Tragedi Wamena
Oleh: Dr Ilham Kadir, MA., Peneliti MIUMI; Dosen STKIP Muhammadiyah Enrekang
Bunuh dia, bakar dia! Begitu teriak para perusuh di Wamena dengan
jumlah ratusan, di tangan mereka tombak, busur, parang dan bensin, ujar Dewi
(30) ketika berada di mes yang dihuni lebih dari dua puluh orang itu, ia tidak
tau mau buat apalagi. Mereka mengepung mes tempat tinggalnya, lalu dibakar. Ada
dua orang yang mencoba keluar dari pintu, langsung dibacok dan dibakar. Mobil
truk tiga unit ikut dibakar. Mereka yang berada di dalam rumah pun hanya
menunggu maut. Terlintas dalam benaknya untuk sembunyi
di dalam kandang ayam yang tersambung ke rumah. Ketika perusuh itu hendak masuk
ke kandang, dihalangi oleh drum besar. Ketika itu, anak, adik, dan iparnya yang
tidak ikut sembunyi di kandang ayam hangus terpanggang. Ketika api menjalar ke
kandang ayam, tetiba dua das tembakan berbunyi.
Ternyata polisi datang, perusuh pun bubar. "Wajah mereka hampir
sama, sebagaimana muka orang Papua, terlihat mereka mayoritas mengenakan
pakaian putih abu-abu seperti SMA padahal postur tubuh dan mukanya terlihat sudah
berumur," tutur Dewi dengan mata berkaca-kaca ketika kami mengunjungi
mereka Desa Tuncung, Kecamatan Maiwa
Enrekang.
Dewi beserta
keluarganya yang berjumlah 23 orang telah tiba di kampung asal mereka, Maiwa,
Enrekang. Saat kerusuhan, empat dari keluarga Dewi jadi korban,
yakni adiknya Rustam (33), iparnya Irma Sirajuddin (24), ponakannya Ilmi (2) serta
anak kandungnya Erwin (17), (tribun.timur, 03/10/2019).
Kerusuhan yang terjadi pada hari Senin 23 September 2019 itu menimbulkan korban
sedikitnya 33 nyawa melayang, 76
luka-luka, 224 mobil hangus, 150 motor, 465
ruko hangus, dan 165 rumah dibakar, (kompas.com, 26/9/2019). Ini belum termasuk
kerugian secara psikologis, banyak warga yang stress karena kehilangan
keluarga, harta benda, pekerjaan, hingga handai taulan. Tragedi ini semestinya
tidak dianggap biasa, tetapi harus dijadikan sebagai kejahatan luar biasa dan
para otak dan pelakunya diseret ke pengadilan, baik tingkat nasional maupun
internasional.
Sudah masuk minggu ketiga kejadian memilukan itu berlalu, namun
pemerintah sampai saat ini belum terlihat jelas kebijakan jenis apa yang bisa
menyelesaikan persoalan di atas. Jelas, terang, dan lugas, kalau Papua tidak
dalam kondisi baik-baik saja. Buktinya, kini puluhan ribu pengungsi berusaha
dengan segera meninggalkan Wamena, itu artinya ada masalah besar di sana.
Terlihat, beberapa kepala daerah, terutama Sumatera Barat, lalu
Sulawesi Selatan, hingga Kebupaten Enrekang berusaha memfasilitasi warganya yang ingin
kembali ke kampung halaman namun sudah tidak punya biaya lagi. Patut dicatat
bahwa korban yang terbanyak adalah warga Minang, Bugis dan Jawa. Ketiga suku
ini memang dikenal sebagai perantau, hidup dan tinggal di kampung bahkan negara
orang lain adalah lumrah adanya. Selama ini, jarang kita temukan ketiga suku di
atas mengalami kendala dalam berbaur dengan masyarakat setempat.
Akar masalah
Masalah Pupua, terlebih khusus Wamena tidak sulit dianalisa, untuk
membedahnya cukup menggunakan pisau politik, lalu ditambah dengan ekonomi dan
budaya. Ketiga komponen ini menjadi masalah dasar Papua. Namun, jika ditelaah
secara mendalam, nuansa politik lebih dominan dibandingkan dengan lainnya.
Lihat saja, tahun ini pertemuan dari delegasi setiap negara yang
tergabung dalam Perserikatan Bangsa Bangsa mengadakan pertemuan di Amerika pada
tanggal 24 September 2019, namun peserta telah berada di New York pada tanggal
23 September karena pembukaan siding umum PBB ke-74 akan dimulai keesokan
harinya. Lalu apa hubungannya dengan ‘Tragedi Wamena’?
