muslim yang sakit dan secara
umum ditetapkan sulit untuk sembuh lagi atau kesempatannya untuk sembuh dalam
tahun itu sangat tipis. Atau orang tua atau lemah yang sudah tidak kuat lagi
berpuasa, dua golongan ini yang paling memungkinkan menebus ketidaksanggupannya
berpuasa dengan fidyah.
Selain iu, masuk juga wanita yang hamil dan menyusui apabila ketika
puasa mengkhawatirkan anak yang dikandung atau disusuinya bermasalah jika ia
berpuasa. Namun, jika tidak mengganggu kandungan bagi ibu hamil jika berpuasa,
maka itu lebih baik, demikian pula jika seorang ibu menyusui tapi mampu
berpuasa maka lbih baik berpuasa. Namun jika tidak mampu berpuasa maka mereka
wajib membayar fidyah saja menurut sebagian ulama, namun menurut Imam Syafi’i
selain wajib membayar fidyah juga wajib mengqadha’ (mengganti) puasanya.
Sedangkan menurut pendapat lain, tidak perlu membayar fidyah tetapi cukup
mengqadha’.
Adapun dalilnya bersumber dari Nafi’, bahwa Ibnu Umar radhiallahu
‘anhuma pernah ditanya seputar wanita hamil yang cemas terhadap anaknya [jika
puasa]. Beliau menjawab, “Dia boleh berbuka dan memberi makan orang miskin
dengan satu mud gandum halus sebanyak hari yang dia tinggalkan.” (Hadis Riwayat
Al-Baihaqi dari jalur Imam Syafii dan sanadnya sahih).
Orang yang menunda kewajiban mengqadha’ puasa Ramadhan tanpa uzur
syar’i hingga Ramadhan tahun berikutnya telah menjelang. Mereka wajib
mengqadha’nya sekaligus membayar fidyah, menurut sebagian ulama. Ada pun orang
sakit di Rumah Sakit atau di rumah, tetapi masih berpotensi untuk sembuh maka
cukup menunggu waktu hingga ia sembun total lalu mengganti puasanya tanpa harus
berfidyah, dan kalau ia berfidyah lalu kelak sembuh maka kewajiban untuk
mengganti puasa tidak gugur. Dalam fatwa Lajnah Daimah dusebutkan, “Kapan saja
dokter memutuskan bahwa penyakit yang diderita seseorang yang karenanya tidak
berpuasa tidak bisa diharapkan kesembuhannya, maka dia boleh tidak berpuasa dan
wajib memberi makan untuk setiap harinya satu orang miskin sejumlah setengah
sha’ dari makanan pokok suatu negeri seperti kurma atau yang lainnya, jika
telah memberi makan seorang miskin sejumlah hari-hari yang ditinggalkan maka
itu telah mencukupi”.
Berapa kadar fidyah yang harus dibayar? Di antara ulama seperti Imam As-Syafi’I, Imam
Malik dan Imam An-Nawawi menetapkan bahwa ukuran fidyah yang harus dibayarkan
kepada setiap satu orang fakir miskin adalah satu mud gandum sesuai dengan
ukuran mud Rasulullah. Maksudnya mud adalah telapak tangan yang ditengadahkan
ke atas untuk menampung makanan seperti orang berdoa. Mud adalah istilah yang
menunjuk ukuran volume, bukan ukuran berat. Dalam kitab "Al-Fiqhul Islami
Wa Adillatuhu" karya Wahbah Az-Zuhaily, disebutkan bila diukur dengan
ukuran zaman sekarang, satu mud setara dengan 675 gram atau 0,688 liter.
Sebagian ulama yang lain seperti Abu Hanifah berpendapat seperdua
sha’ atau dua mud gandum dengan ukuran mud Rasulullah atau setara dengan setengah sha‘ kurma atau tepung. Setara dengan memberi
makan siang dan makan malam hingga kenyang satu orang miskin. Sebagian ulama
yang kira-kira seperdua sha’ beratnya 1,5 kg dari makanan pokok. Pendapat lain
mengatakan bahwa fidyah yang harus dibayar sebesar satu sha’ Ini adalah
pendapat dari kalangan Hanafiyah, seperti Imam Al-Kasani dalam Bada’i’i wa
As-Shana’i’. Satu sha’ itu setara dengan empat mud, sama dengan jumlah zakat
fitrah yang dibayarkan. Bila ditimbang, satu sha‘ itu beratnya 2.176 gram. Bila
diukur volumenya, satu sha‘ setara dengan 3,5 liter beras.
