Pelajaran Menghafal
Oleh: Dr. Ilham Kadir, MA.,
Pendiri Tahfizh Anak Usia Dini, Sahabat Qur’an (Taud SaQu) Nurul Amin, Batili
Enrekang
Everybody is a genius. But if you judge a fish by its ability to climb a
tree, it will live its whole life blieving that its stupid. [Setiap orang
dilahirkan jenius, tapi kalau kamu mengukur kemampuan ikan dengan kemampuannya
memanjat pohon, maka seumur hidup dia bakal pikir dia bodoh]
--Albert Einstein--
Sejak duduk di Sekolah Dasar (SD), ukuran kecerdasan seorang murid memang
selalu dinilai dengan kemampuan seorang murid untuk menjawab soal matematika
dengan baik dan lancar. Karena itu, murid-murid yang tidak bisa menyelesaikan
pertanyaan seputar ilmu hitung-menghitung dianggap anak bodoh.
Ketika duduk di kelas satu dan dua SD 288 Watangcani, Bone. Saya dicap
sebagai murid yang paling bodoh. Setiap belajar matematika setiap itu pula saya
dapat angka nol atau 'telur itilk'. Paling tinggi dapat angka duapuluh (20).
Ketika tiba di rumah, saya ditanya, dapat nilai berapa? '20' jawab saya.
"Owh, itu itik bertelur!" Kata, Orang tua dan teman-teman.
Jujur, saya tidak tau kenapa begitu tidak suka dan terlanjur benci dengan
ilmu matematika. Sampai-sampai saya tidak mau mengikuti pelajaran tersebut.
Kerap kali saya minta dipukul. "Bu Guru, pukul saja saya, karena saya
tidak mau mengikuti pelajaran ini. Saya janji tidak akan mengganggu
teman-teman," pintaku. Plak, plak! Penggaris itu mengenai betis saya,
sakit dan perih. Saya menepi ke tempat duduk belakang, membuka pelajaran lain.
Pak Fajaruddin, wali kelas saya ketika duduk di kelas empat. Dia yang
pertama kali menemukan kemampuan saya. Tahun pertama mogok di kelas empat,
tahun kedua langsung naik jadi rangking ketiga. Tentu, pihak sekolah kaget,
sebab saya satu-satunya murid yang paling sering mogok. Kelas satu sekali,
kelas dua dua kali dan kelas empat sekali. Total empat kali mogok.
Pak Fajaruddin melihat bahwa saya punya kekurangan dalam ilmu berhitung,
tapi saya lebih mudah dan cepat menghafal. Pelajaran-pelajaran yang membutuhkan
hafalan sangat mudah saya serap. Umumnya materi ajar saya hafal lalu pahami,
bukan sebaliknya. Dan pelajaran yang paling saya suka adalah Pelajaran Moral
Pancasila (PMP) yang dijabarkan dalam Pedoman Penghayatan dan Pengamalan
Pancasila (P4). Kerap saya ikut lomba-lomba cerdas cermat tingkat SD.
***
Tamat SD, ayah lalu mengantar saya kepada seorang ulama besar, Anregurutta
Haji Lanre Said. Orang Bugis menyebut anregurutta, gurutta, dan panrita kepada
para ulama yang dikenal memiliki kedalaman dan pengamalan ilmu agama.
Tujuan utama saya dibawa berguru dan diasuh oleh Anregurutta untuk
menghafal Al-Qur'an. Memang nama pondoknya hanya diperuntukkan untuk para
penghafal, Majelisul Qurr' wal Huffazh namanya. Kalau diartikan menjadi
"Tempat tinggal bagi para penghafal dan ahli qira'at
Al-Qur'an". Saya diresmikan jadi santri penghafal pada Senin 07
Agustus 1989 di rumah kediaman Anregurutta Lanre Said sekaligus sebagai masjid,
asrama, dapur, dan tempat menghafal. Sentra aktivitas! Kelak pondok ini
berkembang pesat sehubungan dibukanya program Kulliatul Mu'allimin al-Islamiyah
atau KMI, sistem yang diadopsi dari Pondok Modern Darussalam, Gontor.
Tahun pertama saya hanya mampu menghafal 3 juz, masalah utamanya bacaan
belum lancar dan belum punya trik khusus. Tahun kedua dan ketiga selesai 30
juz, walaupun tidak mutqin. Setelah itu saya mengulang dan sempat khatam kedua
kalinya sebelum selesai belajar lalu merantau.
Saya rasakan, sampai saat ini, ada banyak kemudahan dalam bejalar, bagi
saya semua itu disebabkan karena pernah menghafal Al-Qur'an. Pelajaran yang
pernah saya pelajari tidak mengalami kendala. Baik semasa kuliah di Malaysia,
maupun di Indonesia, untuk penyelesaian studi tepat waktu.
