Merajut Ukhuwah
Oleh: Dr.
Ilham Kadir, Peneliti MIUMI Pusat; Pimpinan Baznas Enrekang.
Sudah
pasti bahwa setiap syariat yang paten dalam ajaran agama Islam mengandung dua
dimensi: duniawi dan ukhrawi, vertikal dan horizontal, kesalehan personal dan
kesalehan sosial.
Demikian
pula yang termaktub dalam syariat puasa pada bulan Ramadhan. Selain memupuk
kesalehan pribadi juga harus melahirkan kepekaan sosial. Melaparkan perut
adalah jalan yang ampuh untuk mengenyangkan jiwa, dari jiwa yang kenyang itu
akan lahir kesalehan pribadi dan sosial.
Animo
masyarakat muslim Indonesia, khususnya Sulawesi Selatan sangat tinggi dan
antusias dalam menjalankan ibadah-ibadah Ramadhan, terutama pada awal-awal
puasa, dan berkurang sedikit demi sedikit kala berada di penghujung, dan itu
normal sebab dalam sebuah kompetisi harus ada kompetensi, dan yang paling berkonpensi
untuk keluar pada babak final hanya mereka yang konsisten dari awal hingga
akhir. Dan pada tahap tertentu seorang calon juara harus mengeluarkan segenap
usaha dan kemampuan jika sudah berada pada ujung pertandingan. Dan, detik-detik
penghabisan Ramadhan hanya disiapkan bagi mereka yang sungguh-sungguh
merindukan derajat takwa.
Maka hal
terpenting menjadi prioritas selanjutnya adalah mempertahankan amal saleh yang
telah dan sedang diamalkan. Sebab salah satu ciri mukmin dalam artian
sesungguhnya adalah konsisten atau terus menerus menegakkan kebaikan. Itulah
yang dimaksud dari sabda Nabi yang diriwayatkan oleh Imam Muslim (No. 38),
"Qul amantu billah tsumma istaqim. Katakan, aku beriman kepada Allah
kemudian istiqamahlah!"
Bulan
Ramadhan (1438H) ini, hanya tinggal dua hari lagi. Golongan yang beriman dan
konsisten dengan keimanannya akan mempertahankan posisinya pasca lebaran.
Keberhasilan dalam menjalankan ibadah amaliah Ramadhan hakikatnya akan terlihat
pada bulan-bulan selanjutnya.
Kesalehan
kepada Allah atau hablumm minallah juga bagian yang tidak dapat dipisahkan
dengan kesalehan kolektif atau hablum minannas. Sebab jenis dosa apa pun itu,
selama tidak menyekutukan Allah maka sejatinya akan diampuni, selama dosanya
itu tidak terkait dengan antar sesama. Artinya, ibadah dan amaliah bulan
Ramadhan umumnya menekankan kesalehan pribadi yang berinplikasi pada kesalehan
sosial atau kolektif.
Dari
sinilah kita dapat menarik benang merah, kenapa pasca puasa Ramadhan umat Islam
diwajibkan untuk bermaaf-maafan, saling berbagi, saling asih dan asuh, hingga
pada tahap tertentu, jika relasi seorang hamba dengan Tuhannya kian dekat, dan
hubungan antar sesama manusia sudah terjalin erat akan melahirkan manusia suci
lahir dan batin. Inilah puncak kemenangan seorang muslim. Maka, ucapan
"Minal a'idin Wal fa'Izin" menggema di mana-mana.
***
Tidak
diragukan lagi bahwa merawat keimanan dan ketakwaan dengan mempererat tali
persaudaraan adalah hal mutlak. Baik persaudaraan dalam bentuk persatuan yang
diikat dengan nilai dan ideologi kebangsaan (ukhuwah wathoniyah), atau pun
persaudaraan sesama muslim baik yang berada pada teritorial tertentu maupun
transnasional.
Patut
ditekankan bahwa di antara golongan orang-orang yang datang menghadap Tuhan di
hari Kiamat dalam keadaan bangkrut adalah mereka yang melakukan dosa pada orang
lain tanpa meminta maaf pada mereka yang terzalimi.
Beberapa
perilaku tidak terpuji memang disebutkan akan memusnahkan amal dan pahala
kebajikan yang sebelumnya telah dimiliki. Di antaranya adalah sikap suka
mencaci maki orang lain, juga perbuatan suka menuduh orang tanpa bukti,
termasuk memakan harta orang lain, menumpahkan darah tanpa hak, dan memukul
orang lain tanpa alasan yang dibolehkan agama.
Semua
perbuatan itu akan menghilangkan pahala shalat, puasa, zakat yang sudah
dikerjakan, karena digunakan untuk menebus dosa-dosa di atas. Sehingga semua
amal itu akan menjadi sia-sia tanpa pahala. Oleh sebab itu Rasulullah SAW
menyebut orang yang mengalami hal itu sebagai orang yang bangkrut.
