Zakat Mereduksi Radikalisme
Oleh: Dr. Ilham Kadir, MA.*
Saat ini, tidak ada yang lebih seksi untuk didiskusikan selain
radikalisme, cadar, dan cingkrang. Demikian adanya sebab salah satu misi dari pemerintahan
Jokowi-Ma’ruf priode 2019-2024 yang ditopang oleh para menteri di bawah
‘Kabinet Indonesia Maju’ adalah memberantas radikalisme. Dan, beberapa menteri
memang fokus pada proyek tersebut, mulai dari Menkopolhukam, Mahmuf MD, Menteri
Agama, Jenderal Fachrul Razy, Menteri Dalam Negeri, Jenderal (Pol) Tito
Karnavian, hingga Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Nadiem Makarim
bahu-membahu dalam memberantas radikalisme.
Namun, yang paling fenomenal tentu saja dari Menag Fachrul Razy
yang ingin menertibkan ASN yang mengenakan cadar dan cingkrang sebab pemakainya
disinyalir banyak yang telah terpapar isu radikalisme. Buntut dari cadar dan
cingkrang hingga akhirnya wakil rakyat memanggil Menteri Agama ke Senayan. Di
sana, Anggota Komisi VIII DPR RI Ali Taher memberi wejangan kepada Sang
Jenderal, katanya, Jangan lagi muncul isu-isu radikalisme. Kalau tidak ada
radikalisme, tak pernah ada (Raja) Namrud berjumpa dengan (Nabi) Ibrahim. Jika
tidak ada radikalisme, (Nabi) Musa tidak akan bertemu Firaun. Jika tidak ada
radikalisme, maka (Nabi) Muhammad tidak akan bertemu dengan Abu Lahab!
(detik.com, 7/11/2019).
Setelah itu, Manag secara sadar memaklumi kekeliruannya. Lalu
apakah polemik radikalisme telah selesai? Tentu tidak. Mereduksi paham
radikalisme adalah tungas kita bersama, segenap rakyat Indonesia. Tulisan ini bermaksud
mengetengahkan salah satu solusi dalam membasmi radikalisme.
Cadar dan Cingkrang
Dalam acara World Zakat Forum di Bandung (5-6/11/2019),
Wakil Menteri Agama, Zainut Tauhid secara terang-terangan menegaskan bahwa
zakat dapat mencegah radikalisme. Bernarkah demikian?
Secara sederhana radikalisme dimaknai sebagai sebuah ideologi yang
bersumber dari paham keagamaan. Jika ditilik secara historis tentu radikal
dalam beragama adalah sebuah keniscayaan, sebagaimana akar katanya, bahwa radix
atau radici diartikan sebagai akar. Artinya orang beragama memang
seharusnya pemahaman keagamaannya harus mengakar yang tergambar dalam rukun
iman dan Islam. Jadi pada mulanya, umat Islam yang menjalankan agamanya
sebagaimana yang dicontohkan oleh Nabi dan para sahabat serta generasi
setelahnya adalah golongan radikal dalam artian positif karena memahami dan
mengamalkan agama sebagaimana mestinya.
Seiring berjalannya waktu, generasi sahabat dan dua generasi
setelahnya, (tabi’in, dan tabi’tabi’in) banyak
yang telah wafat sehingga banyak golongan yang bermunculan. Satu golongan
dengan lainnya saling mengklaim kebenaran. Di sinilah masalah itu bermula.
Dimulai dengan adanya golongan yang menginginkan supaya pendapatnya dijadikan
mazhab resmi negara, dan siapa pun bertentangan akan ditumpas habis-habisan,
sebagaimana yang terjadi di Irak pada abad ke-2 Hijriah yang menjadikan aliran
Mu’tazilah sebagai mazhab resmi negara, yang mana aliran itu bertentangan
Ahlussunnah wal-Jama’ah. Orang-orang yang mencela Mu’tazilah dianggap radikal
dan harus ditumpas. Aliran sempalan semacam ini tumbuh subur dan saling
menegasi, sebut saja sempalan Khawarij, Qadariyah, Jabariyah, Syiah-Rafidhah,
daftarnya terlalu banyak.
Benih-benih ghuluw atau terlalu berlebihan dalam beragama
adalah radikalisme tulen. Golongan ini selalu memaksakan kehendak bahwa mereka
berada pada pihak kebenaran, dan selain dari mereka akan celaka dan masuk
neraka. Karena menganggap golongan lain semua celaka, maka yang ada di benak
dan matanya adalah komunitasnya sendiri. Mereka sangat tertutup dari luar dan
sangat terbuka dari dalam. Pada tahap tertentu golongan ini tidak akan menikah
kecuali dengan golongannya sendiri, dan maharnya cukup sepotong roti.
