Isra Mi'raj dan Pembebasan Masjid Al-Aqsha
Setiap tanggal 27 Rajab dalam hitungan kalender hijriyah umat Islam
seluruh dunia selalu mengenang peristiwa besar yang pernah terjadi pada diri
Nabi Muhammad berupa isra dan mi’raj. Secara sederhana, isra adalah perjalanan
Rasulullah pada malam hari dari Masjidil Haram, Makkah ke Masjid Al-Aqsha,
Yerussalem.
Kedua jenis perjalanan di atas, isra dan mi’raj sarat dengan nilai
teologis sebab tidak dapat dicerna dengan akal manusia. Untuk memahaminya harus
menggunakan intrumen keimanan tingkat tinggi lalu dipadukan dengan bukti-bukti
empiris yang tersisa sebagai pelajaran bagi umat manusia.
Jika dipetakan, ada beberapa dimensi yang menarik untuk dikaji dalam
peristiwa isra mi’raj. Namun yang paling kontekstual sepanjang masa adalah
posisi Masjid Al-Aqsha dan kota Yerussalemm dimana masjid tersebut bertapak.
Demikian pula perjalanan Rasulullah ke Sidratul Muntaha’ atau langit tertinggi
selaku umat Islam sudah mengimani bahwa hasil perjalanan tersebut adalah
lahirnya syariat salat lima waktu dalam sehari semalam.
Pada zaman Romawi, Yerussalem disebut Ilya atau
Aelia Capitolina, kemudian dalam bahasa Arab dikenal juga sebagai: al-Quds
atau Baitul Maqdis [al-Sharif], "The Holy Sanctuary" merupakan
kota tua penuh dengan cerita sejarah kontroversi dari sejak zaman purba hingga
kini yang melibatkan tiga
agama besar di dunia yaitu: Islam, Yahudi dan Nasrani. Kontroversi ini berpusat
pada satu titik di dalam kota Jerusalem yaitu: Kubah As Sakra atau Dome of
Rock di dalam kawasan Masjid Al-Aqsa, yang mana di dalamnya terdapat batu besar.
Menurut agama Islam di Masjid Al-Aqsa inilah Rasulullah melakukan mi’raj ke Sidratul Muntaha. Menurut agama Nasrani, Jacob (Nabi Yakub)
pernah tidur di batu besar, yang
kini berada dalam Dome of Rock, dan bermimpi melihat tangga menuju langit.
Agama Nasrani pun meyakini bahwa di batu itulah tempat Abraham (Nabi Ibrahim)
mengurbankan anaknya yaitu Ishak—yang umat Islam yakini bahwa anak yang
diqurbankan adalah Ismail dan tempatnya di Makah. Sementara menurut orang-orang
Yahudi yakin bahwa luh-luh
(kepingan-kepingan) Nabi
Musa dari kitab Taurat
yang orisinil berada tepat di bawah Dome of
Rock. Dan orang-orang Yahudi meyakini bahwa Jerusalem adalah tanah yang
dijanjikan Tuhan untuk mereka yang dinyatakan melalui Nabi Musa, sehingga
mereka yakin atas hak dan kepemilikan penuh atas tanah Jerusalem. Sementara
bangsa Arab Palestina meyakini bahwa mereka adalah penduduk asli kota tersebut
dari tanah ini sebelum Bani Israil (orang Yahudi) datang. Hal inilah yang
menjadikan pergolakan antara bangsa Arab Palestina dan bangsa Yahudi Israel
hingga sekarang.
Masjid Al-Aqsha
Harus dipahami terlebih dahulu bahwa Ka’bah dan Masjid Al-Aqsha adalah satu
kesatuan yang tidak dapat dipisahkan, baik dalam perspektif sejarah
keberadaannya, maupun fungsi dan keutamannya. Dalam sejarah pembangunannya
dapat dilihat dari sebuah hadis Nabi, disebutkan bahwa sahabat Nabi, Abu Dzar al-Ghifari bertanya
kepadanya tentang masjid yang pertama kali
didirikan? Rasul menjawabm
“Masjid Al-Haram”,
kemudian apa? “Masjid Al-Aqsha”.
Berapa jarak antara keduanya? “Empat puluh tahun”. (HR. Bukhari-Muslim).
Durasi empat puluh tahun sebagaimana hadis di atas bukanlah
merupakan waktu yang panjang. Hal ini mengisyaratkan bahwa orang yang membangun
Masjid Al-Haram dan
Masjid Al-Aqsha adalah
orang yang sama. Inilah isyarat pertama tentang jawaban siapa yang pertama kali
membangun kedua Masjid tersebut.
