Habibie dan Nasionalisme
Terlalu banyak peristiwa yang terjadi pada tahun 2019 ini, mulai
dari Pileg dan Pilpres yang pertama kali dihelat secara serentak pada 17 April,
dilanjutkan dengan sumpah jabatan para anggota dewan terhormat di Senayan 1
Oktober, hingga pelantikan Presiden pada tanggal 20 Oktober. Namun, dari
seluruh peristiwa penting di atas, bagi saya, yang paling menyita dan menyentak
adalah wafatnya Habibie pada 11 September.
Habibie yang bernama lengkap Prof. Dr. Ing. Bachruddin Jusuf
Habibie lahir di Parepare, 25 Juni 1936 dan wafat di Jakarta 11 September 2019.
Ia merupakan wakil presiden ke-7 dan menjadi Presiden Republik Indoneisa ketiga
menggantikan Suharto. Habibie menjadi presiden cukup singkat, hanya satu tahun
lima bulan atau sekitar 517 hari, setelah resmi disumpah menjadi presiden pada
21 Mei 1998, dan berhenti pada tanggal 20 Oktober 1999.
Habibie mengundurkan diri sebagai presiden dan
dalon preseiden bukan tanpa alasan. Bermula ketika Amien Rais yang
menjabat sebagai Ketua MPR,
laporan pertanggungjawaban BJ
Habibie ditolak mentah-mentah,
lantaran dianggap tak mampu menjalankan tugas sebagai presiden dengan baik. Gejala penolakan itu sudah terlihat saat Habibie melangkahkan
kaki ke ruang sidang MPR pada 14 Oktober 1999. Tak seperti pemimpin negara lain yang
disambut hormat, ia justru mendapat sorakan ejekan ‘huuuuu’ dari hampir semua orang terhormat di dalam ruangan gedung terhormat itu. Tak sampai di situ, sebuah media
cetak nasional memuat karikatur menggambarkan bahwa Habibie terkena pukulan KO
(knockout) dalam ring tinju. Seakan-akan pemimpin besar itu adalah
pendosa besar melebihi begal. Dan, itulah kebodohan bersejarah yang pernah
diukir orang-orang (tidak) terhormat yang bertempat di tempat terhormat.
Fakta ini harus ditulis agar selalu diingat
untuk dijadikan pelajaran, bahwa setiap zaman, muncul orang-orang besar dengan
jiwa besar dengan cara berpikir yang besar jauh melebihi zamannya. Tapi
pengkhianat selalu ada, dikala para bandit dan pengkhianat lebih banyak dan
menguasai podium dan corong, maka mereka yang berkuasa lalu menyingkirkan siapa
pun penghalang untuk menggapai ambisi sesatnya.
Habibie, sesuai namanya, bermakna ‘kekasihku’,
adalah lambing cinta, kesetiaan, pengorbanan, pengabdian, ketulusan, terpatri
dalam satu simpul nasionalisme. Baginya, Indonesia adalah tempat mencurahkan
segala kemampuan untuk kemaslahatan bangsa. Habibie sendiri, bagi jiwa dan
raganya merupakan sebuah miniatur dan simbol kegigihan, penuh kesabaran untuk
mengabdi pada agama, bangsa, dan negara. Kehadirannya kadang tidak disadari
bahkan dicemooh, tapi ketiadaannya menjadikan bahtera tanpa arah tujuan,
terombang ambing, lalu dihempas oleh badai. Miris!
Orang-orang hebat, jika hidup dalam kerumunan
pecundang maka ia seperti liliput. Orang-orang besar justru disadari
keberadaannya ketika telah tertimbun dalam tanah dan hidup tenang di alam
barzakh. Para pecundang akan tetap jadi pecundang. Dan, mereka yang cerdas dan
visioner kadang hadir di saat yang salah. Sementara Habibie, lahir di saat yang
tepat namun hadir dalam lingkungan pecundang. Akhirnya, ia mengalah dan menepi
dari dunia politik, lalu membesarkan bangsa dengan caranya sendiri. Begitu
pahlawan sejati. Kekasihku!
Pelajaran dari Habibie
Sengaja saya menulis tentang Habibie lebih
lambat dari teman-teman penulis lainnya. Saya tau psikolosi masyarakat
Indonesia secara mainstream. Reaktif. Karena itu, isu-isu tertentu cepat
meledak dan pada saat bersamaan, cepat sirna. Bak bunga mawar, cepat mekar dan
segera layu. Ketika berita kematian Habibie muncul, penulis dan pemberita
berlomba menulis tentang Habibie, setelah itu redup dan sekarang nyaris
terlupakan.
Saya ingin agar Habibie tetap ada. Semangat dan
jiwa patriotnya tersemat di sanubari kita semua, bangsa Indonesia. Dikala
sebagian orang dengan lantang berteiak, Saya nasionalis, Saya Pancasila, Saya
NKRI, tapi di saat yang sama membunuh usaha-usaha Habibie dalam memerdekakan
bangsa ini dalam kemandirian ekonomi dan berdaulat, sesungguhnya ucapan
patriotisme di atas laksana tong kosong nyaring bunginya.
