Fenomena Bayi Ajaib
Dalam siklus kehidupan umat manusia, setidaknya ada tiga fase
penting yang akan dialami: kelahiran, pernikahan, dan kematian. Ketiganya
saling terkait bahkan menjadi bagian tak terpisahkan, inilah siklus mainstream
manusia normal. Memang benar bahwa ada sebagian orang yang tidak menikah tapi
pasti dia dilahirkan dan akan mengalami kematian.
Dalam dunia binatang, berbagai cara untuk melampiaskan hasrat
seksual. Sebab, setiap hewan ingin agar ada regenerasi, mereka tidak mau punah,
apa pun risikonya, bahkan rela mati demi sebuah hasrat. Seekor laba-laba
membuat jaring sebagai perangkat mangsanya. Anehnya, laba-laba betina yang
ukurannya dua kali lipat dari jantan memangsa hingga tiga puluh persen
laba-laba jantan. Para korban dari golongan jantan adalah mereka bermaksud
untuk melampiaskan hasrat birahinya, namun yang terjadi justru dijadikan
santapan sedap si betina. Tarantula pun demikian, rela mati asalkan ada
regenerasi dan hasrat birahinya tercapai.
Di atas gunung batu yang ketinggiannya mencapai lima ribu meter
di atas permukaan laut, domba gurun melakukan pertempuran yang mematikan antar
sesama jantan untuk sekadar melampiaskan hasrat birahinya. Setiap pertempuran
terjadi menjelang musim kawin, dan jantan yang kalah akan terisolasi atau jadi
mangsa hewan buas lainnya. Yang menang akan melakukan kontak kelamin hingga
sepuluh kali perhari.
Di padang sabana, singa jantan jika ingin melakukan kontak
kelamin harus bertarung sesama jantan, siapa menang itulah yang akan jadi raja.
Para raja punya dua tugas, amankan kawanan dari segala mara bahaya dan
lampiaskan hasrat birahi hingga para betina bunting, untuk sebuah regenerasi.
Singa jantan tidak berburu, mereka hanya menunggu hasil buruan para singa
betina.
Begitulah dahsyatnya perjuangan para jantan, demi melampiaskan
hasrat birahi. Tidak semudah yang kita bayangkan, dan manusia harus belajar
dari fenomena itu. Perintah untuk belajar dari hewan adalah jelas termaktub
dalam Al-Qur'an (Al-Maidah: 31), ini kisah Qabil dan Habil, saat itu sang
kakak, Qabil telah membunuh adiknya, ia bingung mau dibawa kemana mayatnya,
lalu Allah mengutus burung gagak mengajari manusia mengubur mayat. Pertarungan
antara dua jagoan dari putra Nabi Adam itu juga terjadi demi sebuah pelampiasan
hasrat biologis. Hingga kini masalah itu terus jadi warisan turun-temurun,
kontak kelamin adalah penyumbang angka kriminal yang tidak bisa diremehkan.
***
Bulan Syawal, bagi masyarakat Bugis adalah waktu tepat untuk
melangsungkan pernikahan, salah satu alasannya bahwa Bulan Ramadhan telah
menempa kedua calon mempelai agar menjadi manusia bertakwa, melepaskan segala
sikap hewani dan memupuk jiwa kemanusiaan. Sikap hewani yang penuh dengan
kekejaman, kerusakan, kekacauan, saling menjatuhkan, saling memangsa yang dalam
terminologi I Lagaligo "sianre bale, laksana ikan memangsa sesama
ikan" telah dibakar hangus oleh Ramadhan. Aisyah binti Abu Bakar Shiddiq
yang dinikahi Baginda Nabi pada bulan Syawal. Ia pun berkomentar, Sesungguhnya
pernikahan di bulan Syawal itu penuh keberkahan dan mengandung banyak kebaikan.
Kecuali itu, menikah adalah perintah agama, artinya ibadah yang
mendapatkan pahala kedua belah pihak, baik suami maupun istri. Adalah keliru
jika diasumsikan bahwa hanya istri yang mendapat pahala, walaupun tentu saja
dalam beberapa hal istri melebihi pahala dari suaminya jika pelayanannya lebih
maksimal. Menyediakan makanan, minuman, merapikan pakaian, tempat tidur,
mencuci dan menyapu semua disediakan pahala agung di sisi Allah. Sementara yang
hidup menyendiri tanpa suami akan kehilangan kesempatan untuk mendulang pahala
sebagai hasil pernikahan.
Khusus urusan kontak kelamin pasangan sah, segunung pahala
menanti. Coba baca hadis berikut, Rasulullah bersabda, Dalam kemaluanmu itu ada
sedekah. Sahabat lalu bertanya, Wahai Rasulullah, apakah kita mendapat pahala
dengan menggauli istri kita? Rasulullah menjawab, Bukankah jika kalian
menyalurkan nafsu di jalan yang haram akan berdosa? Maka begitu juga
sebaliknya, bila disalurkan di jalan yang halal, kalian akan berpahala. (HR.
Bukhari, Abu Dawud, dan Ibnu Khuzaimah).
Hubungan intim, menurut Ibnu Qayyim Al-Jauziyah dalam
"Ath-Thibbun Nabawi" memiliki tiga tujuan, memelihara keturunan dan
keberlangsungan umat manusia, mengeluarkan cairan yang bila mendekam di dalam
tubuh akan berbahaya, dan meraih kenikmatan yang dianugerahkan Allah.