Lebih konyol lagi, sesama pemakai cadar dan cingrang tapi saling
tahdzir atau menyalahkan dan menyesatkan alias cela-mencela sesama Ahlussunnah.
Jika dengan mereka saja sudah saling tunjuk hitung menyesatkan satu dengan
lainnya, maka siapalah kita-kita ini yang baru mulai belajar agama. Tentu jauh
lebih sesat di mata mereka, komunitas ini sangat terkenal dengan sebutan ‘bani
tahdzir’ dekat-dekat dengan ‘bani isra’il’.
Tugas pokok dalam dakwahnya adalah ‘nyinyir’ dan ‘nyinyir’, tiada
hari tanpa nyinyir, mereka hanya berhenti ‘nyinyir; jika tidur dan mati. Ciri
lainnya, mengharamkan demokrasi sama dengan harammnya makan babi. Tidak boleh
memilih pemimpin dengan sistem voting tapi dianjurkan angkat senjata jika
pemimpinnya kafir dan menghalangi umat Islam menjalankan syariatnya. Termasuk
mengharamkan ikut pemilu legislatif, namun jika undang-undang bertentangan
dengan syariat atau bahkan menghalangi umat Islam menegakkan syariat juga harus
diperangi. Golongan ini secara acecoris pakaian memang banyak yang bercadar
bagi wanitanya dan lelakinya sudah pasti cingrang.
Saya sangat sepakat bawa pakaian tidak selalu singkron dengan ideologi, artinya seorang radikalis sejatinya tidak bisa diukur dengan cadar dan cingkrang, sebab banyak oknum bercadar ternyata waria, dan celana cingrang kini menjadi fashion nyentrik bagi sebagian lelaki modern tanpa memandang agama, dan suku bangsa.
Juga, golongan ini paling getol melawan kebijakan pemerintah yang telah memutuskan memberlakukan zakat penghasilan (profesi) bagi mereka yang berpenghasilan tetap dan gajinya jika diakumulasi selama setahun (haul) telah memenuhi nishab namun dapat dibayar perbulan.
Saya sangat sepakat bawa pakaian tidak selalu singkron dengan ideologi, artinya seorang radikalis sejatinya tidak bisa diukur dengan cadar dan cingkrang, sebab banyak oknum bercadar ternyata waria, dan celana cingrang kini menjadi fashion nyentrik bagi sebagian lelaki modern tanpa memandang agama, dan suku bangsa.
Juga, golongan ini paling getol melawan kebijakan pemerintah yang telah memutuskan memberlakukan zakat penghasilan (profesi) bagi mereka yang berpenghasilan tetap dan gajinya jika diakumulasi selama setahun (haul) telah memenuhi nishab namun dapat dibayar perbulan.
Lalu di mana peran zakat? Wajib diketahui bahwa fungsi zakat adalah
ibadah maaliyah ijtima’iyah, ibadah yang berdimensi sosial. Tujuan utamanya
ada dua, menumpas kemiskinan akidah dan wawasan keagamaan dengan mengambil dana
dari golongan fii sabilillah salah satu yang berhak menerima zakat.
Kedua, radikalisme muncul karena ketidak adilan sosial bagi seluruh rakyat
Indonesia atau antitesa dari sila kelima Pancasila.
Maka, dana zakat harus dioptimalkan dalam menyebarkan dakwah
rahmatan lil-alamin. Islam yang hakiki, teguh memengang prinsip keimanan dan
ketauhidan tanpa menyekutukan Allah, dan menjadikan Rasulullah sebagai teladan
dengan cara beribadah sesuai apa yang dicontohkan Nabi tanpa menambah-nambah
ajarannya. Menjadi panutan bagi umat lain, lembut tutur kata, sikap yang ramah,
namun teguh pendirian, dan itu semua harus ditopang dengan ilmu agama yang
mapan dan keikhlasan niat beramal, itulah dimaksud dengan ‘minhajul muslim’,
gaya hidup dan tujuan seorang muslim.
Demikian pula dalam menegakkan keadilan ekonomi, masyarakat kecil
yang berada pada golongan fakir miskin yang masuk kategori prioritas utama
menerima zakat, harus diangkat martabatnya, dibantu untuk mendapatkan life
skill, atau modal usaha dan pendampingan agar bisa berdaya dan hidup layak.
Ada pun bagi mereka yang sudah tak mampu berdaya, maka wajib diberi santunan
demi kelangsungan hidup mereka. Jika itu terwujud, yakinlah bahwa radikalisme
akan musnah di bumi Indonesia. Wallahu A’lam!
Enrekang, 19 Nopember 2019.
Comments