Polemik Pendistribusian Zakat Fitrah
Syariat puasa dan zakat fitrah menjadi pembeda utama bulan
Ramadhan dengan sebelas bulan selainnya. Masyarakat muslim bersuka cita dan
penuh antusias menyambut dan menjalani kedua aturan di atas.
Pembahasan kali ini berkisar tentang syariat zakat fitrah, problematika,
dan polemik yang selalu hadir kala Ramadhan tiba, khususnya di hari-hari
terakhir puasa jelang tutup bulan.
Zakat fitrah mulai disyariatkan pada tahun kedua setelah Nabi
dan umatnya melakukan eksodus dari Makkah ke Madinah (hijrah). Yaitu tahun
diwajibkannya puasa Ramadhan. Jadi zakat fitrah dan Ramadhan adalah bagian yang
tidak bisa dipisahkan. Tujuan utama zakat fitrah dapat dilihat dalam hadis
berikut, Dari Ibn Anbas, ia berkata, Rasulullah telah mewajibkan zakat fitrah
sebagai pembersih bagi orang yang berpuasa dari perbuatan sia-sia dan perkataan
yang kotor, juga sebagai makanan bagi orang-orang miskin. Barang siapa yang
mengeluarkan zakatnya sebelum salat Idul Fitri, maka akan diterima zakatnya,
dan siapa yang berzakat setelah lebaran, maka hanya dihitung sedekah biasa.
Dalam memaknai hadis di atas, mayoritas ulama berpendapat bahwa
waktu yang afdhal membayar zakat fitrah adalah di akhir Ramadhan. Abdullah Ibn
Umar membolehkan sehari atau dua hari jelang lebaran, Abu Hanifah lebih longgar
mengizinkan berzakat sejak pertengahan puasa. Hanya Imam Syafi’i yang
membolehkan berzakat fitrah sejak awal hingga akhir bulan Ramadhan, (Sayed
Sabiq “Fiqh As-Sunnah”).
Ada pun takarannya, berdasarkan sebuah Hadis diriwayatkan
Bukhari-Muslim, dari Ibn Umar, Nabi mewajibkan zakat fitrah sebanyak satu sha’
kurma, satu sha’ gandum atas seorang hamba, orang merdeka, laki-laki dan
perempuan, besar maupun kecil yang penting orang Islam.
Para ulama menafsirkan bahwa satu sha’ itu sama dengan 1/6 liter
di Mesir yaitu 11/3 wadah Mesir atau setara dengan 2167 gram gandum, (Yususf
Al-Qaradhawi, “Hukum Zakat”). Namun jika menggunakan neraca, maka timbangannya
lebih berat dengan bahan makanan lainnya seperti beras misalnya. Karena itu
wajib untuk menambah takarannya, untuk menjaga kehati-hatian setidaknya kita
keluarkan 2.5 kg, atau sekitar 3,5 liter. Pendapat ini menjadi pedoman
kementrian agama dan Badan Amil Zakat Nasional dalam menentukan besaran zakat
fitrah yang wajib dibayar kaum muslimin Indonesia.
Perbedaan ukuran satu sha’ menjadi perhatian khusus Imam Nawawi,
“Telah menjadi sulit membuat batas satu sha’ yang dikeluarkan di zaman
Rasulullah adalah takarannya diketahui yang berbeda-beda ukuran timbangannya
karena perbedaan materi yang dikeluarkan seperti biji-bijian, kacang-kacangan,
dan yang lain,” tulisnya dalam kitan “Raudhah”. Bagi Al-Qaradhawi, satu sha’
itu sama dengan empat mud, satu mud sekali cidukan telapak tangan penuh dari
orang yang berbadan sedang, tidak terlalu besar tidak pula terlalu kecil. Pendapat
ini berasal dari Abu Al-Faraj Ad-Darimi.
Lalu bagaimana jika menunaikan zakat dengan menggunakan uang?
Imam at-Tsuari, Imam Abu Hanifah, dan pengikutnya berpendapat bahwa
mengeluarkan zakat dengan harganya adalah boleh. Ini pula jadi kebijakan Umar
bin Abdil Aziz, sebagaimana ditulis Abu Syaibah, Al-Mushannif. Imam Hasan
berkata, Tidak mengapa mengeluarkan beberapa dirhan untuk zakat fitrah.
Berkata Abu Ishaq, Aku mendapatkan orang-orang membayar zakat fitrahnya pada
bulan Ramadhan beberapa dirham seharga makanannya.
Yang tepat adalah dilihat skala prioritasnya. Apabila makanan
lebih utama baginya, maka memberi mereka bahan makanan tentu lebih utama. Namun
jika dibutuhkan adalah keperluan lain, seperti pakaian dan dana transportasi
untuk silaturrahmi, tentu menggunakan uang lebih utama. Dewasa ini, segala
kebutuhkan mudah didapat dengan menggunakan uang sebagai alat belanja.
Titik Krusial
Penyaluran atau pendistribusian zakat fitrah adalah titik paling
rawan dan krusial. Perdebatan siapa saja yang berhak menikmatinya tidak pernah
habis, baik kalangan fuqaha (ahli fikih) maupun juhala (bukan ahli fikih).
