Kopi dan Cinta
Kopi adalah kehidupan, begitu filosofi ayah saya. Ia tidak bisa
beraktivitas tanpa kopi, kebugaran, stamina, kepuasan dan kebahagiaannya ada
pada kopi. Maka, kopi bukan saja sekadar
serbuk hitam dicampur air panas dan gula yang disuguhkan di dalam gelas lalu
diseruput. Kopi panas dalam gelas adalah lambang cinta seorang istri pada
suaminya, dan kesetiaan seorang suami pada pasangan. Penikmat kopi telah
menjadikan kopi sebagai patner pertama memancing dan memantik inspirasi,
sahabat dalam gundah gulana, sugesti untuk berkarir dan berkarya, bahkan
wasilah untuk sukses dan bahagia.
Para penikmat kopi adalah pecinta sejati, ia merayakan cintanya tak
kenal seting ruang dan waktu. Tidak ada artinya hari kasih sayang atau valentine’s
day yang jatuh pada tanggal 14 Februari, persis hari ini di setiap tahunnya
dalam kalender budaya Barat yang memang bertentangan dengan filosofi cinta,
agama, dan adat ketimuran. Cinta sejatinya harus dimaknai dengan ketulusan
mengabdi pada Sang Khaliq, kesanggupan hidup bersama pasangan dengan kondisi
apa pun, suka atau duka. Cinta laksana kopi, pahit tanpa gula, pahit tapi
terasa manis jika bersama gula dengan takaran proporsional. Hiduplah seperti
kopi, ketika ia terlalu manis karena kelebihan gula ia siap dicaci, ketika
pahit karena kekurangan gula ia tetap tegar berkata, Aku kopi yang pahit. Pada
akhirnya, banyak yang jatuh cinta pada kopi karena ketegaran atau kejujurannya,
dan itulah cinta dalam segelas kopi.
Kopi dari sisi etimologi berasal dari istlah Arab, qahwah, lalu berubah menjadi kahve, dari sini
turun menjadi coffee, dan tempat duduk-duduk ngopi sambil berdiskusi
atau sekadar nongkrong disebut 'cafe' atau 'kafe'. Di Indonesia, termasuk
Makassar dan kota-kota sekitarnya kerap menyebut kafe dengan panggilan 'warkop'
atau 'warung kopi'. Di tempat ini, segala urusan dibicarakan, dan segala
keputusan diputuskan, dan berbagai macam masalah diselesaikan, atau sebaliknya,
warung kopi sebagai sumber masalah. Semua tergantung pada siapa yang datang
memburu cinta dalam segelas kopi.
Sejarah kopi
Terlalu sulit menelusuri sejarah kapan kopi itu mulai ada dan
dikonsumsi, lalu siapa tokoh-tokoh yang pertanama memperkenalkan kopi, dan apa
saja hukumnya minum kopi?
Para ahli fikih (fuqaha) dan ulama memberikan sedikit
gambaran awal bahwa manusia yang pertama kali mengonsumsi biji kopi (bunn)
adalah seorang ulama sufi bernama Abu Bakr bin Abdillah Asy-Syadzili ketika
melakukan perjalanan spiritual. Berawal ketika melewati sebuah pohon kopi, lalu
mengambil dan mengonsumsinya, dengan firasat dan instingnya yang tajam
menemukan konklusi bahwa kopi menenangkan pikiran, serta membuat dirinya mampu
terjaga di waktu tidur, lalu mengeluarkan semacam fatwa sederhana kepada para
muridnya untuk ikut jejaknya, Meminumlah kopi agar kuat ibadah dan belajar!
Maka, golongan penikmat kopi harus berterima kasih pada orang sufi
dari jazirah Arabiyah itu, jangan pernah nyinyir dan mencela meraka tanpa
alasan, sebab tanpa mereka kopi tidak akan pernah ada. Misalnya, Syekh Abdul Hayyi
Ad-Dimasyqi menyebutkan,.Muhyiddin Abdul Qadir Al-Bakrawi, seorang ulama sufi
abad kesembilan, pernah mensyarah Shahih Bukhari dan Kitab Shahih
Muslim terang-terangan mempromosikan minuman kopi di Damaskus, akhirnya
kota itu dijejali warung kopi.