Tentu saja Tokoh Sparatis Papua Benny Wenda ingin memancing di air
keruh, memanfaatkan suasana sidang tahunan Majenis Umum PBB untuk memaparkan
kondisi Papua secara subjektif. Hal-hal yang akan diangkat tidak akan lepas
dari masalah pelanggaran hak asasi manusia, ketimpangan ekonomi, dan
semisalnya. Jika ia berhasil menyelinap lalu berbicara, dan ada yang mendukung
dalam siding terhormat kelas dunia itu, bisa menjadi celah pengusulan supaya
PBB melakukan referendum di Papua. Narasi dan alur cerita sinetron ala Benni
Wenda mudah dibaca.
Faktanya, yang terjadi justru sebaliknya, yang terlihat jadi korban
adalah aparat keamaan Indonesia, baik tentara maupun polisi. Ketika terjadi
Tragedi Wamena, kebiadaban pun tampak jelas, para pendukung Benny Wenda seakan
kerasukan, lalu membantai siapa saja yang bisa dibantai, membakar apa saja yang
bisa dibakar. Seakan ibu rumah tangga membasmi kecoak tanpa ampun.
Dalam perspektif agama Islam, membunuh satu
orang itu sama dengan membunuh seluruh manusia, “Barangsiapa yang membunuh seorang manusia, bukan karena
orang itu (membunuh) orang lain, atau bukan karena membuat kerusakan dimuka
bumi, maka seakan-akan dia telah membunuh manusia seluruhnya. Dan barangsiapa yang
memelihara kehidupan seorang manusia, maka seolah-olah dia telah memelihara
kehidupan manusia semuanya.” (QS. Al
Maidah: 32).
Ibnu
Katsir berkata, “Siapa yang memelihara kehidupan seseorang, yaitu tidak
membunuh suatu jiwa yang Allah haramkan, maka ia telah memelihara kehidupan
seluruh manusia. Mujahid berkata bahwa yang dimaksud adalah siapa saja yang
menahan diri dari membunuh satu jiwa.” (Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, 3:
380).
Al
‘Aufi dari Ibnu ‘Abbas, ia berkata mengenai firman Allah bahwa ia telah membunuh
manusia seluruhnya, maksudnya adalah, “Barangsiapa yang membunuh satu jiwa
yang Allah haramkan, maka semisal dengan orang yang membunuh seluruh manusia.”
Sa’id bin Jubair berkata, “Barangsiapa menghalalkan darah seorang muslim,
maka ia seakan-akan menghalalkan darah manusia seluruhnya. Barangsiapa
mengharamkan darah seorang muslim, maka ia seakan-akan mengharamkan darah
manusia seluruhnya.”
Dalam kajian epistemologi hukum Islam, ada lima
perkara yang wajib dilindungi, baik dalam skala individu maupun dalam skala
komunitas hingga negara. Disebut dengan ad-daruriaay al-khams, atau lima
kebutuhan yang wajib dijaga, yakni, hifdz ad-din (menjaga agama), hifdz an-nafs
(menjaga jiwa), hifdz al-‘aql (menjaga akal, hifdz an-nasl (menjaga keturunan),
dan hifdz al-maal (menjaga harta benda). Kelima perkara ini harus
dipertahankan, dan jika mati karena
sebab itu, maka ia akan dihitung sebagai syahid di jalan Allah.
Bagi saya, Pemerintah Republik Indonesia yang dinakhodai oleh
Presiden Joko Widodo harus bertindak secepat kilat dalam mengamankan Papua. Prinsip
dalam melakukan ‘perang’ terhadap pihak lawan sesungguhnya sederhana saja.
Rumusnya melakukan perlawanan sesuai senjata lawan. Jika perang ekonomi maka
kita lawan dengan kekuatan ekonomi, jika perang teknologi maka kita lawan
dengan teknologi, jika perang ilmu maka dilawan dengan ilmu, jika penyerangan
menggunakan senjata tentu dilawan dengan menggunakan senjata pula.
Tragedi Wamena adalah penyerangan kepada warga sipil tanpa ada
perlawanan sebab mereka sedang sibuk dengan rutinitas harian mereka, tidak ada
pemberitahuan, tidak ada pula himbauan dari BIN yang digaji begitu mahal oleh
negara untuk mengamankan dan menjaga warga negara dari ancaman pihak-pihak
pengacau.
Maka, pemerintah harus bersikap tegas kepada siapa pun yang
merongrong NKRI dan membuat kekacauan di negara berasas Pancasila ini, yang
sila pertamanya “Ketuhanan Yang Maha Esa”. Akan terlihat konyol jika aparat,
terutama BIN begitu sigap dan cakap menangkap ‘calon’ teroris dari umat Islam walau
bersembunyi di liang biawak, tetapi gagap dan gagal mengantisipasi serangan
dari sebuah organisasi sparatis yang menimbulkan lusinan korban. Maka layaklah
kita bertanya, di mana poisi negara dalam menjaga keamanan dan menjamin
kelangsungan hidup rakyatnya? Wallahu A’lam!
Enrekang, 10 Oktober, 2019. Dimuat 11 Oktober 2019.
Comments