Zakat dan Filosofi Pancasila
Oleh: Dr. Ilham Kadir, Peneliti MUMI Pusat; Pimpinan Baznas
Enrekang
Inilah masa dimana Pancasila dijadikan ikrar dan slogan sebagai
syarat menjadi orang Indonesia tulen. Maka ikrar "Saya Pancasila" pun
menggema seantero Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Yang teranyar,
Presiden Joko Widodo melantik Unit Kerja Pembinaan Ideologi Pancasila (UKP-PIP)
di Istana Negara, Jakarta, Rabu (7/6/2017).
Lalu, apakah ikrar tersebut secara otomatis menjadikan seseorang
secara mutlak sebagai manusia pancasilais? Benarkah kita darurat Pancasila
sehingga harus dibentuk unit pembinaan ideologi? Apa sebenarnya substansi
Pancasila itu?
Dalam keadaan tertentu ikrar dibutuhkan, bahkan dapat menjadi
syarat utama sahnya sebuah akad dan perjanjian. Sebelum lahir dari alam rahim
ke alam dunia, manusia sudah berikrar bahwa Allah adalah Tuhannya. "Alastu
birabbikum, qalu, bala syahidna. Bukankah aku ini Tuhanmu, mereka menjawab,
Benar, aku bersaksi Engkau adalah Tuhanku, (QS. Al-A'raf: 172).
Begitu pula, orang yang akan memeluk Islam harus punya ikrar,
disebut syahadat, atau persaksian bahwa tidak ada sesembahan yang berhak
disembah kecuali Allah Ta'ala, dan Muhammad bin Abdullah adalah hamba dan
utusan-Nya, hingga seorang yang akan melangsungkan pernikahan pun harus ada
ikrar sebagai tanda resminya sebuah hubungan suami istri.
Di sinilah letak ikrar, dan "Saya Pancasila" adalah
ikrar kebangsaan yang sejatinya telah ada sebelum kita lahir. Sama dengan
pemeluk Islam yang telah menjadi muslim turun temurun. Segenap rakyat
Indonesia, terutama pribumi seperti saya, dari nenek moyang hingga keturunan kami
kelak, insya Allah sudah berikrar sebagai orang Indonesia yang punya simbol
negara berupa Pancasila.
***
Perlu ditegaskan bahwa ikrar adalah pengakuan simbolik. Saya
Pancasila tidak akan ada artinya jika tidak mengamalkan nilai-nilai yang
terkandung dalam Pancasila itu sendiri. Persis orang yang bersyahadat mengaku
muslim tapi perilakunya justru berlawanan dengan ajaran Islam, dan, atau
seumpama sepasang suami istri yang baru berjanji dalam akad nikah tetapi justru
saling mengkhianati.
Maka salah satu wujud "Saya Pancasila" adalah
mengamalkan konsep-konsep hidup bernegara yang ada dalam Pancasila berjumlah
lima sila tersebut. Karena kelima sila Pancasila begitu luas jika semuanya
dijabarkan, maka saya hanya menguras dan mengupas konsep "adil" yang
terdapat pada sila kedua "Kemanusiaan yang Adil dan Beradab" serta
sila kelima "Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia".
Untuk memahami kata 'adil' secara adil maka harus mengembalikan
kepada bahasa asalnya, tidak bisa asal-asalan. Jika ditelisik, tidak akan kita
temukan dalam tradisi dan bahasa Indonesia kuno kata 'adil', sebab hanya
terdapat dari bahasa Arab atau lebih khusus lagi, berasal dari Al-Qur'an kitab
suci umat Islam.
Kata adil begitu banyak dan mudah ditemukan dalam Al-Qur'an,
seperti ayat berikut, Sesungguhnya Allah menyuruh kamu berlaku adil dan berbuat
kebajikan, memberi [zakat, infaq, shadaqah] kepada kaum kerabat, dan Allah
melarang perbuatan keji, kemungkaran, dan permusuhan, (QS. An-Nahl: 90).
Menurut Hamka dalam "Tafsir Al-Azhar" ketika menafsirkan
makna adil dalam ayat di atas yaitu, "Menimbang yang sama berat,
menyalahkan yang salah dan membenarkan yang benar, mengembalikan hak kepada
yang empunya dan jangan berlaku zalim, aniaya". Hamka melanjutkan, Maka
selama keadilan itu masih terdapat dalam masyarakat, pergaulan hidup manusia,
maka selama itu pula pergaulan akan sentosa, timbul amanat dan percaya
mempercayai."
Lawan dari 'adil' adalah zalim, yaitu memungkiri kebenaran karena hendak mencari keuntungan bagi diri sendiri; mempertahankan perbuatan yang salah sebab yang bersalah itu kawan atau keluarga sendiri, (Adian Husaini, Pancasila Bukan untuk Menindas Hak Konstitusional Umat Islam, Jakarta: 2009).
