Zakat dengan Selera Indonesia
Oleh: Dr. Ilham Kadir,MA. Pimpinan BAZNAS Enrekang.
Zakat masih dan akan terus menjadi pembahasan menarik, terutama jika ditinjau dari perspektif ekonomi. Sekadar ilustrasi, jika kita bandingkan antara penerimaan dana cukai rokok pada tahun 2018 sebesar 148 trliun dengan pengumpulan zakat oleh Badan Amil Zakat Nasional (Baznas) secara nasional di tahun yang sama hanya sebanyak 8 triliun.
Zakat masih dan akan terus menjadi pembahasan menarik, terutama jika ditinjau dari perspektif ekonomi. Sekadar ilustrasi, jika kita bandingkan antara penerimaan dana cukai rokok pada tahun 2018 sebesar 148 trliun dengan pengumpulan zakat oleh Badan Amil Zakat Nasional (Baznas) secara nasional di tahun yang sama hanya sebanyak 8 triliun.
Dan, hampir
pasti kalau para perokok sembilan puluh persen adalah umat Islam, mereka
perokok legal yang bayar pajak ketika beli rokok. Terlepas dari kontroversi
hukum rokok, yang jelas untuk pajak rokok saja hampir duapuluh kali lipat
dengan penerimaan zakat di negara yang berpenduduk muslim terbesar di dunia
ini.
Itu berarti ada
masalah besar dalam batang tubuh umat Islam Indonesia. Salah satu yang asasi
dari tumpukan masalah itu adalah pembiaran akan kejahilan dalam menjalankan
kewajiban beragama. Zakat adalah salah satunya.
Begitu banyak
umat Islam yang sudah kena wajib zakat, tetapi belum ditunaikan, atau
setidaknya mampu berinfak namun belum tersentuh hatinya. Keengganan membayar
zakat dan infak bisa saja berawal dari salah paham teradap zakat atau pahamnya
salah sehingga kemakhruhan rokok lebih utama daripada menunaikan kewajiban
zakat atau mengamalkan sunnah infak dan sedekah.
Perlu ada
upaya-upaya nyata dari pelbagai pihak untuk mengeluarkan umat dari alam salah
paham dan pahamnya salah tentang syariat zakat, infak, dan sedekah ini. Sebab
membiarkan umat terombang ambing dalam kesalahan dan tidak mendapat penjelasan
yang komprehensif tidak dibenarkan. “Ta’khirul bayan an-syai’il hajah la
yajuz.” Tidak boleh menunda-nunda keterangan yang dibituhkan oleh umat.
Buku “Fikih
Zakat Kontekstual Indonesia” yang ditulis oleh Tim Penulis yang ahli
dibidannya, dan diterbitkan oleh Badan Amil Zakat Nasional 2018, dapat menjadi
oase di tengah ketandusan pemahaman akan zakat bagi para dai-dai kita di
Indonesia.
Buku dengan
gaya penulisan bagitu ilmiah, termasuk referensi yang jelas pada setiap kutipan
baik langsung maupun tidak langsung. Bahkan, buku ini sangat layak jadi rujukan
dalam forum-forum ilmiah, ataupun dalam penulisan karya-karya ilmiah, mulai
dari artikel lepas hingga disertasi dan jurnal.
Namun sayang,
buku setebal 311 halaman dan tim penulisnya diketuai oleh Prof. Dr. KH. Ahmad
Satori Ismail tersebut belum menyebar ke berbagai kalangan, dan tidak pula
dikomersilkan. Akan lebih bagus kalau Baznas yang tersebar di seluruh daerah
juga diberi lisensi untuk menerbitkan buku tersebut lalu dibagikan kepada para
dai dan atau para pegawai Unit Pengumpul Zakat (UPZ).
Pengalaman kami
di Baznas Kabupaten Enrekang cukup menjadi pelajaran dan bahkan gambaran pada
daerah lain. Bahwa para dai memang fasih mengitip ayat-ayat zakat, tapi begitu
didesak pertanyaan yang teknis tentang penerimaan dan pendistribusian, sering
kali jadi buntu.
Kita tulis
dengan citarasa orang Indonesia, karena banyak yang beda materi yang dizakati
antara satu negara dengan lainnya, kata Prof. Bambang dalam launching buku,
Fikih Zakat Kontekstual Indonesia, sewaktu Rakernas Bali (22/3/2018).
