Hijrah Bersama Ibu Kota
Oleh: Dr. Ilham Kadir, MA.*
Kata al-hijrah merupakan lawan kata dari al-washol
atau sampai dan tersambung yang secara umum dibagi menjadi dua makna. Hijrah
fisik dan hijrah maknawi. Hijrah fisik adalah meninggalkan satu wilayah menuju
wilayah lain, atau perginya satu kaum dari sebuah negeri ke negeri lainnya
sebagaimana yang terjadi pada umat Islam yang hijrah dari Makkah ke Madinah,
atau pindahnya Ibu Kota Republik Indonesia dari DKI ke Kalimantan Timur.
Secara
maknawi, hijrah dapat diartikan sebagai sebuah peralihan kondisi buruk menuju
kondisi yang lebih baik, dari kekufuran menuju keimanan, dari syirik menuju
tauhid, dan dari bid’ah dan khurafat menuju sunnah-sunnah Rasul yang terpuji.
Motif hijrah juga bermacam-macam, namun selama itu tujuannya baik,
maka dibolehkan. Sebagaimana yang pernah terjadi kepada para pendahulu kita.
Rasulullah penah mengizinkan para penggembala untuk meninggalkan kota Madinah
ketika sedang terjangkit wabah di Madinah dan mereka berhijrah ke tempat
gembala di padang rumput lain, kemudian kembali setelah wabah tersebut hilang.
Maka dibolehkan berhijrah jika di negeri tersebut terserang wabah penyakit demi
menghindari penyakit tertentu. Demikian pula, seseorang dapat saja melarikan
diri demi menjaga keselamatan jiwa, harta, dan keluarganya.
Kadangkala, hijrah dimaksud sebagai perjalanan di muka bumi untuk
mencari pelajaran, hikmah, dan nasihat. Atau untuk menunaikan ibadah haji,
untuk keperluan jihad atau berlindung di gua-gua demi menyelamatkan jiwa dari
ancaman. Meninggalkan negeri untuk menyusun kekuatan karena dicaplok oleh
musuh, atau bahkan mencari penghidupan yang lebih layak di rantau adalah bagian
dari makna hijrah. Perluasan makna
hijrah penting, agar mereka yang berangkat menuntut ilmu, mengunjungi
tempat-tempat suci seperti Masjidil Haram, Masjid Nabawi hingga Masjid Al-Aqsha
menjadi bagian dari perjalanan suci berpahala. Bahkan sekadar berangkat
mengunjungi saudara-sadara, sanak family, yang kita cintai karena Allah, atau
mereka yang berjuang mempertahankan akidah juga menjadi bagian dari hijrah.
Hijrah bagi kaum sufi adalah berangkat untuk mendekatkan diri
dengan kebiasaan-kebiasaan baik, menganalisis suatu permasalahan, meninggalkan
dosa-dosa dan kesalahan meninggalkan hal-hal yang menjauhkan diri dari
kebenaran sebagaimana yang pernah menimpa Nabi Ibrahim, Sesungguhnya aku
berpindah ke tempat yang diperintahkan Tuhanku, (QS. Al-Ankabut: 26).
Bagi kaum sufi, hijrah tidak mesti dilakukan dengan perpindahan
fisik, akan tetapi dilakukan dengan mengasingkan diri dari hiruk pikuk
kehidupan masyarakat umum, tidak bergaul dengan para pelaku maksiat dan
kemungkaran, menjauhi orang-orang yang berakhlak buruk, dan meninggalkan para
pembikin onar. Kecuali itu, hijrah yang tidak kalah pentingnya adalah
meninggalkan akhlak buruk, kebiasaan mengadu domba, penyebar hoaks, dan segala
sesuatu yang dapat menyebabkan kehinaan, menggelorakan hawa nafsu, hingga
menghindarkan diri dari kemewahan-kemewahan dunia secara berlebihan.
