Al-Qur'an dalam Ideologi Pancasila
Oleh: Dr. Ilham Kadir. Peneliti MIUMI Pusat
Salah satu keistimewaan Bulan Ramadhan adalah di dalamnya
Al-Qur'an diturunkan. Walaupun tidak ada kesepakatan pada malam ke berapa ia
turun, namun kita dapat merujuk pada informasi dari hadis Nabi dan argumen para
ulama.
Umat Islam wajib meyakini bahwa Al-Qur'an yang ada saat ini
sebelum turun secara berangsur-angsur sesuai kebutuhan dan kejadian yang
berlaku selama Nabi Muhammad diangkat jadi rasul dengan durasi sekitar 23
tahun, terlebih dahulu diturunkan dari langit ke tujuh menuju langit terendah
yang terhubung langsung dengan alam dunia.
Kalau memang Al-Qur'an turun ke langit dunia pada malam Lailatul
Qadr, maka jelas ia terjadi pada sepuluh hari terakhir di bulan Ramadhan,
bersandar pada hadis Riwayat Bukhari-Muslim, Carilah malam Lailatul Qadr di malam
ganjil pada 10 hari terakhir bulan Ramadhan. Juga dalil lain, dengan rawi yang
sama, "Berusahalah untuk mencarinya pada sepuluh hari terakhir, apabila
kalian lemah atau kurang sehat, maka jangan sampai engkau lengah pada tujuh
hari terakhir".
Malam keberapa pun itu, yang jelas pada bulan Ramadhan, dan
besar kemungkinan di malam-malam terakhir. Ketetapan bahwa Al-Qur'an turun pada
malam Lailatul Qadr dikunci oleh ayat berikut, "Sesungguhnya Kami telah
menurunkannya [Al-Qur'an] pada malam kemuliaan", (QS. Al-Qadr, 97:1).
***
Bulan Ramadhan kali ini, umat Islam Indonesia, selain disibukkan
dengan berbagai jenis ibadah, juga disemarakkan dengan isu-isu kebangsaan yang
terkait dengan ideologi dan lambang negara yang kita sebut sebagai Pancasila.
Walau pun hakikatnya, isu Pancasila sudah ada sejak enam bulan
lalu, namun kian meruncing saat Pemilihan Gubernur DKI Jakarta yang berlangsung
selama dua putaran (15/2/2017 dan 19/4/2017). Setelah selesai Pilgub dengan
terpilihnya secara resmi Anies Baswedan berpasangan dengan Sandiaga Uno,
mengalahkan Basuki Tjahaja Purnama yang paket dengan Djarot Saiful Hidayat, isu
tentang Pancasila belum juga reda, bahkan menjadi pembahasan di berbagai media
dan akhirnya muncul sebagai trending topik di media sosial.
Masalah diawali ketika pendukung salah satu paket calon gubernur
Ibu Kota Indonesia di atas mengklaim sebagai golongan paling Pancasila dan kubu
lawan adalah anti Pancasila. Lalu masalah pun terus menggelinding bak bola
salju sampai pada detik ini. Jelas peristiwa ini lucu, sebab sekelompok orang
yang mengklaim paling pancasilais sambil menafikan kelompok lain hanya
persoalan dukung-mendukung paket calon gubernur tertentu.
Sementara, kami yang tinggal ribuan mil dari Ibu Kota Negara
tetap hidup aman dan damai, sama sekali tidak pernah mempersalahkan Pancasila.
Bahkan, di daerah terpencil seperti tempat domisili saya, Kabupaten Enrekang,
tidak sedikit penduduknya, terutama yang tinggal jauh di pedalaman dan
pegunungan, menyebutkan Pancasila pun lidahnya keluh, bahkan tidak pernah tahu
apa dan bagaimana itu Pancasila. Lalu apakah mereka anti Pancasila?
Terlihat jelas bahwa ada golongan yang sengaja membesar-besarkan
isu krisis Pancasila, sehingga presiden harus turun tangan memikirkan dan
bertindak menangani hal ini dengan cara membentuk khusus unit pembina
Pancasila. Padahal sejatinya masyarakat Indonesia adalah manusia-manusia
Pancasila yang sudah terlatih sejak lahir. Dan khusus umat Islam yang memiliki
Kitab Suci Al-Qur'an, sejatinya di dalamnya sudah memuat segenap konsep-konsep
inti dari Pancasila.
