Anregurutta Ambo Dalle, Ulama Pahlawan dari Tanah Bugis
Nama Anregurutta Ambo Dalle rahimahullah kembali
disebut-sebut, hal ini tidak terlepas dari adanya usulan beberapa tokoh untuk
mengangkat maha guru tanah Bugis itu sebagai pahlawan nasional. Bahkan telah
diadakan seminar dengan tema “Dari DDI untuk Nusantara Dedikasi Anregurutta
Abdurrahman Ambo Dalle, Maha Guru dari Tanah Bugis” sebagai salah satu bentuk
keseriusan pelbagai pihak untuk mengangkat nama sang ulama. Seminar tersebut
diadakan di Auditorium IAIN Parepare, Jumat (26/10/2018).
Tulisan singkat ini hanya sekadar mengulangi
informasi terkait riwayat singkat dan kiprah Ambo Dalle di tengah masyarakat,
lebih tepatnya dalam perspektif dakwah kultural yang mendudukkan pososi
Anregurutta sebagai seorang ulama besar yang wajib dikenang jasa-jasanya serta
dijadikan panutan bagi para generasi pelanjut khususnya kaum melineal yang
krisis teladan.
Para peneliti dan penulis riwayat hidup Ambo
Dalle tidak seorang pun yang menentukan tanggal dan bulan kelahirannya. Syarifuffin
Ondeng, Salehuddin, Nurlaelah Abbas, semua sepakat bahwa tahun kelahiran Ambo Dalle
jatuh pada 1900 Masehi. Kecuali itu, penulis buku biografi Ambo Dalle,
Anshory bahkan tidak menulis tahun
kelahiran., pun demikian dalam https://id.wikipedia.org/wiki/Ambo_Dalle, tetap
tidak mencantumkan tanggal dan bulan kelahirannya. Ini menandakan bahwa
keluarga Ambo Dalle tidak terlalu memperhatikan pencatatan kelahiran sang anak,
sebagaimana orang Bugis umumnya waktu itu.
Abdurrahman Ambo Dalle, nama yang diberikan oleh Sang Ayah, Andi Ngati Daeng
Patobo dengan penuh makna. Dalam bahasa Bugis, Ambo berarti bapak,
sedangkan Dalle berarti rezeki. Sang ayah berharap agar putranya kelak
membawa perubahan nasib, bukan hanya bagi keluarganya melainkan juga untuk
masyarakat sekitarnya. Untuk mencapai harapan itu, Ambo Dalle kecil lebih
banyak menghabiskan waktunya untuk kegiatan yang berhubungan dengan pendidikan
dan ilmu sebagai sumber dan jalan mendapat dalle. Sedangkan, Abdurrahman
dapat dimaknai sebagai hamba Allah Yang Maha Pengasih. (Nashruddin
Anshory, 2009: 6). Ibunya bernama Andi Candra Dewi, dan nama "Abdurrahman" adalah pemberian dari guru mengajinya ketika ia masih berumur tujuh tahun. Jika ditela'ah, maka kata 'Andi' merupakan penggilan kehormatan bagi keturunan anakakarung di daerah Sulawesi Selatan, artinya Abdurrahman Ambo Dalle adalah keturunan anakarung yang sekaligus sebagai panrita atau ulama.
Untuk pengembangan intelektual dan keilmuan
yang lebih matang dan sistematis, maka Ambo Dalle juga masuk pada lembaga
pendidikan formal asuhan Belanda, yaitu Volk School (Sekolah Rakyat) Sengkang,
sambil memperdalam bahasa Belanda dengan mengikuti kursus bahasa di HIS
Sengkang. Agar lebih memperdalam ilmu pengtahuan dan menambah wawasan, Ambo
Dalle kemudian berangkat meninggalkan Wajo menuju Makassar, dan masuk Sekolah
Guru Syarikat Islam yang dipimpin oleh H.O.S Cokroaminoto. Sekolah ini sudah
menggunakan sistem modern dengan belajar secara klasikal. (Syarifuddin Ondeng, 2007:6).
Setelah menyelesaikan sekolah guru pada
Pendidikan Guru Syarikat Islam di
Makassar, Ambo Dalle kembali ke daerah asalnya, Wajo, lalu melanjutkan
pendidikan formalnya pada Sekolah Darul Ulumm Sengkang yang dipimpin oleh ulama
alumni Haramayn, Sayyed Muhammad al-Ahdālī. Selain itu, ia juga tetap berguru
dan mulazamah kepada para ulama, antara yang tercatat sebagai gurunya adalah
Haji Syamsuddin, Syekh Ambo Emme, Syekh Rasyid, Sayyid Mahmud al-Jawad, Sayyid
Abdullah Dahlan, Syekh Hasan Al-Yamani, hingga Muhammad As’ad Al-Bugisi. Para
ulama tersebut adalah semuanya alumni Haramayn, datang atau didatangkan ke
Sengkang yang saat itu menjadi salah satu pusat tata niaga dan kota pendidikan.
