Membedah Had Kifayah BAZNAS
Oleh: Dr. Ilham Kadir, MA., Wakil Ketua IABB/Pimpinan BAZNAS
Enrekang.
Dimuat Tribun Timur, 13/7/2018
Had dalam bahasa Arab berarti batas, dan kifayah berakar dari
kata ‘kafa-yakfi-kifayah’ yang bermakna cukup. Dalam arti yang khusus yaitu
mencukupi hal yang penting atau memenuhi keperluan untuk hidup dan tidak perlu
bantuan orang lain, (Fairuzabadi, Al-Qamus Al-Muhith, 5:386. Bairut, t.th.).
Selain itu kifayah juga berarti tidak berkurang dan tidak
berlebih, sesuai dengan keperluan. Dalam terminologi Arab, perkataan kifayah
merujuk kepada dua hal utama yaitu makanan dan kemandirian tanpa bantuan orang
lain.
Ditinjau dari sudut istilah, para ulama memiliki pengertian yang
berbeda, antara lain: Ibnu Abidin menyatakan bahwa had kifayah adalah batas
minimun yang dapat menghindarkan manusia dari kesulitan hidup. Masuk dalam hal
ini adalah kebutuhan makanan, pakaian, tempat tinggal atau hal lain seperti
perkakas dan kendaraan yang tidak sampai pada tahap kemewahan; Imam Nawawi
menyatakan bahwa kifayah adalah suatu kecukupan, tidak kurang dan tidak lebih.
Hal ini menandakan bahwa sesuatu disebut kifayah apabila tidak berlebihan dan
sesuai dengan kebutuhan; Imam Syatibi menyatakan bahwa had kifayah merupakan
sebuah ukuran kebutuhan yang sangat asasi dan fundamental. Jadi bukan sekadar
kecukupan yang primer, tetapi masuk dalam kategori sekunder yang menjadi
tonggak kelancaran hidup manusia, (Tim Penulis Puskas Baznas, Kajian Had
Kifayah, 2018).
Istilah lain yang mirip dengan had kifayah adalah ‘Kafaf’, kedua
istilah ini kerap dipakai dalam mengukur standar kelayakan hidup seseorang.
Kafaf adalah kadar kebutuhan manusia tanpa kekurangan dan kelebihan, sedangkan
kifayah adalah suatu batas kecukupan bagi seseorang yang membuatnya tidak
meminta pada orang lain. Ada pun titik perbedan kedua istilah tersebut, bahwa
kafaf bagi sebagian orang terbatas pada hal-hal yang primer berupa sandang,
pangan, dan papan. Sedangkan ukuran had kifayah bisa lebih luas, mulai dari
kebutuhan pokok yang sesuai bagi kehidupan normal seperti pendidikan,
kesehatan, transportasi, hingga alat komunikasi.
Kriteria miskin
Karena tahun ini hingga tahun depan adalah tahun politik, dan
salah satu bahan baku jualan para politisi adalah pengentasan kemiskinan. Maka
mengetahui standar kemiskinan itu penting, walaupun selama ini sudah berbaga
macam lembaga telah bekerja untuk memetakan garis kemiskinan. Baik skala internasional
seperti bank dunia, atau nasional seperti Badan Pusat Statistik (BPS) hingga
skala lokal yang biasanya ditangani oleh Dinas Sosial masing-masing daerah.
Yang terbaru adalah hasil penelitian Pusat Kajian Strategi
(Puskas) Baznas. Hasil penelitian dan kajian dimaksud adalah “Kajian Had
Kifayah 2018”.
Sekadar perbandingan, dalam mengukur kemiskinan BPS menggunakan
pendekatan kebutuhan dasar (basic need approach) dimana kemiskinan dipandang
sebagai ketidakmampuan dari sisi ekonomi untuk memenuhi kebutuhan dasar makanan
dan bukan makanan yang diukur dari sisi pengeluarannya. Sementara itu, Bank
Dunia menetapkan garis kemiskinan internasional sebesar USD 1,9 (Rp. 25.000).
Dengan pendekatan yang berbeda maka jumlah penduduk miskin Indonesia pun akan
berbeda jumlahnya, jika merujuk pada Bank Dunia tentu yang memiliki penghasilan
750 ribu perbulan di Indonesia bisa mencapai 30 persen jumlah penduduk bangsa
ini.
Lain pula jika diteropong dari sudut pandang Islam. Angka
kemiskinan mungkin saja akan berbeda dan lebih banyak karena menggunakan
pendekatan yang beda. Pendekatan yang digunakan berdasarkan ‘maqasid syariah’
dalam rangka menjaga agama (hifz al-din) jiwa (hifz al-nafs), akal (hifz
al-‘aql), keturunan (hifz al-nasl), dan menjaga harta (hifz al-mal).
