Fanatik Politik

Ketika
krisis ekonomi menghantam kawasan Asia Tenggara pada paruh kedua tahun 1990-an.
Maka krisis multidimensi muncul, yang paling menonjol adalah tumbangnya Orde
Baru di Indonesia dengan lengsernya penguasa terkuat di negara paling besar
Asia Tenggara ini, Presiden Suharto. Setali tiga uang, Malaysia pun demikian,
Mahathir Muhammad selaku Perdana Menteri memecat wakilnya, Anwar Ibrahim.
Gejolak
tidak terelakkan, Anwar Ibrahim yang memiliki pendukung fanatik, utamanya para
penggagas islam modern melawan mati-matian. Demostrasi meneriakkan ‘reformasi’
pun menggema di Malaysia.
Mahathir
tidak bergeming, tetap pada keputusannya, bahkan melangkah lebih jauh,
bekerjasama dengan aparat hukum untuk menjebloskan Anwar Ibrahim ke dalam
penjara dengan berbagai macam tuduhan yang tak masuk akal, seperti kasus sodomi
dengan mengangkat kasur masuk keruang sidang sebagai saksi. Aneh bin ajaib!
Mahathir
lalu mengangkat Abdullah Ahmad Badawi sebagai wakil perdana menteri dan
mengangkat Najib Razak sebagai Menteri Pendidikan lalu menjadi Menteri
Pertahanan.
Pada
31 Oktober 2003, Mahathir Mohamad undur diri sebagai Perdana Menteri yang ia
diduki sejak 16 Juli 1981 atau selama 22 tahun. Hal ini memberi laluan kepada
Abdullah Badawi naik tahta sebagai Perdana Menteri Malaysia. Pada tanggal 7
tanggal 7 Januari 2004, Najib dilantik sebagai Wakil Perdana Memteri, lima
tahun kemudian, tepatnya 2 April 2008, Abdullah Nadawi mengundurkan diri
sebagai Perdama Menteri dan keesokannya Najib disumpah sebagai Perdana Menteri
Malaysia yang baru.
Kemarin,
9 Mei 2018. Terjadi sejarah baru, sebab Mahathir yang telah berusia 92 tahun
itu justru reuni dengan Anwar Ibrahim (71) untuk bersatu dalam barisan
pembangkang (oposisi) yang disebut Pakatan Harapan (PH). Turun gunungnya Tun
Mahathir disebabkan karena banyaknya skandal korupsi yang melilit Najib Razak
yang merupakan anak didik Mahathir juga. Kini guru lawan murid.
Ada
222 kursi parlimen (selevel dengan DPR RI) yang jadi rebutan dalam pemilu
kemarin, dan juga 505 kerusi dewan undangan negeri (DUN) atau semacam DPRD
Provinsi. Ini adalah pemilu ke-14 bagi Malaysia. Merujuk pada hitung cepat,
hasil rasmi bagi kesemua 222 kursi parlimen sudah diterbitkan di laman SPR (KPU
Malaysia), oposisi merebut 113, dan partai pemerintah hanya mendapat jatah 79.
Lainnya ada PAS: 18, Warisan 8 kursi, Bebas: 3 kursi Parti Solidariti Tanah
Airku (STAR) 1 kursi. Ini kembali meneguhkan jika pengaruh Mahathir dan Anwar
begitu kuat di Malaysia. Hari ini (10/5/2018) Mahathir Mohamad akan kembali
dilantik sebagai perdana menteri setelah itu memberi jalan kepada muridnya,
Anwar Ibrahim untuk menduduki posisi sebagai pemimpin tertinggi di negeri jiran
itu.
***
Di
Indonesia lebih parah lagi. Para politikus begitu mudah loncat partai dan alih
dukungan sana sini. Seorang tokoh bahkan tidak segan-segan buat partai jika dia
kalah dalam pemilihan ketua partai lawas. Sebagai contoh saja, tokoh-tokoh
partai sekaliber Gerakan Indonesia Raya (Gerindra), Nasional Demokrat (NasDem),
Hati Nurani Rakyat (Hanura) merupakan serpihan-serpihan dari Partai Golongan Karya
(Golkar) yang telah berkuasa selama tiga dekade.