Mendirikan Madrasah dan Ormas
Tepat
pada tanggal 29 Syawal 1357 H bertepatan dengan 21 Desember 1938, Gurutta Ambo
Dalle bersama rombongan tiba di Mangkoso dan disambut hangat oleh raja dan
segenap masyarakat. Tidak lama kemudian Ambo Dalle mendirikan lembaga
pendidikan dengan nama Madrasah Arabiyah Islamiyah (MAI) Mangkoso. Namun ini
tidak ada hubungan struktural dan organisasi kelembagaan dengan MAI Sengkang,
hanya sebagai hubungan kultural dan menjadi mata rantai dari para ulama hasil
kaderisasi Al-Bugisi. Kepindahan Ambo Dalle, disertai dengan keluarga dan
beberapa santri senior MAI Sengkang, karena itu tidak terlalu direstui oleh
Al-Bugisi, bahkan bersumpah tidak akan pernah menginjakkan kakinya di rumah
Ambo Dalle di Barru kelak. Namun, dalam perjalanannya, suatu ketika, kendaraan
Al-Bugisi mogok tidak jauh dari kediaman Ambo Dalle dalam sebuah perjalanan
menuju Makassar. Ambo Dalle datang menjemput gurunya untuk istirahat di
kediamannya di Mangkoso, lalu Al-Bugisi mengatakan bahwa dirinya terpaksa
membayar kafarat karena sumpahnya itu.
Ambo Dalle bahkan melangkah lebih jauh dengan
membuka berbagai cabang di beberapa daerah atas permintaan masyarakat setempat.
Antara daerah-daerah yang terawal membuka cabang MAI Mangkoso adalah
Bonto-Bonto Pangkep, Paria Wajo, Kulo Sidrap, dan daerah Soppeng sendiri. Jika
ditinjau dari kuantitas dan luasnya wilayah garapan dakwah dan pendidikan, maka
MAI Mangkoso mengungguli MAI Sengkang yang tetap tidak membuka cabang karena
ingin mempertahankan nama dan kualitasnya. Program-program pendidikan Ambo
Dalle tetap berjalan lancar walaupaun Indonesia saat itu masih dalam cengkraman
kolonialisme Belanda, sistem yang dijalankan pun sama dengan sistem pendidikan
Belanda yaitu berbentuk klasikal.
Kemajuan yang dicapai oleh MAI Mangkoso begitu
cepat, ditandai dengan berdirinya berbagai cabang di Sulawesi Selatan, membuat
Ambo Dalle merasa perlu melakukan langkah-langkah serta upaya-upaya strategis
agar lembaga-lembaga pendidikan terorganisir dengan dengan rapi. Ibarat gayung
bersambut, ia pun didukung dengan beberapa ulama alumni MAI Sengkang hasil
kadersiasi Al-Bugisi, seperti Gurutta Daud Ismail (Kadhi Soppeng), bersama
Gurutta Muhammad Abduh Pabbaja dari Allakuang. Ditambah dengan Syekh Abd Rahman Firdaus dari Parepare. Maka
dibentuklah panitia untuk mengadakan Musyawarah Pendidikan Ulama Ahlussunnah
wal Jamaah se-Sulawesi Selatan yang dilaksanakan pada hari Jumat 16 Rabiul Awal
1333 H bertepatan dengan 17 Februari 1947 M. Acara penting ini dikemas
sederhana, bahkan dirangkaikan dengan acara peringatan Maulid Nabi Muhammad
S.A.W. demi menghindari kecurigaan pihak penguasa yang saat itu sangat tidak
kondusif (Nurlaelah Abbas, 2013: 111).
Musyawarah pendidikan tersebut melahirkan sebuah
kesepakatan penting dan bersejarah, yaitu kebulatan tekad segenap peserta
musyawarah untuk mendirikan sebuah organisasi kemasyarakatan yang bergerak
dalam bidang pendidikan, dakwah, dan sosial kemasyarakatan “Dār al-Da’wah
wal-Irsyād” atau DDI. Tidak dapat disangkal bahwa di antara sumbangan
terbesar Ambo Dalle dalam bidang pendidikan dan dakwah adalah kedudukannya
sebagai inisiator sekaligus lokomotif gerbong DDI, dengan kata lain, Ambo Dalle
dan DDI adalah dua sisi mata uang yang tidak mungkin dapat dipisahkan.
Organisasi DDI pada awalnya adalah rekomendasi dari hasil musyawarah alim ulama
se-Sulawesi Selatan yang diamanahkan pelaksanaannya baik secara organisasi
maupun bentuk program-program pendidikannya pada Gurutta Ambo Dalle. DDI adalah
organisasi dakwah dan pendidikan yang bertujuan membangun masyarakat dari sisi
pemahaman keislaman yang mengedepankan manhaj para salafus shaleh, Ahlussunnah
wal Jamaah dengan cara persuasif dan pendidikan menurut perkembangan zaman.
Bagi saya, sudah waktunya para ulama
diperjuangkan untuk mendapatkan kehormatan sebagai pahlawan nasional, sebab
jasa mereka tidak dapat dinilai dengan apa pun, keikhlasannya dalam berbakti
pada agama dan bangsa tidak ada duanya. Bukan hanya Ambo Dalle, tetapi ulama
Bugis lainnya wajib kita abadikan namanya sebagai panutan dan ikutan dalam
berbuat khususnya dalam melanjutkan estafet dakwah, mereka sejatinya penjaga kalimat tauhid, dan pewaris
para nabi. Selamat Menyambut Hari Pahlawan!
*Penulis
Disertasi “Konsep Pendidikan Kader Ulama Anregurutta Muhammad As’ad Al-Bugisi
1907-1952”.
Comments