Pelajaran Dari Kera
Oleh: Dr. Ilham Kadir, MA.*
Sejumlah ilmuwan memasukkan sebanyak lima ekor kera dalam sebuah
kandang. Di tengah kandang diletakkan sebuah tangga, di ujung tangga paling
atas digantung satu sisir pisang.
Setiap kali ada kera yang berusaha mengambil pisang tersebut,
para ilmuwan menyiram kera-kera lainnya dengan air dingin. Sejenak kemudian
setiap kera berusaha mengambil pisang, namun yang lain mencegah dan memukulnya.
Setelah beberapa lamanya, ternyata tak seekor kera pun yang
berani naik tangga untuk mengambil pisang. Sekali pun sudah berusaha dibujuk
oleh para ilmuwan supaya dia naik mengambil pisang itu.
Selanjutnya para ilmuwan menukar kera dengan kera yang baru.
Maka pertama kali yang dilakukan oleh kera baru itu, naik tangga untuk
mengambil pisang. Tetapi dengan segera empat ekor yang lain memukul dan memaksa
turun. Setelah beberapa kali mendapat pukulan, sepertinya kera baru tadi
mengerti bahwa ia tidak boleh naik tangga, padahal ia tidak tau sebabnya.
Lalu, ilmuwan munkar kera kedua dengan yang baru, sama dengan
yang pertama langsung memanjat ingin mengambil pisang, tapi dia dipukul dengan
kera yang lain, termasuk kera yang baru masuk tadi turut memukul walaupun ia
tidak tahu kenapa ia mencegah rekannya naik tangga mengambil pisang.
Demikian selanjutnya, semua kera yang lama ditukar dengan yang
baru, kejadian pun sama, dia naik tangga namun dicegah dengan rekannya yang
lain. Hingga kera-kera pengganti itu dipukul oleh temannya walaupun tidak
mengerti kenapa dia berbuat seperti itu.
Walaupun kera-kera yang masuk dalam kandang itu tidak pernah
merasakan disiram air dingin. Terapi semuanya langsung memukul kera mana pun
yang berusaha naik tangga mengambil pisang, tanpa mereka tau apa sebabnya.
Seandainya kita tanya kera-kera kenapa mereka memukul temannya
yang ingin naik tangga, pasti jawaban mereka, "Kami tidak tau, tapi kami
mendapatkan nenek moyang kami melakukan ini."
***
Begitulah permisalan prilaku orang jahil dalam beragama,
politik, sosial dan budaya. Banyak orang yang sok tau, sangat mudah menunjuk
ini halal, itu haram, dan semisalnya. Namun ketika ditanya apa dasarnya, dia
menjawab, Begini dan begitu yang diajarkan oleh ustad dalam kajian kami.
Di zaman merebaknya berbagai macam sakte, para ustad bermunculan,
dai bertebaran, di saat yang sama banyak yang terlalu mudah menuding saudaranya
sebagai Islam garis keras, atau menyesatkan karena dianggap tidak sunnah.
Berkali-kali saya dinasihati oleh seorang kerabat terdekat.
Katanya saya tidak sekolah di sekolah sunnah, tidak sembahyang di masjid
sunnah, tidak bergaul dengan rekan-rekan sunnah, makan makanan tidak sunnah,
uang yang saya gunakan bukan uang sunnah, gaji yang saya terima bukan sunnah.
Pokoknya, tidak ada yang benar apa yang saya lakukan sebab menurutnya bukan
sunnah. Intinya kalau dia berbicara tiga menit maka kata 'sunnah' sudah
terlontar minimal tujuh kali.
Padahal saya tau bagaimana hidupnya, ia baru beberapa tahun
terakhir ini ikut kajian 'salah filih'. Tidak punya basis agama sama sekali,
tapi justru lebih berani berfatwa ini boleh dan itu tidak boleh.
Makhluk yang saya bicarakan ini tak ubahnya kisah kera-kera
dalam kandang di atas. Hanya berkata dan berfatwa dengan mengikuti hawa nafsu
hampa ilmu. Selalu melihat persoalan secara hitam putih tanpa bisa menganalisis
secara historis maupun filosofis.
Kita semua pasti ingin hidup penuh dengan lingkungan dan
lingkaran sunnah. Namun faktanya, negara kita saja bukan sesuai sunnah. Lalu
apakah kita tiap hari harus meratapi dan menyalahkan diri dan orang lain sebab
ini negara bukan sunnah? Tentu tidak, sebab masing-masing kita akan dihisab di
akhirat berdasarkan amal, bukan atas nama negara.
Kita juga ingin supaya mata uang kita sesuai sunnah. Mata uang
yang sunnah itu senilai dengan emas. Misalnya, satu lembar uang kertas akan
tertulis 'uang ini senilai 1 gram emas', jadi di mana pun kita berada lembaran
uang tersebut dapat ditukar dengan satu gram emas. Faktanya, mata uang kita
merujuk kepada dollar dan diatur oleh Bank Indonesia yang notabenenya menganut
sistem ribawi alias non sunnah.
Dengan tujuan dan niat yang baik, bahwa jiwa-jiwa kita
menghendaki kehidupan penuh sunnah tapi apa daya belum mampu menunaikan secara
total, maka Insya Allah sudah ditulis satu kebaikan. Yang terpenting bagi kita
adalah bertakwa sesuai kemampuan, taat menjalankan perintah Allah, mulai dari
yang fardhu, wajib, sunnah mu'kkad, dan sunnah-sunnah lainnya. Pada waktu yang
sama berusaha menghindari perkara yang dilarang oleh agama. Wallahu A'lam!
*Alumni Pondok Pesantren Darul-Huffadh Tuju-tuju Bone 1996.
Tebet-Jakarta, 1 Agustus 2017.
Comments