Masalah ini lalu melemparkan kita pada persoalan yang tidak kunjung selesai.
Sebagian amil (pengelola zakat) baik tingkat masjid desa hingga
kecamatan menjadikan zakat fitrah sebagai lahan mengumpulkan dana untuk
digunakan dalam acara serimonial keagamaan, seperti pertandingan Musabaqah
Tilawatil Qur’an. Zakat tersebut diendapkan berbulan-bulan sampai tiba masa
kegiatan baru dicairkan. Di kampung saya, Bonto Cani, Bone, dan sebagian
masyarakat Enrekang, orang-orang berduyung-duyung menunaikan zakat fitrah di
rumah imam masjid. Tanpa ada catatan, baik para muzakki (yang berzakat) maupun
penerima zakat (mustahik), cara ini melahirkan masalah baru sebab tidak jelas
dikemanakan zakat yang terkumpul, dan berapa banyak jumlah muzakki dan zakat
yang diterima setiap tahun, dan berapa jumlah penerima manfaat zakat.
Di kota-kota tertentu masjid yang saldonya mencapai ratusan juta
bahkan miliaran sudah pasti memiliki jamaah yang sudah sejahtera, namun
konyolnya, panitia zakat memaksakan penyaluran ke jamaahnya saja, tentu ini
fatal, sebab kampung sebelah mungkin saja ada yang benar-benar muskin dan lebih
butuh uluran zakat.
Itulah kenapa harus mengetahui data muzakki dan mustahik.
Sebab mengetahui data muzakki itu berarti kita dapat ukur jumlah masyarakat
yang mandiri atau berada pada ekonomi kelas menengah ke atas. Sementara
mengetahui jumlah mustahik itu berarti mengetahui database orang miskin yang
ada di daerah tersebut. Sehingga pemerintah dapat dengan adil memberikan
bantuan susulan lainnya, termasuk Raskin yang terus menerus bermasalah pada
tahap penerima.
Perdebatan terkait diarahkan ke mana saluran zakat fitrah sudah
ada sejak dulu. Namun secara umum dapat dipetakan menjadi dua pendapat. Yang
pertama: zakat fitrah adalah sama statusnya dengan zakat harta, tanpa
membedakan status antara satu dengan lainnya, jika demikian maka yang berhak
menerima zakat adalah yang tertuang dalam Surah At-Taubah[9]:60. Bahwa zakat itu
diperuntukkan kepada delapan golongan, fakir, miskin, amil, muallaf, hamba
sahaya, terlilit hutang, pejuang di jalan Allah, dan yang kehabisan bekal di
jalan. Para ulama menyebut delapan golongan di atas sebagai “ashnaf
at-tsamaniyah”. Pendapat ini jadi anutan mazhab Syafi’i yang diikuti mayoritas
muslim Asia Tenggara. Pendapat kedua: bahwa zakat fitrah tetap dibagikan kepada
delapan kelompok di atas, tetapi skala prioritas adalah fakir dan miskin. Perlu
ditekankan, bahwa skaka prioritas dimaksud adalah tidak mereduksi hak enam
golongan lainnya. Pendapat ini menjadi pendapat hampir semua ulama (jumhur),
sebagaimana ditulis, Sayyed Sabiq “Fiqh as-Sunnah”, Abu Bakr Jabir Al-Jaza’iri
“Minhajul Muslim”.
Yusuf Al-Qaradhawi sebagaimana dikutif Tim Penulis “Fikih Zakat
Kontekstual Indonesia” bahkan menulis khusus golongan yang tidak boleh
menikmati zakat fitrah. Mereka adalah yang terlarang menerima zakat harta,
seperti orang kafir yang memusuhi Islam, murtad, fasik yang merusak Islam
dengan kefasikannya, orang yang kaya baik dengan harta maupun dengan usahanya,
pengangguran yang mampu berusaha, keluarga yang wajib dinafkahi seperti orang
tua, anak, dan istri atau tanggungan.
Tujuan primer pendistribusian zakat fitrah berdasarkan hadis
Nabi, “Agnuhum ‘an thawaf hadzal-yaum”. Bebaskan mereka [orang-orang miskin]
pada hari ini agar tidak keliling mengemis!
Ironisnya, justru di hari berbahagia, terutama Hari Raya Idul
Fitri, pasukan pengemis bertebaran di kota-kota besar, meminta belas kasihan.
Wajar kalau kita bertanya, disalurkan ke mana saja zakat fitrah yang terkumpul
di Bulan Ramadhan. Padahal jumlahnya jelas fantastis, mencapai triliunan
rupiah. Hanya ada dua kemungkinan, salah kaprah dalam pengumpulan atau salah
sasaran dalam penyaluran. Atau mungkin masyarakat kita memang senang mengemis
walaupun sebenarnya punya harta yang cukup. Wallahu A’lam!
*Dimuat Tribun Timur 8/6/2018; 23 Ramadhan 1439*
Oleh: Dr. Ilham Kadir,
MA., Peneliti MIUMI; Pimpinan Baznas Enrekang
Comments