Pendapat paling otentik dan layak dijadikan rujukan adalah yang
ditetapkan oleh Badan Amil Zakat Nasional (Baznas) baik di Pusat maupun di
masing-masing daerah. Sebab harga makanan dari satu daerah dengan lainnya di
Inonesia berbeda. Baznas RI menetapkan bahwa kadar fidyah tahun 1441
Hijriah/2020 Masehi di Indonesia secara umum jika dinilai dari harganya Rp.
45.000/hari. Namun Baznas daerah boleh saja berbeda, misalnya Baznas Kabupaten
Enrekang menetapkan besaran fidyah tahun ini Rp. 30.000/hari, lebih murah dari
ketetapan Pusat.
Harus dipahami bahwa fidyah beda dengan zakat fitrah, fidyah
seharusnya dilihat dari makanan yang layak konsumsi untuk sehari bagi satu
orang miskin, artinya makanan siap saji yang lengkap dengan lauk pauknya. Dan
setiap orang, termasuk yang miskin minimal makan dua kali sehari, jika dua kali
makan dengan harga satu porsi Rp. 15.000 maka sehari ia memerlukan Ro. 30.000.
Kesalahan selama ini, karena banyak yang berfidyah hanya mengantar setengah
liter beras ke amil di masjid atau langsung ke fakir miskin. Selain itu, ada
pula yang berpendapat bahwa yang dihitung adalah makanan orang yang tidak
berpuasa, kalau sehari orang sakit tersebut hanya bisa minum dan makan tiga
sendok bubur maka sejumlah itu yang difidyahkan, atau berpendapat bahwa orang
kaya yang sakit bisa menghabiskan jutaan rupiah makanannya perhari, pendapat
ini jelas keliru dan tertolak.
Kapan waktunya membayar fidyah? Sebenarnya pembayaran fidyah
dilakukan setiap hari dimana pada hari itu ia tidak berpuasa. Atau diakumulasi
hingga akhir bulan lalu dihitung berapa jumlah hari dalam Bulan Ramadhan itu ia
tidak mampu berpuasa. Tidak boleh berfidyah sebelum masuk Bulan Puasa, atau
berfidyah diawal atau pertengahan Bulan Ramdhan dengan mengakumulasi sebulan
penuh, walau orang tersebut sakit dan udzur, sebab kita tidak bisa menentukan
umur. Bisa saja yang bersangkutan tutup usia dua hari jelang Bulan Puasa tutup.
Riwayat Sahabat Nabi yang dijadikan rujukan tentang fidyah adalah
cara Anas bin Malik radhiallahu ‘anhu, yaitu ketika dirinya sudah tak sanggup
puasa, beliau membuat adonan tepung dan mengundang 30 orang miskin. Lalu,
beliau kenyangkan mereka semua, (Hadis Riwayat Ad-Daruquthni, dinilai sahih
oleh Al-Albani). Hal ini ia lakukan di akhir Bulan Ramadhan. Namun, fidyah beda
dengan zakat fitrah, sebab jika khatib Idul Fitri sudah naik mimbar maka tidak
sah lagi membayar zakat fitrah. Untuk fidyah boleh dibayar setelah Ramadhan
selesai.
Dibayar kemana? Jika merujuk riwayat Anas bin Malik di atas, maka
dahulu kala, pembayaran fidyah bisa langsung ke fakir miskin. Boleh diberi
makan setiap hari jelang buka pada hari dimana yang bersangkutan tidak puasa
atau diakumulasi sejumlah hari dengan jumlah orang miskin. Tapi kini, cara itu
sudah kurang tepat, sebaiknya dana fidyah disetor ke lembaga pengelola zakat,
infak, sedekah, dan dana sosial keagamaan lainnya, seperti Baznas. Dalam
mengimput dan melaporkan fidyah, ia masuk dalam kategori "dana sosial
keagamaan lainnya". Lembaga zakat resmi memiliki data base golongan fakir
miskin dengan melihat skala
prioritasnya, mendahulukan mereka yang benar-benar butuh uluran tangan. Dengan
demikian maka dana fidyah disalurkan dengan optimal dan akuntabel. Wallahu
A'lam!
Batili-Enrekang, 24 Ramadhan 1441H/17 Mei 2020M.
Oleh: Dr. Ilham Kadir, MA., Peneliti MIUMI/ Pimpinan BAZNAS
Enrekang
Comments