Politik Menurut Ulama Bugis
Oleh: Ilham Kadir, Sekretaris
Pemuda KPPSI Pusat; Dosen STKIP Muhammadiyah Enrekang.
Secara historis, kata politik
berasal dari politics yang merupakan bahasa Yunani, polis bermakna
city-state. Aristoteles (384-322 SM) adalah tokoh yang paling bertanggung
jawab memperkenalkan ide politik melalui salah satu karyanya yang berjudul
"Politics" dan menyimpulkan bahwa semua manusia pada dasarnya adalah
berpolitik (man is by nature a political animal). Tidak jauh beda dengan apa
yang dikatakan Ibnu Khaldun, al-insan madaniyun bitabi'atih. Manusia secara
fitrah adalah makluk sosial yang sangat tergantung satu dengan lainnya.
Pendapat Aristoteles tersebut
meyakini bahwa setiap manusia dalam hubungannya antar sesama manusia tidak akan
terlepas dari interaksi politik (a political relationship) maka setiap manusia
adalah politikus (politicians) dalam arti lebih luas.
Pengertian politik menurut
Aristoteles yang umum di atas mengalami pergeseran bahkan penyempitan makna di
Abad Modern ini, David Easton melihat politik sebagai sebuah proses dimana
sebuah nilai atau ideologi dapat ditanamkan secara otoriter dalam sebuah
masyarakat. Akan tetapi Harold Lasswell mendefinisikan politik secara
pragmatis, Siapa mendapat apa, kapan, dan bagaimana? (Who gets what, when, and
how?). Vladimir Lenin memakai politik dengan kegiatan penuh intrik dan tipu
muslihat, "Siapa melakukan apa kepada siapa?" (Who does what to
whom?). Sedangkan Mao Tse Tung, pemimpin partai Komunis Cina melihat politik
sebagai 'perang tanpa berdarah' (bloodless war). (Lenin, 1943; Schram, 1969;
Ranney 1993, Iamanuddin, 2017).
Jika ditelisik lebih dalam, maka
teori
Vladimir Lenin yang menunjukkan
bahwa politik adalah kecerdikan, kelicikan, dan sedikit kecerdasan. Mazhab ini
pada umumnya yang dipahami masyarakat Bugis.
Politik dalam bahasa Bugis memang
memiliki konotasi yang tidak bagus. Orang berpolitik "mappoliti'"
sebagai bentuk kata kerja aktif identik dengan arti menipu, mempermainkan, atau
membohongi. Sedangkan "dipolitiki" sebagai kata kerja pasif memiliki
konotasi dibohongi dan ditipu.
Dikenal pula oleh masyarakat Bugis
bahwa perilaku para politisi banyak yang tidak bisa lepas dari tiga macam sifat
ini, mabello, mabbelle, bali'bella. Berpenampilan perlente, suka berbohong, dan
hobi bersilat lidah. Lalu, apakah dengan pola pikir (worldview) seperti itu
kita harus jauh dari politik, atau ikut berkubang dalam najis politik, atau
memanfaatkan politik sebagai sarana dakwah? Di sinilah masalahnya.
***
Sejak Islam masuk secara resmi di
Sulawesi Selatan pada abad ke-17 Masehi, salah satu sasaran islamisasi yang
menjadi target para dai kelana adalah menjadikan ulama sebagai bagian penting
dalam sebuah kerajaan. Atau, ulama ikut serta dalam memutuskan perkara-perkara
penting dalam musyawarah yang terkait dengan sosial kemasyarakatan.
Maka lahirlah "parewa
syara'" atau "pegawai syariat" yang menggusur posisi dukun
penyembah jin. Awalnya yang berhak menjadi pegawai syariat adalah para
keturunan raja (anakarung) yang didik dengan baik oleh para ulama. Karena itu,
pendidikan kader ulama dan dai pada awal kedatangan Islam di Sulawesi Selatan
secara eksklusif hanya ada di dalam istana. Kedudukan ulama sebagai penasihat
dan guru bagi para raja meningkatkan status ulama hampir setara dengan para
anakarung, karena itu ulama yang dikenal dengan istilah panrita sehingga
dimungkinkan untuk mempersunting putri para raja, sebagaimana yang
terjadi pada Syekh Yusuf Al-Makassari. Walaupun berasal dari masyarakat biasa
(to maradeka) namun dengan Ilmu yang ia miliki mampu mempersunting putri
raja Gowa 'Ala' Al-Din yang memerintah 1591-1636, (Azra, 1994).