Lawan dari 'adil' adalah zalim, yaitu memungkiri kebenaran karena hendak mencari keuntungan bagi diri sendiri; mempertahankan perbuatan yang salah sebab yang bersalah itu kawan atau keluarga sendiri, (Adian Husaini, Pancasila Bukan untuk Menindas Hak Konstitusional Umat Islam, Jakarta: 2009).
***
Lalu di mana peran zakat? Bahwa filosofi dan konsep dasar
Pancasila adalah sangat sesuai dengan ajaran Islam. Artinya mengamalkan
Pancasila sesuai fitrahnya berarti menjalankan ajaran Islam. Jika berbicara
masalah keadilan dalam hal pemerataan ekonomi, maka syariat zakat adalah
instrumen terpenting yang tidak bisa diabaikan.
Masalah kesenjangan ekonomi di Indonesia merupakan masalah besar
yang sewaktu-waktu dapat melahirkan konflik horizontal, antara golongan kaya
raya dengan kaum marjinal. Keduanya memiliki potensi bentrok jika tidak ada
upaya-upaya untuk mendekatkan mereka.
Golongan kaya atau terlalu kaya, dengan golongan fakir dan
miskin jika merujuk kepada konsep zakat adalah dua kutub yang bisa saling
melengkapi. Mutualisme simbiosis. Keduanya bisa saling mendapatkan manfaat jika
saja ada keadilan di sana, dan itu hanya dapat ditangani dengan zakat, infaq,
dan shadaqah.
Hikmah utama syariat zakat adalah menjadi penghubung antara yang
kaya dan yang miskin atau muzakki dan mustahik. Fakir miskin butuh pekerjaan,
perlu pemberdayaan, dan atau santunan yang bersumber dari golongan kaya, dengan
sendirinya golongan miskin mendapatkan manfaat dari orang-orang kaya.
Zakat fitrah misalnya, sebagai kewajiban personal umat Islam di
setiap Bulan Puasa sangat jelas memiliki dua dimensi. Vertikal atau hubungan
seorang hamba dengan Tuhannya, dan kedua adalah sebagai bentuk ibadah sosial
dengan berbagi antarsesama.
Inilah yang disitir dalam sebuah Hadis, Rasulullah mewajibkan
zakat fitrah sebagai pembersih orang berpuasa dari perbuatan yang tidak
bermanfaat dan perkataan yang tak senonoh. Serta makanan bagi golongan fakir
miskin. Barangsiapa yang mengeluarkan sebelum salat Idul Fitri, itu adalah
zakat yang diterima, namun barangsiapa yang mengeluarkan setelah salat Id hanya
akan menjadi sedekah biasa, (Hadis Riwayat Ibnu Malah dan Abu Daud).
Di bulan Ramadhan ini, idealnya umat Islam harus menjadi contoh
dalam mengamalkan Pancasila khususnya dalam menegakkan keadilan, lebih khusus
lagi keadilan sosial dan ekonomi bagi seluruh rakyat Indonesia melalui ibadah
zakat harta dan zakat fitrah. Jangan hanya bolak-balik umrah dan salat di
Masjidil-Haram dan Masjid Nabawi, tapi tidak pernah bayar zakat harta. Di
rumah, makanan melimpah tapi masyarakat di kampung sebelah sekadar makan pun
susah.
Hakikatnya, ikrar "Saya Pancasila" jika tidak diiringi
dengan amalan yang pancasilais hanya laksana tong kosong nyaring bunyinya.
Pancasila tidak hanya butuh slogan, hanya melayang di awan-awan atau bertengger
di dinding-dinding kantor, tapi ia harus dibumikan konsep dan filosofinya.
Cinta tidak hanya di bibir saja, tapi harus diimplementasikan dalam kehidupan
nyata.
Gerakan sadar zakat, infaq dan shadaqah di bulan yang mulia ini
harus menjadi bagian penting dalam mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh
rakyat. Oleh karena itu, negara membentuk Badan Amil Zakat Nasional (Baznas),
berdasarkan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2011 terkait pengelolaan dana zakat,
infaq, dan shadaqah.
Tujuan utamanya, agar umat Islam sebagai penduduk terbanyak dan
penyumbang angka kemiskinan terbesar dapat diatasi dengan tuntas. Dan itulah
hakikat dan substansi Pancasila, jika keadilan sudah tegak maka kezaliman akan
lenyap, dan tidak diperlukan lagi pembentukan unit khusus dalam menegakkan
konsep dan ideologi Pancasila. Wallahu A'lam!
Enrekang, 21 Ramadhan 1438H/16 Juni 2017M.
Comments