Pendekatan dari sisi agama Islam ini penting, selain karena
Islam mengatur kemiskinan, juga karena penduduk Indonesia adalah mayoritas
bergama Islam sebagai penyumbang tertinggi angka kemiskinan. Salah satu aturan
Islam yang menjadi bagian dari pilar Islam adalah berkaitan dengan penanganan
kemiskinan: zakat.
Di Malaysia, had kifayah telah dikuantifikasi oleh Lembaga Zakat
Selangor. Angka kad kifayah diperoleh dengan menghitung jumlah pengeluaran
kebutuhan dasar dalam satuan rumah tangga yang meliputi tujuh aspek ibadah:
tempat tinggal, makanan, pakaian, kesehatan, pendidikan, dan transportasi.
Besaran had kifayah ditentukan perkeluarga yang dibedakan berdasarkan
kepemilikan rumah sendiri atau rumah sewa. Selan itu terdapat biaya tambahan
dalam kondisi tertentu seperti jika terdapat tanggunagn yang defabel atau
keluarga berpenyakit kronis.
Pendistribusian zakat diatur ketat dalam syariat, antaranya
adalah agar skala prioritasnya untuk fakir miskin, namun ketentuan fakir dan
miskin senagai kelompok penerima zakat (asnaf) terbesar saat ini masih berupa
kriteria-kriteria bersifat kuantitatif.
Badan Amil Zakat Nasional (Baznas) yang diamanahkan oleh UU No
23 tahun 2011 sebagai lembaga negara pengelola zakat sekaligus koordinator
organisasi pengelola zakat di Indonesia memiliki peran penting dalam menyikapi
kajian-kajian yang terkait dengan penentuan kriteria miskin, khususnya dalam
sudut pandang Islam. Sebab Baznas perlu secara jelas melihat siapa sesungguhnya
sasaran utama penerima zakat.
Mengingat dana yang dikelola Baznas merupakan dana zakat yang
ketentuannya diatur oleh syariat, maka sudut pandang Islam harus menjadi acuan
dalam melihat konsep kemiskinan. Maka, “Had Kifayah” digunakan untuk mengukur
berapa kebutuhan minimun menurut standar maqasid syariah dalam konteks
masyarakat Indonesia.
Jika dibandingkan dengan batas-batas yang telah ditentukan
pemerintah, konsep had kifayah dapat dianalogikan seperti Garis Kemiskinan (GK)
dalam sudut pandang Islam atau yang disesuaikan dengan ketentuan Islam.
Sementara itu, jika dibandingkan Kebutuhan Hidup Layak (KHL) yang dikeluarkan
Dewan Pengupahan, had kifayah berada di bawahnya. Sebab secara konsep KHL lebih
dekat dengan istilah nishab dimana seorang muslim sudah mendapat penghasilan
yang terkena wajib zakat, umumnya berpenghasilan 4 juta ke atas.
Hasil perhitungan had kifayah menunjukkan bahwa rata-rata
kebutuhan hidup layak masyarakat Indonesia adalah minimal 3 juta perkeluarga
setiap bulan. Sedangkan perorangan sekitar 780 ribu perbulan. Walaupun
angka-angka tersebut bisa saja berkurang dan bertambah sesuai teritorial
sekitar Indonesia.
Karena itu, berdasarkan kajian Baznas, keluarga dengan
pendapatan di bawah 1 juta perbulan menjadi prioritas utama untuk mendapatkan
bantuan zakat, infak dan sedekah. Selanjutnya keluarga dengan penghasilan 1
juta hingga 2 juta perbulan menjadi prioritas kedua untuk dibantu. Sedangkan
keluarga dengan penghasilan 2 juta hingga 3 juta menjadi prioritas ketiga.
Dengan lahirnya “Kajian Had Kifayah 2018” ini, maka Baznas
secara khusus tidak boleh lagi berdebat kusir siapa yang utama untuk dibantu.
Sehingga dana-dana umat yang dikelola benar-benar dirasakan manfaatnya.
Filosofi Baznas adalah menebar manfaat zakat sebanyak mungkin, jika itu
terwujud maka umat akan semakin percaya pada tata kelola Baznas sehingga zakat
dapat menjadi tonggak membangun peradaban. Wallahu A’lam!
Enrekang, 12 Juli 2018/Edisi 13 Juli 2018 Tribun Timur
Comments