Buku ini
terdiri dari enam bab, bab pertama membahas tentang konsep dasar zakat yang
pembahasannya meliputi pengertian zakat, kedudukan zakat ditilik dari Al-Qur’an
dan sunnah, hukum zakat, syarat wajib zakat, harta milik umum dan wakaf, hikmah
dan manfaat zakat, hubungan zakat dengan pemerintah, hukum menunaikan zakat
sebelum cukup setahun, dan cara menunaikan zakat.
Pada bab kedua
dibahas jenis zakat yang terdiri dari zakat harta dan zakat fitrah. Termasuk
dalam bagian ini dibahas secara tuntas zakat harta dan landasan hukumnya, serta
jenis-jenis zakat harta seperti zakat emas, perak, logam mulia, surat-surat
berharga, perniagaan, pertanian dan perkebunan, peternakan dan perikanan,
pertambangan, perusahaan, pendapatan profesi dan barang temuan. Sedangkan
subyek zakat harta terdiri dari individu maupun lembaga. Pada bab ketiga masuk
dalam bahasan penghitungan zakat dan sub bahasan meliputi kaidah-kaidah
penghitungan zakat. Pada bagian ini dipaparkan dengan baik terkait teknis penghitungan
zakat. Yang dimaksud dengan penghitungan zakat di sini adalah tata cara dalam
melakukan penghitungan harta yang sudah memenuhi nishab untuk diberikan kepada
golongan mustahik dengan persyaratan tertentu melalui amil.
Pada bab
keempat, dijelaskan secara tuntas terkait pengumpulan zakat, infak, sedekah,
dan dana sosial keagamaan lainnya. Termasuk di dalamnya prinsip pokok
pengumpulan, defenisi dan persyaratan seorang muzakki, serta kiat-kiat
mendekati para muzakki atau orang lain agar rela mengeluarkan harta untuk
kemaslahatan umat, metode ini dikenal dengan istilah fundraising. Ada pun bab
kelima lebih fokus pada pemaparan terkait cara pendistribusian dan pedayagunaan
dana zakat yang pembahasan utamanya meliputi definisi ashnaf zakat, prinsip
pokok pendistribusian atau penyaluran zakat, dan pendayagunaan dana zakat demi
kemaslahatan para mustahik.
Sedangkan pada
bab enam atau terakhir berisi tentang berbagai persoalan tentang zakat infak
dan sedekah. Permasalahan tersebut direkam, dijadikan pertanyaan lalu dijawab
secara tuntas. Metode menjelaskan sebuah masalah dengan menguraikan pertanyaan
dan jawaban yang komprehensif dinilai lebih praktis dan tidak bertele-tele,
buku ini menjadi solusi nyata terkait problem zakat, infak, dan sedekah.
Masalah-masalah
terkait zakat baik zakat fitrah maupun zakat harta tidak akan pernah berhenti.
Zakat fitrah misalnya, umat Islam di Indonesia sampai saat ini, setiap Ramadhan
tiba setiap itu pula muncul berbagai masalah. Terkait waktu membayar zakat,
kadar, ashnaf yang berhak menerima zakat, hingga substansi zakat fitrah.
Misalnya saja,
terkait waktu pembayaran zakat, ada beberapa dalil, antaranya yang diriwayatkan oleh
Muslim (No. 22) dan Bukhari (No. 1432) lewat jalur Nafi’ dan Ibn Umar, bahwa
Nabi memerintahkan untuk membayar zakat sebelum manusia keluar menunaikan
shalat Idul Fitri. Namun, dalam praktiknya Ibn Umar justru membayar zakat lebih
cepat sehari atau dua hari sebelum lebaran, dan menganjurkan agar para sahabat
berbuat demikian. Karena itu, para ulama secara mainstream sepakat bahwa
kewajiban zakat fitrah terletak pada akhir Ramadhan. Kecuali Imam Syafi’i yang
membolehkan berzakat sejak awal Ramadhan karena sebab dari turunnya syariat
zakat fitrah karena puasa di bulan Ramadhan, juga Abu Hanifah yang membolehkan
sejak pertengahan bulan puasa. Seperti halnya zakat mal (harta) boleh membayar
sebelum jatuh tempo, dalam artian pembayaran zakat sebelum datang waktunya
bersifat sunnah dan terpuji, adapun jika waktunya telah tiba maka ia bersifat
wajib. Mempercepat pembayaran zakat
fitrah juga menjadi anutan mazhab Badan Amil Zakat Nasional dengan alasan untuk
memudahkan amil dalam pengumpulan dan penyaluran kepada para mustahik yang
benar-benar butuh, sehingga ketika hari bergembira tiba, mereka pun turut
bergembira dengan menikmati zakat fitrah.
