Kriteria Pemimpin Ideal dalam Al-Qur’an
Diskursus terkait pemimpin dan kepemimpinan tidak
pernah surut sepanjang manusia masih ada di muka bumi ini. Keberadaan pemimpin
mutlak adanya, dan kepemimpinan yang baik harus diperjuangkan dan dipertahankan.
Bangsa yang besar, bukan hanya dilihat dari teritorialnya yang luas atau jumlah
penduduk yang besar, dan sumber daya alam melimpah, tetapi dapat dibaca dengan
kehebatan, kekuatan, dan pengaruh pemimpinnya. Pemimpin hebat bukan hanya mampu
memimpin negaranya tapi mampu membawa perubahan untuk dunia dan segenap
penghuninya.
Tahun 2019 adalah tahun politik. Rakyat Indonesia
sedang menghadapi pesta demokrasi, semua lapisan masyarakat terlibat, aktif
atau pasif, waras, setengah waras, atau gila semua diakomodir untuk ikut
berpartisipasi. Walaupun, golongan setengah waras dan gila masih jadi
perdebatan terkait boleh tidaknya menggunakan hak pilih mereka.
Setidaknya ada lima jenis pemilihan yang akan
terjadi pada 17 April mendatang. Pemilihan legislator tingkat kabupaten/kota,
propinsi, pusat, dewan perwakilan daerah, hingga presiden dan wakil presiden.
Kelak yang terpilih sebagai legislator dan senator akan menjadi wakil kita baik
daerah maupun pusat. Demikian pula, kita akan punya presiden baru priode
2019-2024.
Karena calon presiden hanya ada dua, maka
dipastikan hanya salah satunya akan terpilih, antara pasangan Jokowidodo dan
Ma’ruf Amin dengan Probowo Subianto dan Sandiaga Salahuddin Uno. Harapan kita
semua agar siapa pun yang terpilih mampu membawa bangsa ini pada jalur
kemenangan. Kita, selama ini masih kalah saing dari negara-negara yang ada di
sekitar kita, seperti Singapura, Malaysia, Thailand, dan Brunai. Dan, jika
ditamsilkan dengan lari cepat, kita terlalu jauh tertinggal dengan Australia
yang sebenarnya juga bagian dari negara tetangga.
Karena faktor itulah sehingga secara umum yang
menyita perhatian publik secara nasional adalah pemilihan presiden (Pilpres).
Para pendukung kedua belah pihak kerap kali terjadi benturan, baik ide, cara
pandang, cara bicara, hingga bentrokan fisik. Narasi-narasi yang dibangun
keduanya kerap tidak sehat, bahkan justru merugikan kedua belah pihak. Baik
sebagai capres-cawapres maupun sebagai tim pemenangan kedua kubu.
Jika cuma hanya diskusi dan dan dialog secara
ilmiah dan alamiah, bermaksud untuk mencari persamaan persepsi demi kebaikan
berbangsa dan bernegara, tentu wajib dipertahankan. Tetapi jika yang terjadi
justru sebaliknya, saling mencela, menjelek-jelekkan tim dan pendukung lawan,
melempar polemik dengan maksud mendapat simpati dan keuntungan sesaat itu wajib
dikoreksi.
Salah satu bentuk negarif misalnya, satu pasangan mengatakan bahwa
anggaran kita banyak yang bocor, bisa mencapai di angka 50 persen berdasarkan
prediksi dan asumsi pribadi. Anggaran dimaksud adalah yang digunakan untuk
membangun negara, dan bocor di sini dimaknai sebagai ‘terkorupsi’ atau hilang
dicuri. Sayangnya, pihak lawan menanggapi dengan kurang bijak, bahkan
mengulang-ulang kata ‘bocor’ dalam pidatonya hingga lebih dari setengah lusin
dengan tujuan untuk menimbulkan ledekan dan ledakan tawa para pendukung. Ini
contoh narasi yang ‘kurang sehat’. Bahkan dalam debat yang berlangsung 17
Februari lalu, cenderung mempertontonkan kebohongan dengan data serampangan
ketimbang mencari solusi atas problematika yang ada saat ini. Setelah dikoreksi
oleh media, barulah melakukan klarifikasi. Seakan calon pemimpin kita punya
prinsip ‘yang penting bicara dulu’ salah tidaknya nanti diklarifikasi setelah
verifikasi.
Jika merujuk pada sejarah umat
manusia yang termaktub dalam kitab suci Al-Qur’an, setidaknya ada beberapa ayat
yang menjadi acuan dasar kompetensi seorang pemimpin hakiki. Dikatakan hakiki
sebab banyak pemimpin yang kehilangan jati diri, integritas, dan tidak punya
kapasitas disebabkan sibuk mencari popularitas dan isi tas. Pemimpin semacam
ini hakikatnya hanya boneka yang kabijakannya disesuaikan dengan keinginan para
cukong, karena itu tak layak disebut sebagai pemimpin hakiki.
Salah satu pemimpin ideal yang
berkali-kali disebut Al-Qur’an adalah Nabi Ibrahim. Salah satunya dalam Surah
Al-Baqarah ayat 124. “Allah berfirman, sesungguhnya Aku jadikan engkau wahai
Ibrahim sebagai pemimpin seluruh umat manusia.” Lalu, Ibrahim alaihissalam
bertanya langsung kepada Allah, Apakah keturunan saya juga kelak akan jadi
pemimpin seperti saya? Lalu Allah menjawab, Kepemimpinan itu tidak diberikan
kepada mereka yang berbuat zalim. Qala wamin zurriaty, qala la yanalu
‘ahdiz-zhalimin.
