Entaskan Kemiskinan Bersama BAZNAS
Indonesia sebagai negara majemuk yang penganut agama Islam
menjadi mayoritas. Negara kepulauan terbesar di dunia ini memiliki potensi
sumber daya alam sekaligus sumber daya manusia yang mampu bersaing pada tatanan
global. Pendek kata, secara kasat mata tidak ada alasan untuk kita tertinggal,
idealnya kita sudah harus tinggal landas, bukan tertinggal dalam
landasan. Semestinya Indonesia adalah pemimpin dunia, setidaknya untuk kawasan
Asia Tenggara. Begitulah idealnya atau yang seharusnya berlaku (das sollen).
Sayang, yang diharapkan atau semestinya berlaku hanya jadi
harapan dan cita-cita, belum mampu jadi kenyataan. Saat ini angka kemiskinan di
Indonesia melebihi dua kali lipat dengan jumlah penduduk Malaysia. Padahal apa
yang ada—sumber daya alam—di Malaysia hampir pasti juga terdapat di Indonesia,
tapi tidak sebaliknya. Kita dapat berteriak “Indonesia Hebat”, atau “Kita
Indonesia” tetapi fakta empiris menunjukkan (das sein) bahwa negara ini lemah,
kemiskinan masih menumpuk, pendidikan belum merata, hukum masih tebang pilih,
garam dan bawang putih masih inpor, sementara tomat membusuk dan harga bawang
merah anjlok karena tidak mampu dieksport atau terkelola dengan baik, dan
segudang masalah menumpuk. Artikel ini tidak cukup ruang memaparkan.
Untuk mengurai permasalahan yang didahului oleh benang kusust
kemiskinan, maka pemerintah Indonesia telah berusaha berbuat agar angka
kemiskinan mengempes yang bermuara pada peningkatan kualitas hidup masyarakat.
Kebijakan terus dikeluarkan, tapi kemiskinan tetap tumbuh. Di
Kabupaten Enrekang merupakan salah satu daerah yang cukup makmur di Sulawesi
Selatan masih memelihara sedikitnya 28 ribu jumlah penduduk miskin versi Badan
Pusat Statistik Enrekang. Tentu jumlah tersebut tidak datang dalam lima tahun
terakhir, tapi akumulasi dari hasil pemerinatahan yang ada sebelumnya. Dan,
bisa saja kemiskinan merajalela sebab pemerintah menegasi peran zakat sebagai
instrumen terpenting dalam mengentaskan kemiskinan.
Karena itu dibutuhkan inovasi-inovasi pemerintah dari Pusat
hingga Daerah untuk terus memerangi kemiskinan. Salah satunya adalah mendukung
penuh hadirnya Lembaga Negara yang dikenal dengan Badan Amil Zakat Nasional
(Baznas).
Musuh Bersama
Dalam hirarki ibadah, tauhid adalah yang paling utama dan
pertama. Tauhid merupakan bentuk kayakinan bahwa tidak ada yang berhak disembah
kecuali Allah (la ma’bud illallah). Jika tauhid seseorang rusak maka rontoklah
seluruh sendi agamanya, dan segenap amal kebaikannya laksana debu yang
beterbangan (haba’an matsura [QS. 25:23]).
Lalu apa hubungannya dengan kemiskinan? Dengarkan saya
baik-baik! Kemiskinan adalah ancaman paling serius dalam akidah, lebih khusus
lagi bagi kaum miskin yang hidup di lingkungan golong elite dan kaya raya.
Golongan ‘the have’ atau kaya bekerja dengan mudah dan kilat, namun
menghasilkan harta yang banyak. Sementara para golongan miskin bekerja dengan
susah payah hingga air keringat dari biji matanya bercucuran namun hanya untuk sebuah
hasil yang tidak cukup beli makan keluarga selama dua hari.
Dalam segi pengeluaran pun demikian, ada golongan yang hidup di
hotel mewah dan dapat menghabiskan dana untuk satu malam saja sama dengan
sepuluh tahun si miskin memulung sampah atau mengayuh becak.
Dalam suasana seperti itu, orang miskin yang imannya setipis
uang kertas dan ketakwaanya setebal uang koin akan merasa ragu dengan keyakinan
agamanya. Lalu bertanya, “Apakah Allah bijaksana?”.
Jika golongan miskin diserang dengan seonggok uang kertas
ratusan lalu diajak pindah agama, pun bisa saja terjadi. Inilah yang dimaksud
dalam sabda Nabi yang dinarasikan oleh Abu Na’im, “Kemiskinan dapat
mengakibatkan kekufuran”. Akibat kemiskinan dan ketidak adilan sosial bagi
seluruh rakyat, maka akan timbul penyimpangan akidah. Perkataan Salaf
sebagaimana dikutif Yusuf Al-Qaradhawi bisa dijadikan renungan, Bila seorang
miskin pergi ke sebuah negeri, maka kekafiran akan berkata kepadanya, ‘Bawalah
saya bersamamu’, (Musykilah al-Fakr wakaifa Alajaha al-Islam, 1995). Karena
itulah kita dperinahkan Rasulullah agar berdoa seperti ini, Ya Allah, aku
berlindung kepadamu dari kekafiran dan kemiskinan, (HR. Abu Dawud).