Namun seiring berjalannya waktu,
pendidikan agama tidak lagi eksklusif, tetapi sudah merata, untuk skala
Makassar, Masjid Kaluku Boddoa menjadi sentra pendidikan agama Islam. (Sarkawi,
2015). Maka dapat dipahami bahwa pandangan ulama di Sulawesi Selatan sejak awal
kedatangan Islam lebih memilih menjadi patner dakwah, saling mengisi.
Pihak pemerintah menjadikan ulama
sebagai penasihat dan rujukan dalam memutuskan perkara penting di tengah
masyarakat. Termasuk dalam berbagai kegiatan kerajaan, selalu melibatkan ulama,
minimal sebagai pembaca doa. Maka ulama dan pemerintah yang diwakili para raja
adalah dua sisi mata uang yang tak terpisahkan. Saling membutuhkan, mutualisme
simbiosis.
Dalam perkembangannya, kedudukan
ulama dilembagakan dengan nama "qadhi" yang berfungsi menangani
segala bentuk perkara keagamaan, mulai dari lahir hingga masuk liang lahat.
(Ahmad, 2008). Para qadhi diangkat dari mereka yang memiliki pengetahuan yang
ada pada level ulama.
***
Perlu ditegaskan bahwa secara
mainstream, ulama Bugis lebih cenderung menjadikan pemerintah sebagai patner
dalam berdakwah dan membangun bangsa. Mereka memanfaatkan penguasa dan
kekuasaan untuk kemaslahatan syariat. Metode dakwah jenis ini disebut dakwah
struktural, atau dakwah yang melibatkan para penguasa.
Karena itu, kita tidak pernah
mendengar ada panrita yang bergelar Anregurutta ikut bertarung menjadi
gubernur, walikota, atau bupati. Bahkan sentra produsen ulama Bugis seperti
Wajo, Bone, Soppeng, dan Barru hingga saat ini belum pernah dipimpin oleh para
Anregurutta. Padahal secara penguasaan massa, para Anregurutta tidak bisa
diremehkan.
Yang menarik, para politisi justru
memanfaatkan momen ini, mencari dukungan dari para ulama Bugis untuk memperoleh
legitimasi bahwa dirinya didukung ulama agar masyarakat turut serta menjadi
pendukung.
Hakikatnya, seorang ulama, baik
yang terlibat dalam pemerintahan, bahkan politik selama dimanfaatkan untuk
kepentingan dakwah secara struktural sangat bermanfaat. Sebab di era penetapan
otonomi daerah seperti sekarang, kebijakan pemerintah daerah sangat signifikan,
dan jika aturan-aturan dan kebijakan itu searah tujuan dengan dakwah dan
syariat, maka manfaatnya pada ummat akan lebih banyak.
Namun, ulama yang berada di posisi
oposisi (ekstrim) dengan berdakwah lewat jalur kultural juga sangat dibutuhkan.
Sebab mereka berada pada pihak yang netral, tidak punya intres pribadi dan
politik. Nasihat-nasihatnya walau kadang keras dan menusuk ke jantung penguasa
justru terlihat kebenarannya setelah waktu yang bersaksi.
Ulama Bugis kendati lebih banyak
yang cenderung manfaatkan kekuasaan sebagai jalan dakwah, namun tidak jarang
pula yang lebih senang berdakwah tanpa ikatan resmi dari pemerintah. Dan telah
terbukti, para ulama Bugis menjadi bagian penting dalam dunia demokrasi di
Indonesia secara umum dan Sulawesi Selatan secara khusus. Wallahu A'lam!
Enrekang, 29 Maret 2017
Comments