Kunci Meraih Gelar Doktor
Oleh: Ilham Kadir.
Good study habits include many different skills: time
management, selfdicipline, concentration, memorization, organization, and
effort. Desire to succeed is important, too.~Mayland Community College, 2002.
***
Meraih gelar doktor adalah impian dan keinginan hampir setiap
mahasiswa terutama mereka yang memang telah atau sedang menempuh studi
doktoral. Dengan masa belajar sekitar enam semister, lima semister kuliah dalam
kelas dan satu semister menulis untuk saat ini yang sebelumnya cukup empat
semister.
Faktanya, hanya sekitar sepuluh persen mahasiswa tingkat
doktoral yang mampu selesai tepat waktu. Sisanya banyak yang molor atau bahkan
gagal meraih impian.
Sebagai contoh, seorang rekan lulus mendapatkan beasiswa dari
Kementerian Agama dengan jumlah mencapai ratusan juta rupiah. Mulai biaya
hidup, kuliah, penelitian, hingga ujian dan wisuda ditanggung penuh. Ia pun
aktif kuliah dan menyelesaikan tugas-tugas kampus dengan baik. Namun setelah
pengajuan judul dan penelitian ia tak mampu mengatur waktu, akhirnya hilang
semangat dan gagal.
Rekan lainnya, tiga tahun lalu. Saat itu saya baru saja selesai
magister di Pascasarjana UMI Makassar, ketika ketemu saya bertanya tentang
progres doktoralnya yang sudah tiga tahun. "Sudah selesai, tinggal
menulis," jawabnya. Waktu bergulir, dua tahun berikutnya, saya sudah
selesai doktoral di Jawa, dan kembali bertemu lalu bertanya pertanyaan yang
sama, dan jawabannya pun tetap sama dua tahun lalu.
Pernah juga, seorang tokoh karena kemasyhuran nama dan
posisinya, ia begitu bersemangat, studi program doktoral di dua tempat,
akhirnya kedua-duanya terancam gagal.
Demikian pula, ketika Badan Amil Zakat Nasional (Baznas) Pusat
menyediakan beasiswa tingkat doktoral untuk 30 orang dari berbagai perguruan
tinggi dalam dan luar negeri, hanya tiga orang atau sepuluh persen yang mampu
selesai tepat waktu.
Paling miris, ketika sudah gagal meraih gelar doktor lalu
berujar, apalah arti selembar ijazah, yang penting ilmunya. Atau kata, saya
tidak butuh jadi doktor untuk mengabdi tapi butuh ilmu. Apalah artinya S3 kalau
ilmu hanya setingkat SD. Dan berbagai alibi lainnya yang sesungguhnya hanya
sebagai penghibur akan kekurangan dan kekecewaan. Meraih gelar doktor butuh
perjuangan dan pengorbanan yang tidak mudah.
Tulisan ini bertujuan menjawab berbagai pertanyaan yang masuk
pada saya, terkait trik-trik jitu selesai studi doktoral tepat waktu.
***
Kuliah pada tingkat magister dan doktoral ketika masih menuntut
kehadiran, penulisan makalah, serta presentasi dalam kelas tidak terlalu
bermasalah. Para mahasiswa mengikuti alur yang telah ditancapkan pihak kampus.
Bahkan sewaktu kuliah di Pascasarjana UIKA Bogor, ada mahasiswa yang tinggal di
Sulawesi, Kalimantan dan Sumatera namun tetap hadir saat ada jam kuliah.
Artinya jarak, waktu, dan biaya bagi pemburu gelar doktor bukan masalah utama.
Semangat mahasiswa begitu membuncah ketika bersama-sama dalam kelas, tapi
terpuruk bahkan pupus saat penulisan dan bimbingan disertasi.
Sukses menyelesaikan program doktoral khususnya penulisan
disertasi yang menjadi kendala utama tidak bisa lepas dari berbagai elemen yang
menjadi satu kesatuan dengan lainnya meliputi: proposal, dosen pembimbing, buku
dan perpustakaan, metode penelitian, waktu membaca, menganalisis, dan menulis,
serta ide penulis maupun peta konsep, ( Jejen Mustafah, 2015: 132).