Kadar zakat. Jika merujuk pada
nash hadis terkait jenis zakat yang dikeluarkan, maka yang paling otentik
adalah hadis Ibn Umar yang mengatakan bahwa Rasulullah mewajibkan zakat fitrah
sebesar satu sha’ kurma, atau satu sha’ gandum atas seorang hamba, orang
merdeka, laki-laki, perempuan, besar dan kecil dari kaum muslimin, (Muttafaq
‘Alaihi).
Ada pun terkait dengan kadar zakat, jika merujuk pada
dalil di atas maka yang dikeluarkan adalah makanan pokok, atau beras bagi orang
Indonesia. Tapi beberapa ulama muktabar membolehkan berzakat dengan uang yang
senilai dengan makanan pokok. Di antara penganut pendapat ini adalah Imam
At-Tsauri, Abu Hanifah dan Hasan Al-Basri. Pendapat ini diperkuat dari riwayat
Ibnu Abu Syaibah dari ‘Aun, ia berkata, Aku telah mendengar surat Umar bin
Abdul Aziz yang dibacakan pada ‘Abdi, Gubernur Basrah, bahwa diambil dari haji
pegawai kantor, masing-masing setengah dirham. Imam Hasan Al-Basri berkata,
Tidak mengapa dikeluarkan beberapa dirham untuk zakat fitrah. Berkata Abu
Ishaq, Aku mendapatkan orang-orang membayar zakat fitrahnya pada bulan Ramadhan
beberapa dirham seharga makanannya. Sedangkan takaran satu sha’ di Mesir
disamakan dengan 1/6 liter gandum, karena gandum lebih berat dari beras, maka
untuk kehati-hatian kita tetapkan satu sha’ sama dengan 2,5 kg (3,5 liter)
beras, (halaman 97).
Di antara alasan bolehnya membayar zakat dengan nilai
uang karena sesuai dengan hadis Nabi, diriwayatkan
Ibnu Adiy dan Daraquthni “Cukupkan orang-orang miskin pada hari raya ini,
jangan sampai meminta-minta”. Mencukupkan mereka bisa dengan harganya, bisa
pula dengan makanannya. Kadangkala harganya itu lebih utama, sebab terlalu
banyak makanan pada orang fakir miskin menyebabkan kehendak untuk dijual,
sedangkan apabila harganya (uang), si miskin bisa langsung mempergunakannya
untuk membeli segala keperluannya seperti makanan, pakaian dan kebutuhan
lainnya, (Al-Qaradhawi, Hukum Zakat, 2011).
Dalil di atas juga menjadi patokan atas kewajiban
zakat fitrah terhadap semua muslim yang punya persediaan bekal makanan untuk
keluarga lebih dari sehari semalam atau di atas dua hari sebagaimana pendapat
Syafi’I dan Maliki, Imam Asy-Syaukani juga menekankan bahwa pendapat ini lebih
kuat dan benar, ada pun pendapat Abu Abu Hanifah bahwa yang wajib bezakat
fitrah adalah yang punya harta dan satu nishab emas (85 gr), pendapat terakhir
ini dianggap lemah, (Sayyid Sabiq, 2007).
Sedangkan
perbincangan tentang ashnaf, atau yang berhak menerima zakat fitrah. Zakat
fitrah sama kedudukannya dengan zakat harta, dan peruntukannya pun juga sama
yakni merujuk kepada firman Allah (QS. At-Taubah: 60) bahwa zakat diperuntukkan
untuk golongan fakir, miskin, muallaf, amil, budak, bangkrut, berjuang di jalan
Allah, dan orang yang kehabisan bekal dalam perjalanan. Penyusunan ashnaf
menurut Sayid Sabiq dalam “Fiqhus-Sunnah” bersifat skala prioritas dari bawah
ke atas (littar-tiib). Pendapat ini sangat sesuai dengan substansi zakat
fitrah, yakni makanan bagi fakir dan miskin, dan mencegah meminta-minta di hari
bahagia. Selain itu, dimana zakat dikumpulkan maka di situ pula zakat
didistribusikan. Kecuali jika di daerah tersebut tidak terdapat lagi asnaf maka
dapat dialihkan ke daerah lain yang lebih membutuhkan, terutama fakir miskin.