Hijrah adalah syariat para nabi, maka ia termasuk ibadah praktik
yang memiliki keutamaan-keutamaan. Terlalu banyak dalil, baik ayat Al-Qur’an,
hadis, hingga contoh dari para nabi. Misalnya, Allah berfirman, Barangsiapa
berhijrah di jalan Allah, niscaya mereka mendapati di muka bumi ini tempat
hijrah yang luas dan rezeki yang banyak, (QS. An-Nisa’: 100). Ayat ini didukung
beberapa hadis yang mendorong penduduk muslim di suatu tempat untuk berpindah
di tempat lain agar terhindar dari pengaruh buruk. Sabda Nabi, Aku berlepas
diri dari orang-orang muslim yang berada di dalam komunitas [kampung]
orang-orang penyembah berhala [musyrik]. Para sahabat bertanya, Mengapa
demikian Wahai Rasulullah? Nabi Menjawab, Aku tidak menjamin mereka dari api
neraka. Pada kesempatan lain, Nabi juga bersabda, Siapa saja yang berkumpul
[dan berinteraksi dengan rasa nyaman] bersama orang-orang musyrik,
sesunggguhnya ia bagian dari mereka.
Ibu Kota Hijrah
Kalau tak ada aral melintang, malam ini sudah masuk 1 Muharram 1441
Hijriyah, di saat yang sama Presiden Joko Widodo sudah bulat hati memindahkan
Ibu Kota Indonesia ke Kalimantan Timur dengan berbagai pertimbangan.
Menurutnya, sebagai bangsa yang telah 74 tahun merdeka, Indonesia belum pernah
secara khusus menentukan dan merancang Ibu Kota negaranya. Hasil kajian-kajian
tersebut menyimpulkan bahwa lokasi ibu kota baru yang paling ideal adalah di
sebagian Kabupaten Penajam Paser Utara dan sebagian di Kabupaten Kutai
Kartanegara, Provinsi Kalimantan Timur. Di antara alasan-alasannya bahwa risiko
bencana minimal baik bencana banjir, gempa bumi, tsunami, kebakaran hutan,
gunung berapi, dan tanah longsor. Juga, lokasinya yang strategis berada di
tengah-tengah Indonesia. Berada, wilayah perkotaan yang sudah berkembang, yaitu
Balikpapan dan Samarinda, kedua kota itu telah memiliki infrastruktur yang
relatif lengkap. Dan telah tersedia lahan yang dikuasai pemerintah seluas 180
ribu hectare.
Jika ditilik secara filosofis, sejatinya pemindahan ibu kota adalah
wajah lain dari hijrah dalam bentuk modern. Hijrah dari berbagai macam
persoalan yang selalu mendera DKI Jakarta sebagai Ibu Kota. Hijrah dari
kemacetan tak berujung, bencana banjir yang selalu melanda, persoalan
kemiskinan, tata kota yang semrawut, transportasi yang susah dikendalikan,
bandit-bandit dan mafia-mafia proyek yang bergentayangan dari istana presiden
hingga kantor kelurahan, daftarnya terlalu panjang.
Tepat, sudah saatnya Ibu Kota Indonesia harus pindah, jika selama
ini hanya wacana, maka di era Presiden Joko Widodo sudah harus direalisasikan.
Hanya saja harus dengan beberapa catatan, antara lain, ibu kota jangan terlalu
luas supaya dari satu kantor dengan lainnya tidak terlalu susah diakses,
demikian halnya dengan pembiayaan, harus diminimalisir sesuai kebutuhan.
Dan
yang terpenting kualitas bangunan dan infrastruktur harus standar
internasional, jangan asal jadi. Hijrahnya Ibu Kota akan menjadi babak baru
dalam membangun peradaban baru di Indonesia, dari sini kita berharap agar
pemerataan ekonomi terwujud, kualitas sumber daya manusia makin meningkat,
memaksimalisasi pengelolaan sumber daya alam, dan berbagai macam persoalan
kebangsaan dapat diatasi. Dengan hijrah, kita mulia. Selamat Menyambut Tahun
Baru 1 Muharram 1441 Hijriyah!
*Peneliti MIUMI Pusat; Ketua INFOKOM MUI Enrekang
Comments