Disertasi memang harus dimulai dengan proposal yang idealnya
sudah harus selesai sebelum perkuliahan usai. Itu artinya seorang calon doktor
sudah harus punya judul sebelum masuk kuliah. Nilai sebuah proposal hakikatnya
sudah setengah dari sebuah disertasi. Masalah akan muncul jika perkuliahan
selesai namun masih sibuk mencari judul dan belum punya gambaran jelas tentang
apa yang akan ditulis.
Setelah proposal selesai dan diajukan dalam sidang penguji. Maka
masalah selanjutnya adalah bimbingan. Level ini juga kerap memakan korban. Para
mahasiswa yang mayoritas adalah merasa orang penting harus dituntun seperti
anak SD. Setiap kata dalam tulisan dikoreksi oleh pembimbing, perbaikan, terus
berulang-ulang. Bahkan antar sesama pembimbing pun ada yang saling
bertentangan, selaku mahasiswa harus sabar dan bijak menerima kenyataan seperti
itu. Hal ini bisa saja berulang-ulang terjadi, tidak jarang pula seorang
pembimbing keliru melakukan bimbingan, dan bagi mereka yang merasa lebih hebat
akan cepat putus asa dan mencaci pembimbing, ingin mengganti pembimbing, pindah
kampus, dan akhirnya gagal. Harus dimengerti bahwa proses bimbingan dengan
dosen tidak semudah yang dibayangkan, masalah waktu, mutu disertasi, kesibukan
pembimbing, dan mahasiswa adalah bagian yang sangat krusial.
Referensi juga menjadi bagian penting dalam sebuah disertasi.
Ini yang membedakan level doktoral dengan jenjang studi sebelumnya. Calon
doktor harus terbiasa membaca berbagai macam referensi, baik yang terkait
dengan materi penelitian sebagai bahan primer maupun yang tidak terkait tapi
dijadikan data pendukung. Rujukan bisa didapatkan dari buku-buku, jurnal,
artikel, esai, tesis dan disertasi. Jangan pernah berpikir bahwa apa yang Anda
tulis adalah yang pertama dan satu-satunya karena itu tidak butuh rujukan.
Pahamilah bahwa sudah tidak ada lagi medan kajian yang tidak pernah diteliti
dan dikaji orang lain, tugas kita adalah melahirkan kajian yang memperkuat atau
membantah kajian yang telah ada. Bahkan jika harus membuat dan menemukan teori
baru sekalipun kita tetap merujuk pada teori-teori yang sudah ada sebelumnya.
Karena itu, membaca hasil riset orang lain dalam bentuk tulisan adalah hal yang
wajib dilakukan oleh para peneliti tingkat doktoral.
Selain itu, metode penelitian juga bisa jadi batu sandungan.
Sebab metode terkait dengan cara pengumpulan dan olah data. Dan seorang
mahasiswa harus tahu potensi dirinya. Karena metode secara garis besar dibagi
dua, kuantitatif dan kualitatif. Yang pertama sangat memerlukan kecerdasan
matematik, yang kedua membutuhkan kecerdasan analitis.
Jika problematika di atas telah teratasi, tinggal menyisakan
satu persoalan: menulis. Inilah inti dari segenap rangkaian studi doktoral.
Sehebat apa pun kita, sepintar bagaimana pun, kalau ilmu hanya sebatas dalam
ucapan dan ingatan tanpa mampu diartikulasikan dalam bentuk tulisan maka
hasilnya tetap nol. Harus diakui kalau para kandidat doktor adalah orang-orang
hebat, super sibuk, dan terpandang. Banyak bahkan sedang menduduki jabatan
penting dalam pemerintahan atau tokoh masyarakat kesohor, bahkan seorang
penulis produktif yang bukunya sudah puluhan.