Demikian dikemukakan oleh Al-Murtadha dalam “Al-Bahr al-Zakhkhar al-Jami’ li
Mazhab Ulama al-Anshar” bahwa dimakruhkan memberikan zakat fitrah kepada fakir miskin daerah lain, kecuali
dengan tujuan yang lebih utama.
Namun yang wajib dipahami bersama adalah substansi dan tujuan zakat
fitrah. Dalilnya bersumber dari hadis Ibnu Abbas yang berkata, “Rasulullah mewajibkan zakat
fitrah sebagai penyuci orang berpuasa dari perbuatan dan perkataan keji [selama puasa], serta sebagai
makanan pokok untuk orang-orang miskin”. (HR Abu Daud: 1609, dan Ibnu
Majah: 1827). Jadi zakat fitrah merupakan salah satu ibadah yang berfungsi
untuk mensucikan ibadah puasa seorang muslim dan menyempurnakannya. Karena
boleh jadi dalam ibadah puasanya di bulan Ramadhan tersebut memiliki beberapa
pelanggaran dan ketidaksempurnaan penyelenggaraannya, sehingga zakat fitrah
diharapkan bisa menyempurnakan dan menyucikan pelanggaran tersebut; juga
memberikan kecukupan makanan dan kebutuhan fakir miskin serta membuat mereka
terhibur dalam menyongsong hari besar idul fitri, sehingga mereka turut serta
bisa merayakannya seperti kaum muslimin lainnya.
Permasalahan
lain yang hingga saat ini terus menjadi perbincangan adalah boleh tidaknya
zakat profesi. Dalam buku ini dijelaskan dengan sangat komprehensif terkait
asal hukum, perdebatan para ulama muktabar, hingga pertimbangan pemerintah dan
Baznas sebelum memberikan ketetapan yang diikuti oleh negara. Pembahasan zakat pendapatan, profesi dan jasa
cukup alot dan panjang, yakni sampai 18 halaman (halaman 202-220). Secara sah
dan legal, Baznas RI sebagai alat negara yang dibentuk untuk mengelola dan
mendayagunakan zakat di Indonesia menetapkan bahwa zakat pendapatan dan profesi
itu ada sebesar 2.5 persen. Yusus Al-Qaradhawi berpendapat bahwa di antara hal
yang sangat penting untuk mendapatkan perhatian kau muslimin saat ini adalah
peghasilan atau pendapatan yang diusahakan melalui keahliannya baik keahlian
yang diupayakan secara sendiri maupun bersama-sama. Yang dilakukan sendiri
misalnya profesi dokter, arsitek, pengacara, konsultan, penjahit, apoteker
bahkan dari artis hingga para dai papan atas. Ada pun dilakukan secara
bersama-sama seperti pegawai pemerintah, pegawai BUMN karyawan perusahaan
dengan menggunakan sistem penggajian yang teratur (halaman 2014).
Wahbah
Zuhaili secara khusus mengemukakan kegiatan penghasilan atau pendapatan yang
diterima seseorang melalui usaha sendiri seperti dokter insinyur, ahli hukum, penjahit
dan lain sebagainya. Demikian pula terkait dengan pemerintah berupa pegawai
negeri dan swasta yang mendapatkan gaji dalam waktu relatif tetap, misalnya
sebulan sekali. Penghasilan semacam ini dalam istilah fikih disebut al-maal
al-mustafad. (halaman 205).
