Negeri Para Pemarah
Oleh: Dr. Ilham Kadir, MA.*
TRIBUN TIMUR, 18/8/2017
Dari negeri para pemarah. Tersebutlah seorang mahasiswa yang
baik hati, berniat hendak menolong orang lain. Ketika itu, dia melihat
postingan di media sosial berupa foto satu unit motor raib digondol maling,
lengkap dengan nomor polisi. Begitu kagetnya sebab motor tersebut berada persis
di depan pintu kamar kosnya.
Maka ia pun berinisiatif mencari kontak untuk menghubungi sang
pemilik motor via media sosial tersebut. Mahasiswa baik itu menelepon langsung
empunya motor. Tidak dinyana, ternyata pemilik motor itu datang membawa polisi.
Segera mahasiswa itu ditangkap, diborgol, ditutup matanya, diseret ke sel lalu
didor kakinya, darah bercucuran seperti moncong keran memuntahkan air. Tidak
sampai di situ, selama empat malam di dalam sel, selama itu pula ia mengalami
siksaan tak terhingga, pelipisnya pecah, mukanya bonyok, kepalanya penuh luka
bekas benturan, mahasiswa itu depresi dan mengalami beban psikologis yang tidak
bisa diungkapkan dengan kata-kata.
Siapa pencurinya? Dia telah kabur, motor itu hanya diparkir di
depan kamar kos sang mahasiswa, bukan dia yang mencuri, dia hanya ingin
membantu mengembalikan motor itu kepada yang berhak. Tetapi justru dia yang
dihukum dengan biadab oleh aparat pemarah nan biadab. Di negeri para pemarah
itu, aparat keamanan seperti serigala, dan rakyat biasa diperlakukan laksana
domba yang tercecer dari kawanannya.
Kisah lain dari negeri para pemarah. Seorang reparator amplifier
atau pengeras suara. Kerjanya tiap hari memang keliling menyelusuri jalan-jalan
da gang-gang sempit, mencari amplifier yang rusak untuk diperbaiki. Saat itu
dia dapat satu, dibonceng untuk dibawa pulang, di tengah jalan, adzan Asar
berkumandang, ia pun singgah shalat, sambil meletakkan amplifier di dalam
masjid, demi keamanan. Maklum di kota, masjid juga bagian dari medan magnet
para maling.
Bakda Asar, jamaah berhamburan keluar masjid, ia pun keluar dengan membawa
amplifier miliknya, tetiba ada jamaah berteriak, "Pencuri!".
Orang-orang sekitar masjid yang baru saja shalat kembali
berkerumun, tukang reparasi pun panik tetiba dituduh pencuri. Ia tak ada
kesempatan menjelaskan yang hakiki, lalu lari, dikejar seperti anjing mengejar
babi hutan. Dan akhirnya tertangkap. Maka apa yang terjadi, terjadilah, massa
dengan beringas menjadi hakim tanpa pengadilan. Hingga pada akhirnya, ada yang
ingin mendahului Tuhan dalam mengazab, menyiram bensin lalu membakar. Tukang
reparasi itu pun mati terpanggang. Saat Magrib tiba adzan berkumandang, bukti
bahwa amplifier di masjid itu tidak dicuri.
***
Jika kejadian seperti di atas pernah Anda saksikan atau
dengarkan, maka itu hanya kebetulan, sebuah kebetulan yang sistematis dan
berkesinambungan. Tulisan ini hanya bermaksud mengingatkan kita semua agar
sadar bahwa apa yang kita lakukan di dunia saat ini bukan akhir segalanya, akan
tetapi menjadi bagian dari catatan yang ditulis rapi oleh utusan Allah. Yang
baik diabadikan oleh Malaikat Raqib dan yang buruk oleh Atid. Semua akan
dipertanggungjawabkan di akhirat, dan dosa yang paling rumit kelak adalah dosa
yang berhubungan antar sesama.
Menyiksa orang lain tanpa alasan yang jelas tidak dibolehkan
oleh hukum apa pun. Sebab setiap manusia memiliki hak yang sama untuk hidup dan
mendapat pembelaan. Diharamkan mengambil hak orang lain tanpa alasan yang
jelas, apalagi menyiksa dan membunuh tanpa dibenarkan syariat, dan atau
undang-undang.
Sebagai negara yang katanya, menjadikan hukum sebagai panglima,
semestinya pola-pola Barbarian dengan cara main culik, asal eksekusi, dan asal
tangkap lalu bakar tidak ada lagi.
Yang sangat mengiris hati adalah lahirnya golongan yang taat shalat, rajin ke
masjid tapi justru dengan pongah dan congkak mengambil peran Tuhan untuk
mengazab sesamanya. Seakan-akan neraka di tangannya.
Demikian adanya, sebab menghukum makhluk hidup mulai dari semut
hingga manusia dengan cara membakar mereka hidup-hidup sama sekali diharamkan,
sebab hukum bakar hanya milik Allah. Manusia tidak dibenarkan menghukum siapa
pun dengan cara bakar.
Dalam sebuah riyawat disebutkan dari Abdullah bin Mas‘ud ia
berkata, “Kami pernah bersama Rasulullah SAW melewati sebuah sarang semut yang
telah terbakar. Nabi lalu marah dan bersabda, Innahu la yanbaghi libasyarin an
yu'adziba biadzabillah. 'Sesungguhnya tidak patut bagi manusia untuk menyiksa
dengan siksaan Allah’.” (HR. Ahmad dan An-Nasa’i).
Dalam sejarah perjalanan manusia, hanya penguasa zalim dan lalim
seperti Fir'aun yang menghukum rakyatnya dengan cara bakar. Itu artinya,
orang-orang yang kini menghukum sesamanya dengan cara bakar adalah sisa-sisa
peninggalan zaman Fir'aun yang seharusnya sudah lenyap.
Sebagai penutup, saya kutip sebuah hadis yang melarang kita jadi
pemarah sebagai syarat masuk surga, sebaliknya, menjadi pemarah adalah jalan
tol masuk neraka. Dari Abu Hurairah, dinarasikan oleh Imam Bukhari dalam
Shahih-nya (No. 6116), bahwa ada seorang laki-laki berkata kepada Nabi, Berilah
aku wasiat, Beliau menjawab, Engkau jangan marah! Orang itu mengulangi
permintaannya berulang-ulang. “Engkau jangan marah!” tegas Nabi. Wallahu A'lam!
*Peneliti MIUMI Pusat; Pimpinan Baznas Enrekang
Sinjai, 8 Agustus 2017.
Comments