Ulama salaf mengajarkan, Seseorang hendaknya menjaga tiga hal
pada dirinya: Jangan sampai tidak berjalan kaki, agar jika suatu saat harus
melakukannya tidak akan mengalami kesulitan; Jangan sampai tidak makan, agar
usus tidak menyempit; dan jangan sampai meninggalkan hubungan seks, karena air
sumur saja bila tidak digunakan akan kering sendiri.
Seorang ulama ditanya oleh muridnya, Wahai Syekh, nikmat apa
saja yang Allah anugerahkan kepada manusia. Sang guru menjawab, banyak sekali,
tidak mungkin dapat dihitung semuanya, namun yang paling enak adalah melakukan
pemanasan (foreplay) dilanjutkan kontak kelamin kepada pasangan yang sah dengan
cara memasukkan kemaluan lelaki dalam kemaluan wanita, (qublatun-nisa wa idkhal
az-zakar fil farj).
Ada pula ungkapan masyhur dalam syair arab: ada tiga jenis
kenikmatan bagi manusia: makan daging; berkendara di atas daging; dan
memasukkan daging ke dalam daging. Al-Kazzat tsalasah: aklul-lahm, rakbul-lahm,
idkhal-lahm bi lahm.
Karena nikmat senggama begitu besar apalagi dibumbuhi dengan
fantasi terhadap istri yang begitu memesona sehingga tidak heran jika seorang
laki-laki rela setengah mati, banting tulang, mandi keringat dari ujung rambut
hingga ujung kaki, bahkan pada tahap tertentu banyak pria rela mati demi
kebahagiaan pasangan yang diawali oleh pelampiasan hasrat biologis. Karena itu,
pada malam pertama yang ada di benak kedua belah pihak, kapan dan bagaimana
rasanya kontak kelamin itu, setelah terasa, tidak jarang para pasangan menyesal
sambil bergumam, kenapa bukan dari dulu saya menikah!
Di sinilah peran vital agama. Sebab ia akan mengatur tata cara
pernikahan yang sah dari sisi hukum syariat dan juga undang-undang atau hukum
positif. Ada aturan yang disebut syarat dan rukun, serta ada etika dan budaya
selama tidak bertentangan dengan agama yang baik untuk dilakukan dalam sebuah
pernikahan.
Pernikahan yang sah akan melahirkan ketenteraman (sakinah),
cinta (mawaddah), dan rahmah (kasih sayang). Sementara mereka yang tidak mampu
mengontrol kelaminnya pasti akan melahirkan penyesalan. Kasus pembunuhan janin,
aborsi, buang bayi di selokan, adalah contoh konkret dari hubungan luar nikah.
Bahkan, pengalaman saya di Baznas Enrekang, bahwa mayoritas anak terlahir cacat
akibat hubungan gelap yang berusaha digugurkan oleh orang tuanya, ternyata bayi
tidak juga gugur bahkan lahir dalam keadaan cacat akibat obat pengguggur.
Fenomena hamil dan melahirkan tanpa nikah bagi generasi muda
yang berumur 15-19 tahun kian meresahkan. Konyolnya, ada saja di antara mereka
yang berusaha menutup aib dengan cara membuat cerita yang tidak masuk akal.
Salah satunya bahwa ada gadis di Enrekang yang hamil dengan durasi tiga jam
lalu melahirkan bayi yang bisa bicara "Assalamualaikum", banyak yang
terpengaruh dengan cerita khurafat penuh syirik itu dan menyebutnya sebagai
bayi ajaib. Setelah diperiksa oleh dokter, sang bayi dan ibunya dinyatakan
normal, tiada yang ajaib. Ibu mengandung seperti biasa, sembilan bulan dan anak
lahir dalam keadaan normal, jika lapar atau haus ia menangis. Artinya sang ibu
mengandung karena melakukan kontak kelamin, walaupun hingga saat ini yang
membuahi masih misterius dan belum ada yang rela mengaku. Fenomena cerita ajaib
tentang lahirnya bayi ajaib akan terus bermunculan sebagai modus menutup aib keluarga
dengan aib yang lebih parah.
Di tengah hilangnya kontrol antara sesama masyarakat,
terkikisnya budaya malu atau siri', dan begitu mudahnya mengakses video dan
gambar porno jelas menjadi bagian penting perusak generasi. Di lain pihak,
meningkatnya kesejahteraan keluarga sehingga gizi pun membaik, menjadikan
remaja masa kini cepat tumbuh secara fisik namun tidak diiringi dengan
pertumbuhan kejiwaan yang matang. Mereka sangat labil dan mudah terpengaruh.
Jika dulu para pria jantan rela menempuh maut demi sebuah kontak
kelamin, maka saat ini, pria-pria pragmatis hanya butuh rayuan maut untuk
menjinakkan para wanita. Hanya dengan benteng iman dan kontrol sosial yang
mampu meminimalkan prilaku kontak kelamin tanpa panduan syariat. Wallahu A'lam!
Enrekang, 6 Juli 2017.
Oleh: Dr. Ilham Kadir, MA. Peneliti MIUMI Pusat; Pimpinan Baznas Enrekang.
Dimuat 'Tribun Timur' Makassar, 7/7/2017.
Comments