Secara garis
besar ada empat alasan mengapa zakat profesi dibolehakan. Pertama, ayat-ayat
al-Qur’an yang bersifat umum mewajibkan semua jenis harta untuk dikeluarkan
zakatnya; kedua, berbagai jenis pendapat para ulama yang menjelaskan
keabsahan zakat dari penghasilan profesi, meskipun dengan menggunakan istilah
yang berbeda. Sebagian menggunakan istilah al-amwal sementara yang lain
menggunakan istilah khusus al-amwaal al-mustafaad; ketiga, dari
perspektif keadilan yang merupakan ciri utama ajaran Islam, penetapan kewajiban
zakat pada setiap harta yang dimiliki akan terasa sangat jelas dan nyata
dibandingkan dengan hanya menetapkan kewajiban zakat pada komoditas tertentu
saja yang konvensional, petani misalnya yang kerap berada dalam kondisi kurang
beruntung harus berzakat jika hasil panennya telah mencapai 653 kg yang
diperoleh setelah bekerja siang malam selama empat bulan lamanya. Sementara
profesi-profesi tertentu seperti politisi, kontraktor, konsultan, dokter ahli
bekerja dengan waktu yang relative singkat memperoleh penghasilan dengan jumlah
besar, dari sinilah keadilan harus ditegakkan, ketika profesi petani bezakat di
saat penen, maka seharusnya profesi-profesi lainnya pun berzakat ketika
mendapatkan upah, honor atau tunjangan dari hasil kerjanya; keempat,
sejalan dengan perkembangan kehidupan umat manusia, khususnya dalam bidang ekonomi,
kegiatan penghasilan melalui keahlian profesi akan semakin berkambang dari
waktu ke waktu. Penetapan kewajiban zakat kepada profesi-profesi yang baru
tersebut menunjukkan betapa hukum Islam sangat aspiratif dan responsif terhadap
perkembangan zaman. (halaman. 208-209).
Dengan
adanya ketetapan dari Baznas RI bahwa zakat profesi berlaku di Indonesia, maka
segenap perbedaan terkait hukum zakat profesi telah final dan menginkat bagi
umat Islam yang telah memenuhi syarat-syaratnya. Ada pun yang kontra maka
secara kelembagaan pendapatnya tidak digunakan, walaupun tetap dapat dijadikan
bahan diskusi dan perbandingan alam forum-forum ilmiah. Terkait hal ini, kita
merujuk pada sebuah kaidah ushul, hukmul hakim yar’faul ikhtilaaf,
keputusan negara adalah mereduksi segala bentuk perbedaan pendapat atau kaidah
lain, tasharruf al-imaam manuuth bil maslahah. Tindakan
imam terhadap rakyatnya harus dikaitkan dengan kemaslahatan. Keputusan dan kebijaksanaan yang ditempuh oleh pemimpin atau
penguasa harus sejalan dengan kepentingan umum bukan untuk golongan atau untuk
diri sendiri. Penguasa adalah pengayom dan pengemban kesengsaraan rakyat.
Buku zakat
dengan selera asli Indonesia ini hadir di saat yang tepat. Bacaan wajib bagi
para pengelola dana zakat baik Baznas maupun Lembaga Amil Zakat resmi lainnya
atau umat Islam Indonesia secara umum. Yang pertama agar tidak bicara zakat
melebihi apa yang mereka tahu, yang kedua agar memahami dan mengamalkan rukun
Islam yang ketiga.
Saya tutup
resensi ini dengan mengutip kata bijak, khaeru jalisin fi zamani kitab,
buku adalah sebaik-baik teman duduk. Dan buku “Fikih Zakat Kontekstual
Indonesia” dapat dijadikan teman sekaligus guru penunjuk arah kebaikan dalam
menunaikan syariat zakat, infak, dan sedekah. Selamat membaca!
Profil Buku
Judul : Fikih
Zakat Kontekstual Indonesia; Tim Penulis : Ketua : Prof. Dr. KH. Satori Ismail,
MA.; Wakil Ketua: Drs. KH Masdar Farid Mas’udi, MA
Sekretaris : Efri Syamsul Bahri, SE, Ak.’ M.Si.; Anggota : Drs. Irsyadul Halim
Mohd. Nasir Tajang, S.Ag., M.Si.; H. Faisal Qasim, Lc.; Dr. Ahmad Hanbali, S.Ag, MH. H. Putra Erianton, Lc.
Sekretaris : Efri Syamsul Bahri, SE, Ak.’ M.Si.; Anggota : Drs. Irsyadul Halim
Mohd. Nasir Tajang, S.Ag., M.Si.; H. Faisal Qasim, Lc.; Dr. Ahmad Hanbali, S.Ag, MH. H. Putra Erianton, Lc.
Editor :
Syahruddin El-Fikri, S.Ag. Penerbit : Badan Amil Zakat Nasional. Jl. Kebon
Sirih Raya No. 57. Jakarta Pusat, 10340. Tahun Terbit : 2018
Comments