Kezaliman secara sederhana
diartikan dengan meletakkan sesuatu bukan pada tempatnya. Dan, bisa diartikan
secara luas, suka berbohong, semena-mena, tidak amanah, menyakiti orang lain,
berbuat kebijakan yang merugikan orang banyak, menyengsarakan rakyat,
mewariskan utang negara tanpa kalkukasi yang tepat, dan semisalnya.
Lebih parah lagi kalau seorang
pemimpin sengaja membuat kezaliman secara terstruktur. Mengangkat penegak hukum
yang tidak memenuhi kapasitas, akhirnya hukum tidak berjalan sebagaimana
mestinya. Tumpul ke atas tapi tajam ke bawa, kejam pada lawan politik tapi tak
kuasa mengadili para pendukungnya yang bersalah. Belum lagi kita bicara soal
ekonomi, pendidikan, dan kesehatan. Tanpa pemimpin yang kuat pasti negara akan
ikut lemah dan tak punya daya saing, akibatnya kita makin terjerumus pada
situasi yang tidak menguntungkan buat negara dan rakyat.
Ketika Allah mengutus Talut
menjadi pemimpin bagi bangsa Bani Israil (QS. Al-Baqarah: 247) mereka protes.
Bagaimana Talut bisa jadi pemimpin bagi kami, padahal kami lebih berhak
daripada dia, sebab Talut bukan orang kaya raya. Padahal Allah telah
menganugrahkan Talut sebagai pemimpin buat Bani Israil yang dibekali dengan
ilmu dan fisik (bashthatan fil-‘ilm wal-jism).
Ayat kedua menekankan bahwa
pemimpin pilihah Allah dalam kasus di atas adalah Talut, dibekali dua instrumen
utama: ilmu yang luas dan fisik yang prima. Padahal menurut Bani Israil,
pemimpin mereka kehendaki adalah yang kaya raya, tapi ternyata Allah
berkehendak lain, pemimpin itu bukan dilihat dari kekayaannya tapi terpenting
harus punya ilmu yang mumpuni dan fisik yang fit, bentuk badan proporsional.
Kisah serupa juga pernah terjadi
masa Nabi Sulaiman, ketika Allah memberikan dia tiga pilihah. Apakah mau jadi
pemimpin, hartawan, atau ilmuan? Ternyata Sulaiman alaihissalam memilih ilmu,
dengan ilmu akhirnya ia dapat meraih semuanya. Demikian pula dalam bentuk
fisik, seorang pemimpin harus tau persis bagaimana kondisi masyarakatnya.
Seekor keledai saja yang terperosok ke selokan gara-gara jalanan rusak, akan
menjadi beban besar bagi seorang pemimpin, karena akan menjadi soal di hari
akhirat. Begiti cara berpikir Umar bin Khattab, ia pun kerap keliling negeri
siang dan malam memantau kondisi rakyatnya.
Nabi Yusuf juga kerap dikaitkan
dengan kepemimpinan, sebab beliau secara vulgar meminta jabatan pada perdana
menteri Mesir ketika itu, Jadikanlah aku bendaharawan [menteri ekonomi], sebab
aku pandai menjaga dan berilmu, (QS. Yusuf: 55). Di sini ada dua syarat khusus
untuk meminta jabatan publik, amanah atau terpercaya, dan punya ilmu spesifik
terkait jabatan yang diharapkan. Dengan amanah maka segala kebijakan pasti
menuju kemaslahatan bangsa dan negara, dengan ilmu setiap kinerja dapat diukur
dan dipertanggungjawabkan dengan baik. Dari visi, misi, program, proses, dan
evaluasi setiap kebijakan dapat terwujud.
Nabi Musa juga kerap jadi contoh
sebagai pemimpin ideal. Ketika masih muda, dia justru diharap oleh putri Nabi
Syuaib agar bisa menjadi suaminya disebabkan dua instrumen utama yang melekat
pada diri Musa, kuat dan terpercaya, inna khaera manista’jarta al-qawiyul amin.
(QS. Al-Qashas: 26).
Jika disimpulkan, maka pemimpin
ideal menurut Al-Qur’adalah adil dan tidak zalim, memiliki wawasan dan keilmuan
yang komprehensif, pandai menajaga dan terpercaya. Dari sisi fisik, harus
memiliki stamina yang fit, kuat tubuhnya dan bentuk badan yang menarik.
Pemimpin ideal bukan hanya dibutuhkan ide-ide cerdas, atau hati yang lemah
lembut, tutur kata yang menyejukkan, narasi bahasa yang membangun optimisme,
tapi fisik dan badan kadang harus hadir di tengah masyarakat yang mungkin saja
membutuhkan perjalanan jauh dari tempat tinggal sang pemimpin. Selamat mencari
pemimpin ideal. Wallahu A’lam.
Enrekang, 1 Maret 2019.
*Peneliti MIUM; Guru Pondok Pesantren Darul Falah,
Enrekang
Comments