Inilah
yang disitir oleh hadis berikut, Tahukah
kalian siapakah orang yang bangkrut itu? Mereka menjawab, Orang yang bangkrut
di kalangan kami adalah orang yang tidak memiliki dirham dan tidak pula
memiliki harta/barang. Rasulullah bersabda, Sesungguhnya orang yang bangkrut
dari umatku adalah orang yang datang pada hari kiamat dengan membawa pahala
shalat, puasa, dan zakat. Namun ia juga datang dengan membawa dosa kedzaliman.
Ia pernah mencerca si ini, menuduh tanpa bukti terhadap si itu, memakan harta
si anu, menumpahkan darah orang ini dan memukul orang itu. Maka sebagai tebusan
atas kedzalimannya tersebut, diberikanlah di antara kebaikannya kepada si ini,
si anu dan si itu. Hingga apabila kebaikannya telah habis dibagi-bagikan kepada
orang-orang yang didzaliminya sementara belum semua kedzalimannya tertebus,
diambillah kejelekan/ kesalahan yang dimiliki oleh orang yang didzaliminya lalu
ditimpakan kepadanya, kemudian ia dicampakkan ke dalam neraka, (HR. Muslim No.
6522).
Karena itu sikap
suka mencaci maki dan menuduh sesama umat Islam harus kita hindarkan dengan
mutlak. Jangan sampai niat baik kita untuk berdakwah mengajak dan mengajarkan
agama terkotori dengan cara-cara fisik maupun verbal sehingga kita sampai hati
untuk mengeluarkan caci maki dan tuduhan yang tidak ada dasarnya.
Sungguh
amat sayang kalau hal itu justru dilakukan oleh orang yang mengaku ingin
menegakkan agama, menghidupkan sunnah dan berjalan di atas manhaj Nabi.
Di dalam
riwayat yang lain, Rasulullah bersabda, "Siapa yang pernah berbuat
kedzaliman terhadap saudaranya baik menyangkut kehormatan saudaranya atau
perkara-perkara lainnya, maka hendaklah ia meminta kehalalan dari saudaranya
tersebut pada hari ini (di dunia) sebelum (datang suatu hari di mana di sana)
tidak ada lagi dinar dan tidak pula dirham (untuk menebus kesalahan yang
dilakukan, yakni pada hari kiamat). Bila ia memiliki amal shalih diambillah
amal tersebut darinya sesuai kadar kedzalimannya (untuk diberikan kepada orang
yang didzaliminya sebagai tebusan kedzaliman yang pernah dilakukannya). Namun
bila ia tidak memiliki kebaikan maka diambillah kejelekan orang yang pernah
didzaliminya lalu dipikulkan kepadanya, (HR. Al-Bukhari No. 2449).
Cukuplah
dalil di atas, menegaskan bahwa ternyata kesalehan pribadi tidak ada artinya
tanpa diiringi dengan kesalehan sosial. Salat, zakat, dan puasa sebagai ibadah
unggulan di bulan Ramadhan jika tidak diiringi dengan perilaku yang baik antar
sesama (ampe-ampe madeceng) hanya akan melahirkan penyesalan tak berkesudahan
di akhirat kelak.
Posisi
puasa di bulan Ramadhan sebagai wadah pembentukan karakter, terutama dalam
mewujudkan persatuan dan menghindari perpecahan dapat dilihat dari hadis yang
diriwayatkan
Imam Bukhari rahimahullah dalam kitab Shahih-nya No. 1894 bersumber dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah bersabda, "Puasa adalah perisai. Maka janganlah berkata kotor dan berbuat bodoh. Dan apabila ada orang yang mengajaknya berkelahi atau mencelanya, maka katakanlah ‘aku sedang puasa’, dua kali!"
Imam Bukhari rahimahullah dalam kitab Shahih-nya No. 1894 bersumber dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah bersabda, "Puasa adalah perisai. Maka janganlah berkata kotor dan berbuat bodoh. Dan apabila ada orang yang mengajaknya berkelahi atau mencelanya, maka katakanlah ‘aku sedang puasa’, dua kali!"
Belum
terlambat, bagi mereka yang pernah menyakiti sesama, mencaci tetangga,
mengumpat sana sini, adu domba, mengambil hal orang lain, dan segenap bentuk
kezaliman untuk mengoreksi diri (muhasabah an-nafs) dan meminta maaf kepada
siapa pun yang tersakiti dengan prilaku-prilaku tak terpuji, kiranya dimaafkan
sebelum ajal datang menjemput. Esensi utama Ramadhan adalah merajut ukhuwah dan
mereduksi segenap perpecahan. Selamat menyambut Hari Raya Idul Fitri, 1438H!
Dimuat TRIBUN TIMUR, 23/6/2017M-28 Ramadhan 1438H.
Comments