Polemik Poligami
Oleh: Dr Ilham Kadir MA*
Tahun 2018 ini layak dijuluki sebagai tahun
polemik, satu masalah dengan lainnya silih berganti, hilangnya satu polemik
karena munculnya polemik baru. Dan polemik terbaru adalah munculnya ide dan
gagasan salah satu partai anyar untuk mengilegalkan syariat poligami, bahkan
Komnas Perempuan pernah ‘membajak’ otoritas Tuhan dengan mengatakan bahwa
poligami bukan ajaran Islam. Tulisan ini akan memotret lebih tajam terkait
masalah poligami, baik dalam perspektif syariat Islam, hukum positif, dan
aplikasi poligami dari tokoh nasional hingga ulama Bugis.
Poligami berasal dari bahasa Yunani “polygamie”, yaitu poly
bermakna ‘banyak’ dan gamie ‘berarti
laki-laki’. Secara istilah poligami adalah laki-laki yang beristri lebih dari satu orang wanita dalam satu ikatan
perkawinan. Laksana seorang suami
mungkin mempunyai dua istri atau lebih
pada saat yang sama.
Banyak wanita atau mungkin mayoritas yang
menolak terjadinya poligami dalam keluarganya dengan berbagai alasan yang diupayakan. Namun
terdapat pula beberapa wanita yang
menerima konsep poligami dalam
keluarganya. Banyak pula contoh perilaku nyata poligami yang didukung oleh istri, seperti memilihkan calon istri atau
bahkan istri pertama yang meminangkan
wanita lain untuk suaminya. Di Indonesia pernah ada acara yang cukup menyita
perhatian publik “Poligami Award”, ada pula ungkapan popular dari pemilik
restoran berjaring “Wong Solo”, Banyak istri, kaya raya, masuk surga!
Syariat poligami dapat diterima karena kefahaman
mereka terhadap bahaya bertambahnya
jumlah wanita yang menua, tapi belum menikah, serta dampak negatif yang ditimbulkannya terhadap kehidupan masyarakat
atau rasa tanggung jawab wanita, cintanya terhadap saudari-saudarinya dari
kalangan perawan tua dan janda bahkan meningkatnya taraf ekonomi suami di
antara perkara yang membuatnya tenang, (Jurnal Privat Law Vol. III No 2
Juli-Desember 2015).
Hingga kini dan entah sampai kapan, persoalan
poligami masih tergolong kontroversial, mengundang berbagai persepsi pro dan
kontra. Golongan anti poligami seperti
Prof Siti Musdah Mulia (2004) melontarkan sejumlah tudingan yang mendiskreditkan
dan mengidentikkan poligami dengan sesuatu yang negatif. Menurutnya, poligami
itu melanggar HAM, bentuk eksploitasi dan hegemoni laki-laki terhadap
perempuan, sebagai bentuk penindasan, tindakan zhalim, penghianatan dan
memandang remeh wanita serta merupakan perlakuan diskriminatif terhadap wanita.
Tudingan lain, poligami merupakan bentuk pelecehan terhadap martabat kaum
perempuan, karena dianggap sebagai medium untuk memuaskan gejolak birahi
semata. Laki-laki yang melakukan poligami berarti ia telah melakukan tindak
kekerasan atau bahkan penindasan atas hak-hak wanita secara utuh.
Ada pun yang pro terhadap praktik poligami
seperti Ariij binti Abdur Rahman
as-Sanan (2006) menanggapi bahwa poligami merupakan bentuk perkawinan yang sah
dan telah dipraktekkan berabad-abad yang lalu oleh semua bangsa di dunia, dari
Maroko hingga Merauke. Dalam banyak hal, poligami justru mengangkat martabat
kaum perempuan, melindungi moral agar tidak terkontaminasi oleh perbuatan keji
dan maksiat yang dilarang oleh Allah SWT, seperti maraknya tempat-tempat
pelacuran, prostitusi, wanita-wanita malam yang mencari nafkah dengan menjual
diri, dan perbuatan maksiat lainnya yang justru merendahkan martabat perempuan
dan menggiring mereka menjadi budak pemuas nafsu si hidung belang.