Saya tidak pernah mendengar Habibie berkata,
Saya Pancasila, Saya NKRI, tapi jiwa patriotismenya tidak bisa kita ukur dengan
apa pun. Inilah yang disitir oleh Ibn Katsir, Kaadas-saariq yaquul, khuzuuni,
Biasa itu pencuri mengatakan tanpa sadar, tangkap saya. Kenapa bisa jadi
demikian, karena terlalu berbelit-belit dalam pembelaan akan dirinya yang
menunjukkan kalau sesunggungnya apa yang ia katakana adalah sebaliknya.
Terlalu banyak jasa Habibie buat Indonesia,
jujur, saya tidak punya mesin penghitung untuk itu. Tapi karena saya
diamanahkan menjadi salah satu amil zakat, maka akan lebih baik kalau saya
angkat salah satu kiprah Presiden Ketiga itu terkait lahirnya Undang-Undang
Nomor 38 tahun 1999 yang ditandatangani pada 23 September. Pria penikmat
barongko ini yang pertama kali memasukkan zakat sebagai instrumen yang penting dalam penegakan syariat Islam dan
melakukan pemberdayaan ekonomi sehingga harus diatur oleh negara. Dia pemimpin pertama yang berani
ambil resiko dengan menandatangani Undang-Undang
pengelolaan zakat.
Secara philosofis, UU No. 38/1999 lahir dari
keinginan masyarakat muslim Indonesia agar mereka yang ingin menjalankan
syariat agama Islam yakni berzakat supaya difasilitasi oleh negara. Maka negara
lalu membentuk badan khusus yang mengurus masalah zakat, dikenal dengan Badan
Amil Zakat Nasional atau BAZNAS. Kecuali itu, masyarakat umum juga diberi
keleluasaan untuk mendirikan lembaga amil zakat swasta yang disebut LAZ (Lembaga
Amil Zakat). Dulu lembaga zakat swasta yang paling dikenal adalah Dompet
Dhu’afa, namun seiring berjalannya waktu, lembaga zakat swasta terus bertambah dan berkembang.
Kini BAZNAS sudah jauh berkembang. Tugas
utamanya, menghimpun zakat, infak, sedekah dan dana sosial keagamaan lainnya.
Lalu mendistribusikan dan mendayagunakan dengan tepat sasaran. Alur dan
aturannya tetap mengacu pada philosofi al-Qur’an yakni Surah at-Taubah ayat 60,
bahwa peruntukan untuk zakat tidak boleh keluar dari delapan golongan: Fakir,
miskin, amil, muallaf, riqab (hamba sahaya), bangkrut dan dililit utang, yang
berjalan dan berjuang di jalan Allah, dan para musafir yang kehabisan bekal. Gonjang-ganjing
tentang dana zakat dipakai untuk infasruktur itu tidak benar bahkan konyol.
Dari dulu sampai sekarang, zakat tetap dan akan terus disalurkan pada delapan
golongan di atas. Yang mungkin didiskusikan pemanfaatannya selain dari golongan
tetap di atas adalah dana infak dan sedekah.
Keberadaan lembaga zakat yang membuka jalan
bagi umat Islam menjalankan syariat zakat adalah amal jariyah bagi Habibie dan
menteri agama pada zamannya yang tidak pernah terputus. Bangsa ini telah
berhutang budi begitu besar pada beliau, termasuk para penggiat zakat di tanah
air.
Karena saya menulis tentang Habibie, maka saya tutup dengan
mengutip salah seorang pakar internsional—sebagaimana dikutif Majalah
Hidayatullah edisi Oktober—yang lahir dari kebijakan Sang Teknokrat, namanya Kaharuddin
Djenod Daeng Manyambeang, katanya. Mindset pemerintah itu pengadaan. Orde
manapun begitu, kecuali era Pak Harto dan Pak Habibie yang memiliki mindset
masa depan. Selain itu, kita masih banyak kepentingan. Apa pun kebijakannya,
semua driven by politic. Ini yang membuat kita tak pernah bisa besar.
Kebijakan Habibie yang sangat strategis satu persatu dihabisi. Misalnya
terbaru, Krakatau Steel (pabrik baja). Padahal industri strategis wajib ada dan
dikuasai untuk membangun peradaban. Kata Pak Habibie, Jika mau menjadi negara
besar kuasai maritim dan dirgantara. Sejak selesai Pak Harto dan Pak Habibie
semuanya sudah berbeda.
Kaharuddin berkisah bahwa suatu saat perusahaannya ikut lelang
desain kapal yang diadakan pemerintah RI. Bersainglah dengan perusahaan luar
negeri. Keluar sebagai pemenang adalah perusahaan dari Jepang. Ternyata
perusahaan dari Jepang itu minta tolong kepada Kaharuddin untuk mengerjakan
desain kapal yang diminta Indonesia.
Melihat narasi di atas, ada baiknya kalau kita belajar nasionalisme
dari orang Jerman prinsipnya, Salah atau benar, jika ini negaraku, akan aku
dukung. Right or wrong, it’s my country!
Enrekang, 11 Desember 2019.
TRIBUN TIMUR 13 Desember 2019.
Comments