Buddha, Islam, Rohingya
Oleh: Dr. Ilham Kadir, MA.
Peneliti MIUMI; Pimpinan Baznas Enrekang~
Berbagai sudut pandang dalam menilai tragedi Rohingya. Sebagian
berpendapat bahwa kasus yang sedang menimpa masyarakat Rohingya adalah murni
kasus kemanusiaan, tidak ada kaitannya dengan agama atau kepentingan apa pun.
Yang lain berpendapat jika kasus Rohingya hakikatnya adalah kecemburuan sosial
antara kaum pendatang dan penduduk tetap. Atau pendapat yang menegaskan bahwa
daerah tempat tinggal etnis Rohingya di Negara Bagian Rakhine adalah ladang
gas, minyak dan berbagai kekayaan alam lainnya. Untuk mengeruk harta terpendam
itu, harus terlebih dahulu menghabisi penduduk setempat agar kelak bagi-baginya
menggunung dan kali-kalinya menipis.
Saya melihat bahwa persoalan di atas benar semuanya, namun jika
diumpamakan bahan peledak, maka pemantik dan energinya adalah agama. Buktinya
para penyerang dan pembatai adalah kolaborasi antara tokoh agama Buddha dengan
aparat keamanan Myanmar. Kolaborasi keduanya Melahirkan petaka genosida bagi
penduduk muslim Rohingya.
Karena latar belakang konflik begitu rumit dan saling
terkait-hubung antara satu dengan lainnya sehingga dalam menyelesaikan masalah
pun harus ekstra hati-hati dan bersifat komprehensif tidak parsial.
Jika sepakat dengan pendapat saya, maka pendekatan agama kedua
belah pihak, Islam-Buddha harus menjadi pijakan dalam menyelesaikan kasus
Rohingya yang sudah terlalu lama menggantung.
Ajaran Islam
Antara ajaran Islam, salah satu intinya adalah mewujudkan rahmat
bagi alam semesta dikenal dengan istilah "rahmatan lil-'alamin".
Rahmat adalah antitesis dari kezaliman dan kebiadaban, maka Islam sangat
mengutuk segenap bentuk penindasan, penjajahan, persekusi, dan segala aktivitas
yang dapat merugikan sesama penghuni bumi.
Itu yang disitir pesan Nabi, Sayangi di bumi maka engkau akan
disayang penghuni langit, "irhamu man fil-'ardhi yarhamukum man
fi-sama'".
Firman-firman Tuhan bertebaran dalam Kitab Suci terkait larangan
menyakiti, membunuh sesama manusia dan atau membuat kerusakan di muka bumi.
"Barangsiapa yang membunuh seseorang bukan karena orang itu membunuh orang
lain atau karena berbuat kerusakan di bumi, maka seakan-akan dia telah membunuh
semua manusia. Demikian pula, siapa yang memelihara kehidupan dan ketenteraman
seorang manusia, maka seolah-olah yang telah memelihara kehidupan segenap umat
manusia, (QS. Al-Maidah[5]: 51).
Ancaman bagi pelaku pembunuhan juga sangat dahsyat, "Dan
barangsiapa yang membunuh seorang mukmin dengan sengaja, maka balasannya adalah
neraka jahanam, mereka kekal di dalamnya", (QS. An-Nisa'[4]: 93).
Apa yang sedang terjadi dengan muslim Rohingya, sejak 25 Agustus
2017, hingga detik ini, berupa pengusiran, pembunuhan, pembantaian yang
dilakukan tentara Myanmar dan diberkati oleh para biksu Buddha adalah tindakan
yang tidak bisa dibiarkan, semua pihak harus ikut bertanggung jawab melenyapkan
kebiadaban yang hanya ada pada zaman batu itu.
Sedikitnya 300.000 warga Myanmar dari etnis Rohingya yang
beragama Islam telah mengungsi ke Bangladesh disebabkan gerakan genosida yang
terparah dalam milenium kedua ini. Padahal sebelumnya, Bangladesh telah
menampung 400.000 pengungsi serupa, itu artinya kini negeri termiskin dan
terkorup di dunia itu mendapatkan luapan pengungsi Rohingya dengan jumlah
700.000 orang, (www.bbc.com/indonesia/11/9/2017). Setara dengan
jumlah warga Kabupaten Sidrap, Pinrang, dan Enrekang.
Ajaran Buddha Buddha sebagai agama budaya tertua di dunia memiliki ajaran yang
begitu mulia. Dengan ajarannya itu sehingga agama ini dapat bertahan ribuan
tahun, dan terus berkembang hingga saat ini. Sebagai anutan mayoritas rakyat
Myanmar, tentu kebijakan-kebijakan politik negara itu tidak bisa lepas dari
pengaruh Buddha, termasuk filosofi dasar negaranya.
