Politik Profetik
Oleh: Dr. Ilham Kadir, MA. Peneliti MIUMI/Pimpinan Baznas
Enrekang
Zaman ini politik dimaknai semakin sempit, hanya sekadar
menggapai dan mempertahankan kekuasaan. Maka mayoritas politikus ketika
berbicara politik tidak pernah lepas dari kata ‘jabatan’, baik jabatan
struktural organisasi negara maupun jabatan dalam partai politik.
Implikasi dari salah paham akan bermuara kepada salah amal.
Fakta-fakta bahwa para politikus secara umum adalah pemburu jabatan publik
susah terbantahkan, sebab partai politik dibentuk memang untuk menjaring calon
pemimpin, mulai dari wakil rakyat di parlemen hingga menteri, kepala negara dan
kepala daerah.
Lalu, bolehkan seseorang memburu jabatan? Bagaimana tipologi
pemimpin ideal? Adakah contoh pemimpin yang Allah utus kepada manusia agar jadi
panutan?
Pelajaran dari Nabi Yusuf
Kendati tujuan utama Allah mengutus para nabi dan rasul adalah
sebagai pembawa kabar gembira (basyiran) dan peringatan (naziran) kepada umat
manusia. Yang pertama bertujuan membesarkan hati orang-orang yang baik, saleh,
beriman, taat, dan semisalnya. Yang kedua sebagai ancaman bagi golongan jahat,
pembangkang, keras kepala, munafik, pendosa, kafir, dan turunannya. Alllah Yang
Maha Adil akan memberi ganjaran pada hamba-Nya sesuai kadar perbuatan.
Salah satu kabar gembira bagi umat manusia yang menjadikan akal
sehatnya sebagi media berpikir adalah diutusnya beberapa nabi untuk menjadi
teladan dalam proses mendapatkan jabatan dan ketika menjadi pejabat. Salah satu
yang sangat menonjol dan mendapat porsi khusus dalam Al-Qur’an adalah Nabi
Yusuf dalam Surah Yusuf.
Ternyata Yusuf adalah Nabi yang terang-terangan meminta jabatan
kepada Perdana Menteri Mesir saat itu yang disebut Al-Aziz. Begini perkataan
Yusuf yang diabadikan Al-Qur’an. “Berkata Yusuf kepada Al-Aziz, jadikanlah aku
bendaharawan negara Mesir, sesungguhnya aku adalah orang dapat dipercaya dan
berilmu,” (QS. Yusuf: 55).
Berdasarkan ayat di atas maka jabatan boleh dikejar dengan
syarat-syarat tertentu. Muhammad Shalih Al-Munajjid dalam “100 Faidah min Surah
Yusuf” menekankan bahwa seseorang boleh meminta jabatan sekiranya dia merasa
paling mampu untuk melaksanakan tugas jabatan tersebut, tanpa harus
membahayakan dirinya sendiri.
Al-Munajjid melanjutkan, bahkan seorang calon pemimpin boleh
menyebutkan kemampuan dirinya untuk tujuan mendapatkan jabatan dengan
pertimbangan demi kemaslahatan rakyat bukan demi kepentingan pribadi.
Sebagaimana Yusuf meminta jabatan sebagai sarana berdakwah kepada Allah. Yusuf
meminta jabatan bukan demi kepentingan pribadi tapi karena agama dan
kemaslahatan umum, dan pada masa itu tidak seorang yang memiliki kapasitas dan
integritas melebihi kemampuan Yusuf dalam memegang jabatan. Intinya, jika
merasa paling mampu untuk memegang jabatan maka dia boleh mencalonkan diri
sebagai pemimpin selama itu untuk kemaslahatan umat bukan ambisi dan nafsu
kekuasaan pribadi.
Jika dikaji lebih mendalam, ada dua modal Nabi Yusuf yang ia
tawarkan kepada Perdana Menteri yaitu terpercaya (hafizun) dan berilmu (‘alim).
Syarat ini masih relevan sampai detik ini, dari zaman Al-Aziz di Mesir hingga
Jokowi di Indonesia. Kepercayaan adalah modal utama untuk bisa menjadi
pemimpin, sebab pejabat yang tidak bisa dipercaya adalah pejabat munafik.
Kejujuran dan kepercayaan adalah modal utama seorang pimimpin.
Dari sifat ini hingga muncul ketegasan sebab hanya orang tegas yang akan mampu
memimpin orang banyak. Pendapat ini tidak bertentangan dengan arti hafiz
menurut Al-Mahalli dan Asy-Syuyuti dalam “Tafsir Jalalain” yang memaknai hafiz
dengan kemampuan menjaga. Dengan makna yang luas, termasuk menjaga kepercayaan
rakyat ketika dipilih dan dilantik menjadi pemimpin.
Kata ‘hafiz’ dalam konteks Yusuf meminta jabatan kepada Perdana
Menteri Mesir saat itu adalah sebuah penekanan bahwa dirinya mampu menjaga
amanah sebagai pejabat dan tidak akan berkhianat. Yusuf dipelihara oleh Al-Aziz
bersama istrinya bernama Zulaikha, sang istri yang menyaksikan Yusuf beranjak
dari masa anak-anak menuju masa puber, remaja, dan dewasa tidak mampu memedam
hasrat seksnya selaku wanita normal. Yusuf tumbuh menjadi pria tampan dan
berkharisma. Zulaikha mengajak dan memaksa Yusuf berzina, sang nabi
menolak. Tapi tipu daya istri Al-Aziz tidak padam, ia membuat makar yang pada
akhirnya Yusuf lebih memilih hidup dalam penjara daripada tinggal dalam sangkar
emas penuh intrik dan tipu daya setan Zulaikha. Karena itu, Yusuf menegaskan
pada Al-Aziz kalau dirinya dapat dipercaya dan bukan pengkhianat, ia layak jadi
patner kerja.