Kemiskinan juga berbahaya pada stabilitas sosial dan keamanan.
Penyakit sosial kerap muncul di kota-kota besar yang sudah menegasikan kontrol
sosial. Salah satu yang kerap muncul adalah penyakit sosial berupa tumbuhnya
usaha haram prostitusi yang memperkerjakan para wanita miskin harta dan
iman.
Dari sisi stabilitas keamanan juga demikian, kerap terjadi
perampokan, begal, pencurian, dan tindak kriminal lainnya karena terpacu oleh
himpitan ekonomi di tengah hirup-pikuk kemewahan para hartawan dan
politisi kelas kakap. Inilah yang dimaksud dalam sebuah ungkapan dikutif Yusuf
Al-Qaradhawi, “Suara perut dapat mengalahkan suara nurani”.
Jika kemiskinan melilit karena faktor lingkungan tidak
mendukung, seperti yang hidup di padang tandus atau tinggal nomaden di hutan
belantara sebagaimana suku Anak Dalang Jambi dan penghuni hutan Mentawai yang
memang terbiasa hidup dan mengharap makanan dari alam, mungkin itu dapat
dimengerti. Tapi kalau miskin sampai tak mampu menutupi biaya makanannya tiap
hari, tinggal di gubuk emperan kali kota, bahkan jadi gelandangan di
sekitar hotel berbintang, maka itu tidak bisa ditolerir. Sebab, ada segolongan
orang yang hidup mewah di bawah penderitaan orang banyak, menguasai 70 persen
tanah negara tanpa ada pemerataan.
Jika terjadi, inilah dimaksud ungkapan dari seoraang Sahabat
Nabi, Abu Dzar, katanya, “Saya heran terhadap orang yang tidak memiliki sesuap
nasi pun di rumahnya, mengapa ia tidak menuntut haknya dengan menghunus
pedangnya”.
Peran BAZNAS
Zakat adalah sumber dana non-APBN yang bermanfaat untuk
penanggulangan kemiskinan dan mengatasi kesenjangan sosial-ekonomi. Kendati
lembaga flantropi tumbuh dan berkembang pesat, namun lembaga pengelola zakat,
khususnya Baznas punya eksistensi dan kekhususan tersendiri yang tidak
tergantikan.
Undang-Undang Nomor 23 tahun 2011 tentang pengelolaan zakat
menjadi dasar berdirinya lembaga dan alat negara bernama Baznas. Pada pasal 15
ayat 1-5 dengan jelas memerintahkan pemerintah daerah untuk membentuk Baznas.
Tidak sampai di situ, keberadaan Baznas Daerah wajib dibiayai dari Anggaran
Pendapatan dan Belanja Daerah dan Hak Amil sebagaimana tertera dalam Pasal 30
ayat 1-2.
Sayangnya, tidak semua pemerintah daerah belum menerapkan
undang-undang di atas sepenuh hati. Akibatnya, banyak Baznas yang belum optimal
dalam menjalankan fungsinya sebagai bagian penting dalam pengentasan
kemiskinan. Dalam hal perangkat dan aturan lokal terkait zakat, pada skala
Indonesia Timur, Kabupaten Enrekang dapat jadi contoh dan rujukan. Pemerintah
Daerah baik DPR maupun Bupati (Muslimin Bando) telah memberikan dukungan penuh
terhadap Baznas, termasuk anggaran dana operasional, kantor dan kendaraan.
Walaupun kecil jika dibandingkan Baznas Kota Makassar yang mendapat anggaran
operasional mencapai dua miliar pertahun selain kantor dan kendaraan tapi dari
sisi landasan hukum berupa peraturan daerah dan peraturan Bupati, Enrekang jauh
lebih unggul.
Kini, umat sangat berharap agar Baznas terdepan dalam mengatasi
masalah kemiskinan. Maka kewajiban pelbagai pihak dan elemen masyarakat adalah
memperkuat institusi Baznas, mengajak masyarakat untuk menyalurkan zakat dan
infaknya melalui Baznas. Dan bagi ASN yang terpotong gajinya agar diberi
pemahaman yang benar bahwa zakat dan infak selain menambah dan memberkati harta
juga menjadi tabungan akhirat yang terus mengalir pahalanya. Dan harus dilawan
siapa pun yang melakukan provikasi agar orang jauh dari syariat zakat dan infak
sebab secara langsung manusia semacam ini mengajak pada kefasikan,
melakukan pembiaran pada kemiskinan agar jadi objek politik pragmatis. Wallahu
A’lam!
Oleh: Dr. Ilham Kadir, MA, Wakil Ketua Ikatan Alumni Beasiswa Baznas RI; Ketua Infokom MUI Enrekang
Comments