Memuliakan Bulan Dzulhijjah
Oleh: Dr. Ilham Kadir, MA.*
SECARA bahasa, bulan Dzulhijjah dapat dipecah menjadi dua suku
kata. Dzul artinya pemilik dan al-Hijjah artinya haji
atau bulan pemilik haji. Secara istilah, adalah bulan di dalamnya terdapat
kegiatan ibadah haji yang merupakan salah satu rukun agama Islam sekaligus
bulan terakhir dalam penanggalan hijriah.
Dzulhijjah termasuk bagian dari bulan haram, waktu dimana umat
Islam dilarang untuk berperang. Ada empat bulan yang masuk dalam kategori ini,
masing-masing adalah Dzulqa’dah, Dzulhijjah, Muharram, dan bulan Rajab. Hal ini
diterangkan dalam sebuah hadis yang dinarasikan Imam Bukhari, bersumber dari
Abu Bakrah bahwa Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda,
Sesungguhnya zaman itu akan terus berlalu seperti saat Allah menciptakan langit
dan bumi. Setahun itu ada dua belas bulan. Empat di antaranya yaitu bulan
Dzulqa’dah, Dzulhijjah, Muharram, dan bulan Rajab.
Bulan Dzulhijjah adalah waktu mulia untuk melakukan banyak amal
saleh. Khususnya sepuluh hari pertama dari awal hingga hari kesepuluh
Dzulhijjah. Waktu-waktu mulia ini hanya bisa ditandingi dengan sepuluh hari
terakhir bulan Ramadhan dan pendapat lainnya mengatakan bahwa sepuluh hari pada
awal Muharram juga banyak keutamaannya.
Namun, jika dilihat dari nash hadis yang bersumber dari Nabi, maka
sepuluh hari pertama bulan Dzulhijjah sangat layak diangungkan. Hadis Nabi yang
bersumber dari Ibn Abbas dirawikan oleh Imam At-Turmudzi, “Tidak ada hari-hari
untuk beramal saleh yang di dalamnya lebih dicintai Allah daripada sepuluh hari
ini, para sahabat bertanya, Wahai Rasulullah, termasuk jihad di jalan Allah?
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam menjawab, Termasuk
jihad di jalan Allah, kecuali orang yang mengorbankan jiwa dan hartanya hingga
ia pulang tidak membawa apa pun”.
Bagi saya, jika melihat narasi di atas, sungguh terlalu agung
kemuliaan sepuluh hari pertama bulan haji ini. Saat dimana kita sedang berada,
dan sayang jika dilewatkan tanpa makna. Dapat dibayangkan, bagaimana besarnya
keagungan sepuluh hari ini, melebihi orang yang berperang di jalan Allah (jihad
fi sabilillah). Hakikatnya, perang adalah sebuah pekerjaan dan
ibadah paling susah di dunia ini, sebab segalanya akan dikorbankan, termasuk
jiwa dan raga yang merupakan harta termahal dalam hidup ini. Kalau hanya
sekadar zakat dan infak, maka itu dapat diusahakan, tapi kalau bicara jiwa dan
raga, tentu saja terkait dengan hidup dan mati. Dan perang dengan kemenangan
lalu pulang dengan selamat status dan nilai pahalanya di bawah dari ibadah pada
sepuluh hari di awal bulan Dzulhijjah.
Lalu ibadah apa saja yang paling utama untuk dilakukan? Pada
umumnya umat Islam sudah memahami bentuk dan jenis ritual utama di bulan haji,
misalnya setiap tanggal 9 bulan ini, umat Islam yang beribadah haji melakukan
wukuf di Arafah, sementara yang tidak beribadah haji disunahkan agar berpuasa
Arafah, bisa dimulai sejak tanggal 7-9. Puncaknya, tanggal 10, umat Islam memperingati
hari raya Idul Adha terkenal di Indonesia dengan nama hari raya kurban. Lalu
dilanjutkan tiga hari setelahnya yang disebut ayyam at-tasyriq atau hari
tasyriq, hari yang masih dibolehkan berkurban dan diharamkan berpuasa.
40 Kebiasaan Baik
Tidak semua umat Islam memiliki kemampuan untuk berangkat ke tanah
suci menunaikan ibadah haji. Baik karena terbatasnya jatah maupun karena faktor
biaya. Demikian pula dengan ibadah kurban, tentu kita semua ingin menunaikan
syariat mulia itu, tapi tidak semua memiliki kemampuan.