***
Pengalaman sewaktu mondok menunjukkan bahwa kebanyakan materi ajar selain membutuhkan
pemahaman memang harus dihafal. Salah satu contoh adalah ilmu sharf, mungkin
bisa diartikan sebagai ilmu morfologi. Ilmu ini harus dihafal kalau tidak, Anda
akan kesusahan mengetahui asal sebuah kata dalam Bahasa Arab.
Karena semua kata dalam bahasa Arab itu punya asal usul, maka untuk
mengetahui dari mana akar sebuah kata, harus menggunakan pisau sharaf.
Contohnya. Kata "maktab" berarti "meja". Akar kata
"maktab" bisa kita cari dengan ilmu morfologi yakni dari kata
"kataba" yakni "menulis". Maktab adalah tempat menulis.
Arti maktab terus berkambang, bisa bermakna perpustakaan, kantor, bahkan
institusi pendidikan. Tapi satu kata dasarnya, tempat menulis dan menyimpan
tulisan serta belajar. Begitulah uniknya Bahasa Arab. Butuh hafalan dan
pemahaman. Bagaimana dengan Bahasa Inggris? Tetap butuh hafalan, contohnya,
kita kenal dengan "irregular verb" atau kata yang tidak beraturan.
Seperti "awake-awoke-awoken" berarti "bangun". Ada pun
regular verb hanya butuh dihafal asal katanya maka selanjutnya mengikuti pola
penambahan huruf 'e dan d'. Misalnya "box" jadi "boxed"
yang berarti kotak.
Belum lagi berbicara masalah kemampuan menghafal setiap kosa kata. Umumnya
di pesantren untuk para pemula harus menghafal seribu kosa kata bahasa asing.
Baik Arab maupun inggris. Jadi pada tahun awal santri sudah wajib hafal minimal
duaribu kata. Sebab rumus untuk bisa berbahasa asing minimal menguasai kata
benda dan kata kerja seribu kata.
Ini baru bahasa, saya belum bahas ilmu duabelas yang pernah saya pelajari
sekaligus menjadi dasar seorang santri jika kelak ingin jadi seorang ulama yang
memahai ilmu alat dan ilmu agama secara mendalam. Ilmu duabelas dimaksud
adalah: nawhu, sharaf, bayan, badi', ma'ani, fikih, ushul fiqh, tafsir, hadits,
ulumul-hadits, tauhid, manthiq.
Dua belas ilmu di atas selain butuh pemahaman juga banyak yang butuh
hafalan. Apalagi terkait dengan kaidah-kaidah tertentu sebagaimana yang tertera
dalam ilmu ushul-fiqh. Atau pelajaran hadits, tentu sebaiknya dihafal, sebab kelak
kalau sudah masuk di tengah masyarakat, penilaian akan kedalam ilmu seorang
ulama adalah kemampuannya memaparkan dalil-dalil agama dan pendapat-pendapat
ulama muktabar lalu mengambil kesimpulan.
Bisa dibayangkan bagaimana susahnya jika seorang ulama ditanya tentang
persoalan hukum bersuci lalau berkata, Besok saya jawab, saya pulang dulu buka
kitab. Sementara sang penanya sedang butuh kepastian hukum saat itu juga. Kasus
semacam ini tidak boleh terjadi, dalam epistemologi fikih kita kenal kaidah, ta'khiir
al-bayaan an syai'in haajah laa yajuuz. Mengulur-ulur jawaban yang dibutuhkan
penanya adalah tidak dibolehkan!
Akhirnya, siapa pun yang mengatakan bahwa "Kita tidak butuh anak yang
jago menghafal" demi mencapai kemerdekaan belajar adalah pernyataan sesat
dan serampangan, walau itu diucapkan seorang Menteri Pendidikan. Sebab dalam
hidup ini terlalu banyak yang harus dihafal, makin jago kita menghafal tentu
makin bagus. Konyol kalau nama anak dan nomor handphone istri saja kita lupa.
Khusus untuk Al-Qur'an, salah satu bentuk mukjizatnya adalah mudah dihafal,
dengan begitu banyak orang yang bisa hafal. Akibatnya, bisa diterka, akan tidak
bisa dipalsukan. Kurang satu titik saja pasti ketahuan, dan untuk menjadi
seorang jago dan kuat dalam menghafal, mulailah dengan menghafal Al-Qur'an.
Selain mendapatkan pahala, hidup bersama Al-Qur'an adalah nikmat yang tidak ada
bandingannya. Inilah yang disitir dalam Surah Al-Qamar: 17. "Dan
sesungguhnya telah Kami mudahkan Al-Qur'an untuk pelajaran, maka adakah orang
yang mengambil pelajaran?” (QS. Al-Qamar: 17).
Jika Anda tidak mau dan tidak bisa menghafal Al-Qur'an, maka cukup arahkan
anak-anak kita untuk menghafal dan mencintai Al-Qur'an. Minimal jangan nyinyir
terhadap generasi yang sedang tumbuh berkembang bersama firman Allah. Kelak, di
hari pembalasan, Al-Qur'an yang kita baca dan hafal akan jadi penolong,
percayalah!
Batili-Enrekang, 19 Desember 2019.
Comments