Modal kedua yang Yusuf miliki dan tawarkan kepada sang perdana
menteri adalah sebagai orang berilmu (‘alim). Ini adalah syarat kedua dan tidak
kalah penting dibanding syarat sebelumnya. Amanah tanpa ilmu seperti burung
tanpa sayap. Dengan ilmu seorang pemimpin mampu mengatur rakyat dengan adil dan
beradab.
Ilmu di sini dapat dibagi menjadi dua, sebagaimana pendapat
Al-Gazali yaitu fardhu ain dan fardu kifayah. Yang pertama terkait dengan
pengetahuan tentang tauhid dan ilmu-ilmu agama lainnya, yang kedua adalah
ilmu-ilmu keduniaan yang dibutuhkan untuk mengatur negara, dan mengarahkan
masyarakat hidup lebih maju, aman, dan sejahtera.
Kepemimpinan yang berdasar pada kedua jenis ilmu itulah (ilmu
fardhu ain dan fardhu kifayah) yang dimaksud dengan politik profetik, sebuah
jalan menggapai kekuasaan dengan modal agama dan ilmu pengetahuan (sains) yang
dibutuhkan masyarakat pada zamannya.
Bukan Karbitan
Seorang pemimpin ideal yang muncul dari politik profetik agar
dijadikan contoh pemimpin zaman now adalah mereka yang telah melewati tahapan
demi tahapan yang sesungguhnya penuh onak dan duri, Nabi Yusuf adalah contoh
ideal.
Ketika Yusuf diterima jadi bendaharawan Mesir atau Menteri
Keuangan maka itu terjadi setelah akumulasi perjalan dan penderitaannya
terkumpul sempurna. Cobaan terawal yang dirasakan Yusuf justru berasal dari
orang terdekat yakni dari para saudara tirinya, ia dibawa ke tengah padang pasir
lalu dibuang dalam sumur. Dari sini babak penderitaan silih berganti, Nabi
Yusuf lalu diselamatkan oleh pedagang yang melintas, lalu dijual di pasar
budak. Pembelinya adalah penguasa Mesir, sebagai budak ia bekerja
sebagai pelayan di istana. Penderitaan selanjutnya ketika Yusuf menjadi korban
tipu muslihat istri penguasa yang mengantarkan dirinya mendekam dalam penjara
selama beberapa tahun.
Setelah penderitaan datang bertubi-tubi dengan durasi waktu
begitu lama, dan dilewati dengan sukses oleh Nabi Yusuf, barulah ia diberi
kedudukan sebagai menteri keuangan yang sangat terhormat di Mesir. Kedudukan
tersebut tidak datang begitu saja, tapi setelah lulus dari ujian yang butuh
ketabahan dan kesabaran.
Imam Syafi’i berkata, “Seseorang tidak akan diberikan kedudukan
sebelum ia diberikan cobaan”. Dan cobaan yang ditimpakan pada Nabi Yusuf
merupakan sunnatullah bagi seorang pemimpin yang menjadikan jabatan sebagai
medan dakwah sebagaimana yang dilalui para nabi, ulama, dan wali Allah.
Kesuksesan Yusuf dalam merebut dan menduduki jabatan penting
dalam pemerintahan Mesir sehingga diabadikan dalam Al-Qur’an dan menjadi
pelajaran bagi umat manusia sepanjang zaman karena tiga sebab utama: sabar
dalam ketaatan pada Allah; sabar dalam menjauhi perbuatan maksiat; dan sabar
menerima ketentuan-ketentuan Allah.
Tiga jenis sabar di atas memiliki derajat yang beda. Sabar dalam
ketaatan pada Allah serta menjauhi perbuatan maksiat lebih tinggi dari sabar
menghadapi ketentuan. Sebab sabar yang pertama dan kedua memiliki pilihan
ganda, orang yang tidak sabar menjalankan perintah Allah boleh saja ia kufur
dan ingkar pada Tuhan, demikian pula sabar menjauhi perbuatan maksiat di kala
ada peluang untuk melakukan itu adalah sangat mulia. Maka pemimpin yang punya
kekuasaan dan kekuatan untuk korupsi namun ia hindari masuk dalam kategori ini.
Sedangkan sabar menghadapi cobaan tanpa ada pilihan lain seperti musibah
kematian dan sejenisnya adalah sebuah keniscayaan yang normatif.
Pemimpin tangguh adalah yang sabar dalam menjalankan perintah
Allah dan menjauhi larangan-Nya. Tipe pemimpin profetik tidak hanya ada dalam
sejarah dan khayalan, hal itu bisa terwujud jika kita bersatu memilih pemimpin
yang memenuhi ciri dan kriteria sebagaimana yang melekat pada Nabi Yusuf:
terpercaya dan berilmu. Wallahu A’lam!
Batili-Enrekang, 17 Maret 2018
Comments