Oleh sebab itu, Allah menyediakan amalan lain yang sangat elok
untuk diamalkan pada sepuluh hari di awal bulan Dzulhijjah ini. Berdasarkan
hadis Nabi, Ada 40 kebiasaan baik, peringkat teratas adalah melakukan
pemberdayaan (modal usaha kepada fakir miskin). Tidak seorang pun beramal dari
kebiasaan baik ini dengan harapan dapat pahala dan membenarkan apa yang
dijanjikan padanya melainkan Allah akan memasukannya ke dalam surga, (Sahih
Bukhari: 2631).
Pada awalnya, 40 pintu kebaikan dalam hadis di atas tidak disebut
secara linear dalam hadis mana pun. Para ulama di kemudian hari berusaha
menghimpun 40 kebiasan baik tersebut sebagaimana yang dilakukan Imam Ibnul
Batthal dan Imam Ibnu Hajar al-Atsqalani. 40 kebaikan dimaksud adalah.
Memberi modal usaha bagi golongan miskin; meminjamkan kendaraan;
memberi makan orang lapar; menyediakan minum orang haus; mengucap salam ketika
bertemu; menjawab salam; membalas ucapan bersin; menolong orang lain; memberi
bantuan bagi yang terkena bencana atau musibah; membantu orang yang sandalnya
hilang; menyayangi binatang; membantu keperluan orang lain; melepaskan
kesulitan orang; menutup aib orang; berlapang dada dalam majelis; saling
menggembirakan; menolong yang terzalimi; menyelamatkan pelaku zalim; menjadi
pelopor panji-panji kebaikan; amar ma’ruf nahy munkar; mendamaikan orang
berseteru; memberdayakan fakir-miskin; membantu pembangunan fasilitas umum;
membantu mata pencaharian; memberi hadiah pada tetangga; pertolongan darurat;
bersikap lemah lembut dan simpatik; kaya hati; mengajar orang lain; menjenguk
orang sakit; berdoa untuk saudara yang jauh; saling bersalaman, kecuali bukan
mahram; saling mencintai karena Allah; saling berbagi karena Allah; mengangkat
dan menurunkan bawaan orang lain; memberi nasihat; ucapkan kalimah thayyebah;
memuliakan orang beriman; cinta dan benci karena Allah.
Itulah amalan yang sesungguhnya bisa dilakukan oleh siapa pun,
akan lebih afdal jika dilakukan sepuluh hari pertama bulan Dzulhijjah ini.
Namun hakikatnya, jika dilakukan kapan dan di mana pun akan jauh lebih baik.
Khusus kepada pada bakal calon legislatif (Bacaleg) tidak ada
salahnya jika 40 kebiasaan baik ini dilakukan, siapa tau menjadi pembuka jalan
meraih kursi legislatif kelak dengan catatan mulai dengan niat ibadah karena Allah.
Hakikatnya, jika kita berbuat kebaikan dengan tujuan ibadah maka sudah tercatat
satu kebaikan, namun jika niat kita benar-benar terealisasi kita akan mendapat
minimal sepuluh poin. Dalam Riwayat Imam Muslim, Nabi Bersabda, Barangsiapa
berhasrat melakukan suatu kebaikan lalu belum melakukannya maka ditulis satu
kebaikan untuknya. Barangsiapa berhasrat melakukan kebaikan lalu melakukannya
maka ditulis untuknya sepuluh kebaikan hingga tujuh ratus kali lipat. Dan
barangsiapa berhasrat melakukan keburukan, lalu tidak melakukannya maka tidak
ditulis dosa, jika melakukannya akan ditulis satu titik dosa, (Shahih
At-Targhib wa At-Tarhib. No. 18).
Namun, khusus untuk para politisi, harus membedakan antara
berhasrat berbuat baik dengan janji-janji kampanye. Sebab hasrat adalah niat
tulus yang datang dari jiwa seseorang lalu direalisasikan dengan anggota tubuh,
inilah yang berhak mendapatkan pahala dari sisi Allah. Ada pun bagi yang suka
menebar janji tanpa realisasi akan mempertanggungjawabkan segala perbuatannya baik
di dunia maupun di akhirat kelak. Wallahu A’lam!
Enrekang, 16 Agustus 2018 Ml4 Dzulhijjah 1439 H).
*)
Penulis adalah Peneliti MIUMI/Pimpinan BAZNAS Enrekang
Comments