Poligami
mengandung unsur penyelamatan, ikhtiar perlindungan serta penghargaan terhadap
eksistensi dan martabat kaum perempuan. Pendapat ini tentu melihat dari
substansi atau out come dari praktik poligami itu sendiri, sementara
landasan hukumnya sanga jelas, Al-Qur’an Surah an-Nisa’[4] ayat ketiga, Maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi; dua, tiga
atau empat. Jika takut tak mampu berbuat adil, cukup punya istri satu saja.
Sebenarnya, masalah poligami di Indonesia telah
tuntas, dan tidak layak lagi dijadikan jualan politik, lebih keji lagi jika
mengusung tema poligami dengan tujuan untuk meraih suara dari pihak-pihak yang
anti poligami. Demikian adanya, sebab aturan-aturan negara terkait poligami
sudah sangat gamblang—walaupun masih dipandang mempersempit ruang gerak
penganut mazhab poligami. Bahkan untuk mencapai tujuan poligami sesuai dengan
tuntunan syara’, pemerintah memberikan aturan bahwa setiap mereka yang
berkeinginan untuk melakukan poligami harus mendapat izin Pengadilan Agama.yang
menjadi alasan-alasan dan syarat-syarat berpoligami yang ditentukan oleh
undang-undang dapat ditemukan dalam Pasal 4 ayat (2) dan Pasal 5 ayat (1)
Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 yaitu: Pasal 4 ayat (2). Pengadilan dimaksud
dalam ayat (1) pasal ini hanya memberikan izin kepada seorang suami yang akan
beristeri lebih dari seorang apabila: 1) Isteri tidak dapat menjalankan
kewajibannya sebagai isteri; 2) Isteri mendapat cacat badan atau penyakit yang
tidak dapat disembuhkan; 3) Isteri tidak dapat melahirkan keturunan.
Dalam
pandangan Prof Abdul Karim Syahbun dalam kitabnya “Syarah Mudawwanah
al-Ahwal as-Syahshiyah al-Maggribiyah, jilid-1, 1997” bahwa hukum
dasar poligami adalah mubah, dan dapat direalisasikan dengan dua pertimbangan
utama yaitu, faktor kebutuhan dan jika mampu menegakkan keadilan. Yang pertama
adalah kebutuhan materi dan non materi dari pihak wanita yang sanggup dipenuhi
oleh lelaki yang kebetulan sudah punya istri, kedua adalah kemampuan seorang
suami dalam berbuat adil kepada istri-istrinya, kata adil di sini merujuk pada
keadaan masing-masing pasangan dan tidak dapat duraikan dengan rumus baku.
Poligami
bahkan jadi amalan dan jalan hidup tokoh besar Indonesia, sebut saja Bung Karno
yang pernah menikah selama sembilan kali dalam hidupnya dan memiliki isri
bahkan lebih dari dua dalam satu masa. Tokoh nasional dan pemimpin DI/TII,
Abdul Kahar Muzakkar adalah pelaku poligami tulen. Demikian pula para ulama
Bugis menjadi contoh dalam praktik poligami, sebut saja, Anregurutta Ambo
Dalle, Anregurutta Marzuki Hasan, hingga Anregurutta Lanre Said adalah mereka
yang menjadikan poligami sebagai bagian dari aplikasi syariat Islam. Saya
sendiri yang berguru kepada Lanre Said menyaksikan bagaimana mereka berusaha
berlaku adil kepada kedua istrinya dalam masa yang sama.
Dengan itu, para
santri dapat belajar bahwa ulama besar saja tidak mudah untuk melakukan poligami.
Bagi perempuan yang belum bisa menerima dan mengamalkan poligami tentu tidak
dapat dipaksakan, namun bukan berarti mereka dapat menolak syariat dasar
poligami, sebab jika menolak satu ayat saja (ayat poligami) dalam Al-Qur’an
maka sama dengan menolak seluruh ayat suci dalam Al-Qur’an, dan itu
berimplikasi pada kekufuran.
Yang tepat adalah, jika ada syariat yang belum
mampu kita amalkan maka harus mengakui bahwa itu adalah kekurangan dan kelemahan
kita sambil berusaha untuk mengamalkan syariat tersebut. Cukup mengatakan, Saya
paham dan mengerti kalau ada syariat poligami tapi saya belum mampu
mengamalkan, dan itulah kelemahan saya. Sekali lagi, jangan menggunakan politik
identitas, menjual isu poligami demi mengumbar syahwat politik sesaat. Wallahu
A’lam!
*Wakil Ketua IABB BAZNAS RI; Ketua Infokom MUI Enrekang
Comments