Dari sini, beberapa pendapat ulama bermunculan. Pendapat pertama,
menyatakan bahwa yang membangun ka’bah adalah para Malaikat. Pendapat kedua, mengatakan bahwa nabi
Adam adalah orang yang pertama kali membangun ka’bah. Kedua pendapat ini
dikemukakan oleh al-Azruqi dalam kitabnya Akhbar Makkah. Pendapat
ketiga, adalah Syits bin Adam yang membangun ka’bah. Pendapat ini dikemukakan
oleh Imam Ibnu Hajar al-‘Asqalany, mengambil pendapatnya Wahb bin Munabbih.
Pendapat ini ditolak oleh beliau sendiri karena tidak ada dalil pendukung, (Fathul-Bari, Jilid-VI). Pendapat
keempat, nabi Ibrahim yang membangun ka’bah. Pendapat ini dikuatkan oleh Imam
Ibnu Katsir dalam kitab tafsir dan sejarahnya.
Melihat berbagai pendapat di atas, pendapat kedua adalah pendapat yang
dikuatkan para ulama, diantaranya Imam Ibnu Hajar al-Asqalany bahwa Nabi Adam adalah manusia pertama yang
membangun Masjid Al-Haram dan Masjid Al-Aqsha.
Hal ini diperkuat karena tidak adanya dalil naqli, baik ayat al-Qur’an
maupun hadits Nabi, yang secara jelas menyatakan siapa yang pertama kali
membangun Masjid Al-Aqsha. Yang ada hanyalah isyarat-isyarat dari dalil
tersebut dengan berbagai pemahaman dari para ulama. Isyarat dari hadits di atas
bahwa yang membangun kedua Masjid ini adalah orang yang sama, karena selisih
waktu pembangunannya hanya empat puluh tahun.
Kecuali itu, Nabi Adam adalah manusia pertama di muka bumi. Masjid Al-Haram adalah Masjid pertama di muka bumi dan Masjid Al-Aqsha adalah Masjid kedua sebagaimana dijelaskan dalam hadits di atas. Dan tidak dapat diterima secara logika bahwa malaikat membangun Masjid Al-Haram dan Masjid Al-Aqsha karena
malaikat mempunyai kiblat tersendiri di langit yang disebut dengan Bait
al-Ma’mur, sebagaimana disabdakan Rasulullah dalam hadisnya berkaitan
dengan isra dan mi’raj. Maka secara logika, yang membangun Masjid Al-Haram dan Al-Aqsha di atas muka bumi ini
adalah manusia bukan malaikat. Walaupun Imam Al-Qurthubi menyebutkan dalam kitab tafsirnya dan menambahkan bahwa para
malaikat juga turut membantu pembangunan tersebut.
Jadi, tempat pertama yang disebut aasjid di atas muka bumi adalah Masjid Al-Haram (ka’bah) dan tempat kedua adalah Masjid Al-Aqsha. Maka pendirian bangunan pertama Masjid dengan telah ditentukan
batas-batasnya adalah Masjid Al-Haram dan
setelah empat puluh tahun didirikan Masjid Al-Aqsha. Pendapat yang mengatakan bahwa Nabi Ibrahim orang yang membangun Masjid
al-Haram berdasarkan pada ayat al-Qur’an surat al-Baqarah ayat ke-127 adalah hanya meninggikan dari bangunan yang
sebelumnya sudah ada namun rusak karena terkena banjir masa Nabi Nuh. Demikian
pula dengan pendapat bahwa Nabi Daud dan Sulaiman yang membangun Baitul-Maqdis
juga tidak dapat diterima secara logika sejarah. Perbedaan waktu
antara pembangunan ka’bah dan Masjid Al-Aqsha hanya beda empat puluh tahun, dan
ka’bah dibangun pada masa Nabi Adam padahal jarak antara nabi Adam dan
Nabi Daud serta Nabi Sulaiman lebih dari seribu tahun. Jadi posisi Nabi Daud
dan Nabi Sulaiman sama persis dengan Nabi Ibrahim dan Ismail. Yang pertama
membangun kembali Masjid Al-Aqsha dan yang kedua meninggikan kembali ka’bah
yang dua-duanya menjadi tempat suci bagi umat Islam sekaligus bagian yang tidak
dapat dipisahkan dengan peristiwa isra mi’raj. Wallahu A’lam!
Enrekang, 1 April 2019. Dimuat Tribun Timur 3 April 2019.
Comments