Karena ini minuman belum ada di zaman Nabi dan Sahabat, maka pasti memunculkan polemik, kisaran abad
ke-9 dan ke-10, para ulama berselisih paham dalam menghukum minuman kopi,
apakah haram, halal, makruh, mubah, atau sunnah? Ada yang mengharamkan, namanya
Quthb bin Sulthan Al-Hanafi dan Syam dan Ahmad bin Ahmad As-Simbathi dari
Mesir, menurut kedua ulama kesohor ini pada zamannya, ada bahaya yang
ditimbulkan jika meminum kopi, walaupun bahaya yang dimaksud tidak ditemukan
dalam sejarah dunia kopi. Ketika isu
panas tentang keharaman kopi berhembus
kencang lalu menyebar di jagad raya Mesir kala itu, Syekh Zakaria Al-Anshari
sebagai ulama pembaru pada zamannya diminta fatwanya. Syekh Zakaria
mengumpulkan beberapa orang, lalu disuguhi kopi dengam dosis tertentu, untuk
melihat dampak dan reaksi kopi itu. Ternyata hasilnya nihil, tidak ada
perubahan, tahap selanjutnya, dosis ditambah, dan yang terjadi justru para
peminum kopi tambah segar dan semangat, dari sini kopi dihukum halal.
Minum kopi menurut Syekh Ahmad bin Umar Al-Yamani menjadi penyebab
hilangnya rasa malas dan kantuk, bahkan bisa menambah semangat dan stamina
dalam bekerja baik perkara dunia maupun perkara akhirat. Jika minum kopi dengan
tujuan untuk kuat salat di waktu malam (tahajjud), tahan belajar ilmu-ilmu
bermanfaat, berdzikir maka ini termasuk
perkara taqarrub ilallah, atau amalan yang mendekatkan diri pada Allah.
Begitu juga, jika menyeruput kopi untuk melakukan perkara-perkara mubah,
hukumnya pun mubah, jika mengonsumsi kopi untuk tujuan yang makruh maka
hukumnya juga makruh, dan jika meminum kopi untuk melakukan perbuatan haram
maka hukumnya juga haram, artinya hukum perbuatan minum kopi tergantung niat
pelakunya, walau zat kopinya tetap mubah. Pada posisi ini, kopi laksana sebilah
pisau, hukumnya sangat tergantung apa dan diapakan pisau itu.
Karena kopi ditemukan kaum Arab sufi, maka para penganut dan
pengikut (tarekat) sufi banyak meminum kopi. Tokoh sufi berpengaruh, misalnya,
Abu Abdillah bin Ali Al-Yamani, seorang ulama sufi yang sering berfatwa,
Al-Idrusi berkomentar bahwa Al-Yamani selalu meminum kopi malam dan siangnya.
Bukan hanya dimonopoli ulama dan kaum sufi, para cendekiawan pemikir juga
penikmat kopi, berkata Al-Qasimi, Ia minuman para penulis, para guru, para
penelaah kitab [muhaqqiq], para pengajar ilmu-ilmu sastra dan ilmu-ilmu profesi
dan penyair, (Kopi, Sufi, dan Ibadah, Majalah Hidayatullah, Agustus:
2019). Jelas, kopi bagi kaum sufi mampu manjadi media pengantar menuju
kesempurnaan cinta hanya pada Allah, ‘kamaalul-mahabbah’.
Kopi bagi politisi adalah media mengatur strategi, membangun jaringan,
dan mengendalikan negara. Kopi bagi pejabat merupakan media menyusun dan
menetapkan kebijakan, baik untuk kemaslahatan bangsa, umat dan atau kepentingan
golongan maupun pribadi. Bagi petani kopi, adalah sumber kehidupan musiman,
kala panen tiba hidup serasa cukup, seakan dunia begitu adil. Namun kala panen
telah berlalu, bekal menipis dan kebutuhan harus tersedia, kala itu, petani
menjerit. Kopi hanya mahal di kafe, hotel, restoran, di kota-kota besar, tapi
untuk petani hanya mampu bertahan ketika panen.
Kopi bukan sekadar gaya hidup, lambang keperkasaan, lebih dari itu,
ia adalah pemantik inspirasi, sarana kemajuan, sebagai pemupuk kepekaan sesama
utamanya para petani kopi, pada akhirnya, kopi adalah jalan kesuksesan dan
kebahagiaan. Wallahu A'lam!
*Dr. Ilham Kadir, MA. Penulis Novel "Negeriku di Atas
Awan".
Enrekang, 14 Februari 2020.
Enrekang, 14 Februari 2020.
Comments