Status inilah yang kerap menjadi pemantik masalah. Sebab tidak
mampu membagi waktu dengan baik, bekerja, dengan keluarga, dan menulis
disertasi. Dalam level ini, seorang calon doktor tidak saja dituntut kemampuan
teknis dan keterampilan menulis serta penguasaan substansi dan metode,
melainkan membutuhkan kecerdasan emosional dan sosial. Kecerdasan emosional terkait
kemampuan mengatur diri dan kecerdasan sosial terkait hubungan antara sesama,
termasuk teman, keluarga, dan pembimbing.
Saat ini, terutama di Eropa, meraih gelar doktor sudah banyak
disediakan program By Research, atau mahasiswa hanya dituntut untuk menulis dan
bimbingan tanpa harus wajib ikut kuliah dan menyelesaikan SKS. Sebab inti dari
seorang doktor adalah hasil penelitian berkualitas.
Hal penting lainnya dari seorang penulis adalah bukan sekadar
menjiplak hasil bacaan, akan tetapi wajib memasukkan ide-idenya pada setiap
tulisan, bisa pada awal paragraf, pertengahan, atau akhir. Ide adalah analisis
dari bacaan-bacaan yang telah dicerna. Selain itu, jangan memindahkan kutipan
yang sama sebagaimana yang tertulis dalam buku tanpa mencantumkan sumber
rujukan, termasuk hindari mencatut kata-kata dari sumber mana pun lebih dari
tujuh kata.
Untuk memudahkan penulisan disertasi, maka setidaknya tersedia
tempat khusus berupa meja dan waktu yang cukup. Hal ini penting sebab memiliki
tempat dan ruangan khusus sesederhana apa pun akan membantu kelancaran membaca,
menganalisis, dan menulis.
Khusus waktu, perlu menjadi perhatian khusus. Sebab setiap orang
punya masa produktif yang beda dengan orang lain. Saya pribadi lebih suka
menulis pada waktu pagi atau menjelang Subuh, siang dan sore atau malam saya
pakai membaca, menganalisis, dan mengoreksi hasil tulisan. Dengan adanya
alokasi waktu seorang calon doktor mampu menyusun tahap dan target yang dapat
selesai sesuai rencana.
Konsistensi. Inilah trik pamungkas bagi para pemburu doktor.
Sebab sehebat apa pun Anda kalau tidak konsisten dalam mengerjakan sesuatu maka
hasilnya akan negatif. Itulah yang disitir sabda Nabi, Bahwa Allah mencintai
seorang hamba yang jika ia mengerjakan sebuah proyek maka ia akan tekun dalam
kerajaannya. Atau sabda Nabi lainnya, Sebaik-baik amal adalah kesinambungannya
walaupun sedikit.
Menulis disertasi sebenarnya tidak butuh waktu lama. Karena
jumlah halaman berkisar antara 140-200 halaman, maka jika setiap hari konsisten
menulis dua halaman saja maka hanya membutuhkan 75 hari untuk menghasilkan 150
halaman. Hanya sekitar tiga bulan. Jika penelitiannya adalah penelitian
lapangan, maka cukup satu bulan di lapangan dan tiga bulan di depan meja, satu
disertasi sudah bisa tuntas.
Last but not least. Walaupun hasil karya terbaik orang
Indonesia--menurut Syafi'i Ma'arif--adalah disertasi, tapi tidak perlu
mati-matian melahirkan disertasi yang paling hebat. Sebab disertasi yang baik
adalah yang selesai dipaparkan pada ujian promosi doktoral dan menahbiskan
penulisnya sebagai doktor secara defacto dan dejure.
Saya tutup dengan sebuah kutipan, Bikadri ma ta'tanî tanâlu mâ
tatamannâ, bikadril-kaddi tuktasabul-ma'âlî. Keberhasilan yang engkau gapai
tergantung dari sejauh mana usahamu. Wallahu A'lam!
*Penulis adalah Doktor Pendidikan Islam ke-156 di Sekolah
Pascasarjana UIKA Bogor.
~Dimuat Harian Amanah Makassar, 17 Oktober 2017~
Enrekang, 15 Oktober 2017.
Comments