Kita lihat Sila Kedua Pancasila "Kemanusiaan yang Adil dan
Beradab". Tulisan ini pun hanya akan menelaah kata kunci "adil",
sebab Pengertian adil hanya dapat dipahami jika merujuk pada bahasa asalnya,
Arab. Memahaminya harus dikembalikan pada bahasa asalnya. Kata 'adil' dalam
bahasa Arab adalah 'wad'u al-syai' fi mahallihi' atau 'meletakkan sesuatu
sesuai tempatnya'. Kata lain yang berseberangan dengan adil adalah zalim, sebab
kerja-kerja orang zalim memang hobi meletakkan sesuatu yang bukan pada
tempatnya. Persis orang yang menuduh golongan lain sebagai anti Pancasila,
padahal dia sendiri belum tentu telah mengamalkan Pancasila sesuai fitrahnya.
Atau golongan yang merasa diri paling Islam, menggap orang lain selain
golongannya tidak islami, ahli bid'ah bahkan kafir, padahal belum terlihat apa
jenis sumbangsihnya dalam menegakkan dakwah islamiyah.
Konsep adil dalam Pancasila pasti sama dengan yang tertuang
dalam Kitab Suci Al-Qur'an. Para pendiri bangsa ini sudah pasti orang-orang
yang paham makna adil secara adil. Dapat dibuktikan dengan melihat filosofi
adil dalam ayat berikut, "Sungguh Allah menyuruhmu menyampaikan amanah
kepada yang berhak menerimanya, dan apabila kamu menetapkan hukum di antara
manusia maka hendaknya kamu tetapkan dengan adil," (An-Nisa' 5:58).
Sangat terang benderang bahwa hukum yang adil adalah tanpa
pandang bulu, semua sama statusnya di mata hukum. Tidak boleh hanya runcing ke
bawah namun begitu melempem ke atas. Ciri negara yang sakratul maut adalah
apabila hukum hanya untuk golongan lemah namun sulit menyasar para penjahat
kakap.
Keadilan juga menuntut agar hukuman bagi pelanggar undang-undang
harus ada hierarki. Artinya punya skala prioritas, tidak boleh memilih dan
memilah sesuai selera penguasa dan penegak hukum. Jika ada dua tindak kriminal,
maka diutamakan yang terparah.
Bisa kita ambil sampel, seorang penyidik Komisi Pemberantasan
Korupsi (KPK) telah disiram air keras dengan tujuan utama menyiksa dan membunuh
korban, kasus lain, ada ulama yang tertuduh telah melakukan perkara tercela,
ditemukan obrolan dalam ponselnya bernada mesum. Mana yang jadi prioritas?
Tentu kasus yang terkait dengan tindakan zalim dengan niat
menyiksa dan membunuh korban. Bukan malah lebih sibuk mengurus obrolan orang
lain yang belum jelas kebenarannya. Lagi pula, kalau aparat kita serius mau
melenyapkan kemaksiatan, kenapa prostitusi tetap marak? Belum lagi adegan
pornografi dan pornoaksi di media elektronik tetap tumbuh subur? Dari sini
dapat tergambar bahwa sesungguhnya bangsa ini belum membumikan ideologi
Pancasila. Hukum masih tebang pilih, inilah disitir pada ayat berikut.
"Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu
kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu
lebih dekat kepada takwa. dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha
mengetahui apa yang kamu kerjakan", (QS Al-Maaidah: 8).
Menurut Abdurrahman bin Nashir As-Sa'di dalam "Taisirul
Karimirrahman fi Tafsir Kalamil Mannan" ketika menafsirkan ayat di atas
adalah, Janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu
untuk berlaku tidak adil, seperti yang dilakukan oleh orang-orang yang tidak
memiliki rasa keadilan. Sebagaimana kalian menjadi saksi untuk hak temanmu,
maka kamu harus mau bersaksi untuk menegakkan hukum atasnya. Sebagaimana kamu
bersaksi untuk menegakkan hukuman atas lawanmu, maka kamu juga harus mau
bersaksi untuk membela haknya walau dia orang kafir atau pelaku bid’ah. Dalam
hal ini wajib berlaku adil dan menerima kebenaran yang dibawanya, karena memang
benar, bukan karena dia yang mengucapkannya. Dan tidak menolak kebenaran hanya
karena dia yang mengatakannya, karena ini adalah kezaliman terhadap kebenaran.
Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa. Artinya, setiap kali
kamu bersemangat untuk adil dan sungguh-sungguh dalam melaksanakannya maka hal
itu lebih dekat kepada takwanya hatimu. Maka apabila sempurna adil itu sempurna
pula ketakwaan.
Demikian pula di hari kemudian, ganjaran orang-orang yang
menegakkan keadilan juga bertingkat-tingkat sesuai posisinya. Seorang pemimpin
jika menegakkan keadilan tanpa pandang bulu (imam adil) akan termasuk dalam
tujuh golongan mendapat perlakuan khusus di Padang Makhsyar berupa naungan yang
menyejukkan, kala itu matahari tinggal sejengkal dari kepala, ada orang yang
berenang dalam genangan keringatnya disebabkan kezaliman yang ia lakukan semasa
hidupnya, demikian hadis diwartakan oleh Abu Hurairah dan dirawikan
Bukhari-Muslim.
Sejujurnya, para pemimpin negeri ini dari hulu hingga hilir,
secara umum belum juga mengamalkan konsep adil dalam Pancasila, sebab
pembangunan yang ada begitu banyak yang tidak didasari dengan kebutuhan dan
keadilan. Bahkan terlalu banyak proyek pembangunan hanya untuk mendapatkan
keuntungan sesaat.
Al-Qur'an sebagai pedoman bagi umat Islam memang banyak ayat
yang membahas masalah hukum, dan ini diamini oleh orientalis kawakan, Snouck
Hurgronje, katanya, 'Islam is a religion of law in the full meaning of the
word', artinya 'Islam adalah agama hukum dalam arti kata yang sebenarnya'.
***
Ada relasi kuat antara keadilan dan puasa. Keduanya bersatu
dalam tujuan, penegakan keadilan mendekatkan pelakunya pada ketakwaan,
sebagaimana puasa memiliki tujuan utama mengantar pelakunya menggapai derajat
takwa. Orang yang berpuasa hakikatnya melatih tubuh dan nafsu untuk tidak
menzalimi diri sendiri maupun orang lain dan bahkan seluruh makhluk hidup di
bumi. Melaparkan nafsu dan jasmani adalah mengenyangkan kalbu dan akal. Kalbu
akan mendapatkan asupan yang bergizi jika disirami dengan amalan-amalan
Ramadhan lainnya, seperti salat, zakat, infak, dan sedekah. Sementara akal
mengikuti perintah kalbu apabila diisi dengan ilmu-ilmu wahyu yang bersumber
dari Nabi dan para ulama.
Hati akan mati jika terus dalam kekenyangan, jauh dari empati,
dan tak tahu berbagi rezeki dan keberkahan. Pada akhirnya akan melahirkan rasa
tamak dan zalim, atau antitesis dari keadilan yang merupakan inti dari ideologi
Pancasila. Pada puncaknya, ketika nafsu menjadi kemudi bagi hati dan akal,
inilah klimaks sebuah petaka.
Perintah menegakkan keadilan, menjauhi sifat zalim dari
Al-Qur'an jelas satu arah dan tujuan dengan keinginan Pancasila, maka
mengamalkan perintah Al-Qur'an sama dengan mengaplikasikan ideologi Pancasila,
tidak ada kontradiksi.
Dan golongan yang berpendapat bahwa Pancasila adalah thagut atau
berhala hakikatnya telah mencela substansi ajaran Islam, sebab konsep dan
ideologi Pancasila sangat islami dan sesuai dengan fitrah berbangsa dan
bernegara di Indonesia. Apalagi jika merujuk pada kaidah utama dalam
bermuamalat berupa, 'kerjakan apa saja selama tidak ada larangan', artinya di
dalam bernegara kita juga dibebaskan untuk berijtihad dalam membuat kesepakatan
antara sesama warga negara agar dipatuhi bersama, dan Pancasila adalah hasil
konsensus dari para pendiri bangsa Indonesia.
Ramadhan yang tinggal beberapa hari lagi, harus jadi momentum
merajut kembali ukhuwah yang terputus, menyatukan hati yang pecah, menghimpun
serpihan-serpihan ego, mengosongkan wadah-wadah kebencian untuk menjadi
Indonesia yang bermartabat, baik di mata dunia Internasional, maupun di sisi
Allah. Itulah negara yang makmur dan Tuhan Maha Penganpun, baldatun tayebatun
wa rabbun ghafur. Semoga!
Enrekang, 19 Juni 2017M/24 Ramadhan 1438M.
Comments