Akhirnya,
tokoh-tokoh yang muncul dalam kontestasi pemilihan presiden pun tidak banyak
berubah, pemain lama yang gati kostum di panggung yang sama. Hanya satu dua
yang benar-benar tokoh baru, dan itu pun harus mau diatur oleh king maker yang
merupakan tokoh senior.
Pelajaran
yang harus diambil dari dinamika politik kedua negara di atas: Indonesia dan
Malaysia agar para generasi jaman now lebih bijak dalam mengambil posisi
poliik. Sikap politik fanatik sudah bukan waktunya lagi, sebab sesungguhnya
para politisi sangat mudah berubah pikiran dan tindakan. Tergantung situasi dan
kondisi serta kepentingan para elite.
Gaya
politik yang fanatik hanya menyisakan penyesalan, bisa saja golongan awam belum
sembuh lukanya akibat dukungan yang berbeda antara satu dengan lainnya, namun
para tetua politik sudah duduk di singgahsana menikmati fasilitas negara sambil
bercengkrama mantan lawan.
Para
politikus adalah manusia biasa, bukan dewa, bukan pula super hero. Mereka
merasa paling mampu mengatur negara, membentuk pemerintahan, dan memiliki
pengaruh luas dan pendukung yang mayoritas. Dan tentu saja, politikus adalah
profesi sangat rawan dan rentang penyelewengan. Banyak yang sudah ditangkap
lalu dipenjara, dan kemungkinan akan lebih banyak yang tersiksa di hari
pembalasan karena dosa-dosanya sewaktu menjadi pemimpin di dunia.
***
Terhadap
ulama saja, sebagai golongan paling mulia di dunia ini kita tidak dibolehkan
fanatik. Apalagi dengan politik dan politikus yang penuh intrik, ketamakan,
ambisi, dan tipu muslihat.
Imam
Ibnul al-Qayyim rahimahullah, mengingatkan, memberi nasihat tentang larangan
fanatik, “Sepeninggal generasi-generasi terbaik umat ini, [disusul dengan
lenyapnya para imam abad ke-IV H] datanglah kemudian generasi-generasi yang
memecah belah agamanya. Mereka hidup bergolong-golongan dan masing-masing
bangga dengan apa yang ada pada dirinya. Mereka telah memotong-motong perkara
agamanya menjadi berkeping-keping. Segolongan orang menjadikan ta’ashub
madzhabi [fanatisme golongan] sebagai agama yang dipegang erat-erat dan sebagai
modal keyakinan yang digembor-gemborkan. Sementara segolongan yang lain merasa
puas dengan sikap taklid buta.”
Ibnul
Qayyim melanjutkan petuahnya, Sesungguhnya hal yang paling pantas dan paling
utama untuk orang saling berlomba dan berpacu adalah meraih sesuatu yang bisa
menjamin kebahagiaan hidup di dunia maupun di akhirat dan bisa memberi petunjuk
pada jalan yang menghantarkan pada kebahagiaan itu. Sesuatu dimaksud adalah
al-‘ilmu an-nafi’ atau ‘ilmu yang bermanfaat, yakni ilmu agama yang benar’ dan
amal shaleh. Tanpa keduanya tak bakal ada kebahagiaan bagi seorang hamba, dan
tanpa mengaitkan diri pada sarana-sarana yang bisa digunakan untuk memperoleh
keduanya, maka keselamatan tidak mungkin akan tercapai.
Barangsiapa
yang dianugerahi ilmu bermanfaat dan amal shaleh, berarti dia sangat beruntung.
Sebaliknya bagi siapa saja yang diharamkan untuk memperoleh keduanya niscaya
seluruh kebaikan diharamkan baginya.
Saya
tutup dengan menyitir sebuah riwayat, Cintailah panutanmu dengan biasa-biasa
saja, sebab bisa jadi kelak akan berbalik jadi musuhmu. Dan bencilah seseorang
dengan biasa saja sebab siapa tau ia akan berbalik menjadi kawan akrabmu!
Dimuat
Tribun Timur, 11 Mei 2018.
Oleh:
Dr Ilham Kadir, MA. Peneliti MIUMI Pusat; Dosen STKIP Muhammadiyah Enrekang
Comments