Dalam tulisan pendek ini, saya paparkan lima inti ajaran Buddha.
Pertama. Tidak berbuat kejahatan dengan menjauhi perbuatan yang merugikan diri
sendiri maupun orang lain. Kriteria tentang baik dan buruk sesuai ajaran Buddha
ialah apa yang bermanfaat dan merugikan diri sendiri atau orang lain. Suatu
perbuatan, baik dilakukan dengan jasmani, ucapan atau pikiran, yang dapat
mengakibatkan kerugian atau menyakitkan, baik bagi diri sendiri, atau pihak
lain, atau kedua-duanya, dinyatakan tidak baik, hasil dan akibatnya
penderitaan. Perbuatan yang baik tidak mengakibatkan kerugian atau menyakitkan,
baik bagi diri sendiri atau pihak lain, atau kedua-duanya, (Majjhima Nikaya.I,415-419.
Kedua. Tidak melakukan pembunuhan. Setiap orang seharusnya tidak
dengan sengaja menghilangkan--ataupun menyebabkan hilangnya--kehidupan makhluk
hidup apa pun. Kehidupan adalah hal yang paling berharga atau penting bagi
setiap makhluk.
Ketakutan yang paling besar dirasakan oleh setiap makhluk hidup
ketika kehidupannya terancam bahaya. Tidak ada pelanggaran jika tidak ada
maksud untuk membunuh. Memperhatikan tikus-tikus, kecoa-kecoa, semut-semut, dan
lain-lain di dalam rumah, kadang-kadang kita merasa sulit mempraktikkan sila
ini.
Ketiga. Tidak melakukan pencurian.
Syarat perbuatan dikatakan mencuri adalah ada objek/barang milik orang lain, tahu tentang hal ini, ada kehendak untuk mengambilnya, dan berhasil mengambilnya. Tidak melakukan pencurian berarti menghindari terpenuhinya syarat-syarat tersebut. Seseorang bahkan tidak seharusnya memungut sesuatu yang terjatuh (tercecer) atau ditinggal pemiliknya jika ada kemungkinan ia akan kembali untuk mencarinya atau mengambilnya. Kecuali menyimpan dengan maksud mengembalikannya kepada pemilik yang sebenarnya.
Syarat perbuatan dikatakan mencuri adalah ada objek/barang milik orang lain, tahu tentang hal ini, ada kehendak untuk mengambilnya, dan berhasil mengambilnya. Tidak melakukan pencurian berarti menghindari terpenuhinya syarat-syarat tersebut. Seseorang bahkan tidak seharusnya memungut sesuatu yang terjatuh (tercecer) atau ditinggal pemiliknya jika ada kemungkinan ia akan kembali untuk mencarinya atau mengambilnya. Kecuali menyimpan dengan maksud mengembalikannya kepada pemilik yang sebenarnya.
Keempat. Tidak melakukan pelanggaran seksual. Walaupun melakukan
perbuatan seksual di luar nikah kadang-kadang tidak merugikan orang lain, namun
hal tersebut menciptakan perasaan bersalah yang kuat dan akan mengakibatkan
efek yang sangat berbahaya bagi pikiran seseorang. Sangat mungkin dengan alasan
ini, penyakit-penyakit baru seperti AIDS muncul di antara homoseksual, dan
lain-lain. Biasanya, pelanggaran seksual mengakibatkan
pertengkaran-pertengkaran di antara suami-istri yang mengarah pada perceraian
dan menimbulkan banyak penderitaan bagi anak-anak, orang tua, dan sebagainya.
Kelima. Tidak melakukan kebohongan. Tidak melakukan kebohongan
berarti menghindari dari ucapan yang tidak benar atau tidak sesuai dengan
faktanya. Di samping tidak melakukan kebohongan, seorang umat Buddha juga
seyogianya menghindari untuk tidak mengucapkan kata-kata kasar, memfitnah, dan
omong kosong.
Kelima poin di atas hanya sebagian kecil dari inti ajaran Buddha
yang semestinya tidak sekadar termaktub dalam kitab suci. Inilah yang dimaksud
oleh Dalai Lama agar umat Buddha di Myanmar kembali pada ajaran agamanya.
Tidak diragukan lagi bahwa melakukan pendekatan agama, dalam hal
ini, Buddha dan Islam untuk menyelesaikan masalah Rohingya adalah solusi paling
tepat. Bahwa baik Buddha maupun Islam menginginkan terwujudnya ketenteraman,
kedamaian, dan kebahagiaan hidup dunia dan akhirat. Walaupun pada sisi lain,
setiap agama wajib meyakini bahwa ajaran yang ia anut adalah yang paling benar
tanpa menegasi penganut agama lain. Wallahu A'lam!
Dimuat Harian Amanah, 22 Sep. 2017.
Comments