Korupsi dan Kemuliaan
Akhir-akhir ini kita
disuguhi berita mega korupsi yang berjumlah triliunan rupiah dari proyek E-KTP.
Pembahasan terkait kasus ini dengan mudah kita jumpai, baik media cetak maupun
elektronik. Pasalnya, banyak orang-orang besar dari partai besar makan uang rakyat
besar-besaran tanpa merasa bahwa itu adalah dosa besar.
Entah mengapa, secara
tiba-tiba Kantor DPRD Enrekang digeledah oleh Tipikor Polda Sulselbar,
khususnya ruangan Ketua DPRD. Menurut berbagai sumber, dari kantor yang dihuni
para manusia-manusia terhormat sebagai Wakil Rakyat itu ada indikasi korupsi
yang berjumlah miliaran rupiah.
Berdasarkan amanat
undang-undang setidaknya ada tiga fungsi utama DPR, membuat peraturan atau
undang-undang, penganggaran, dan pengawasan. Akan lebih sulit dipahami jika
yang mengawas harus diawasi polisi.
Cukup sudah, dua kasus di
atas menjadi cermin bagaimana perilaku pengelola negara ini. Kata-kata
pengabdian, bersumpah untuk bekerja demi bangsa, tidak melanggar hukum, tidak
merugikan negara, dan sebagainya ternyata tidak berbanding lurus dengan
kenyataan di lapangan.
'Memberantas Pungli' yang
menjadi salah satu tema program jualan Presiden Jokowi pun hanya sebatas slogan
kosong belaka. Belum mampu membumi, akhirnya masalah demi masalah terus
menumpuk lalu membusuk. Kita lihat saja bagaimana ending kedua kasus di atas.
Hakikatnya, menelan harta
negara yang bukan menjadi hak kita hanya akan menjadi musuh di hari kiamat,
bagi mereka yang beriman bahwa ada hidup setelah mati. Maka, merampok harta
negara sama saja dengan menggali lubang jahanam di Hari Pembalasan. Begitu
pula, mereka yang gila jabatan dengan tujuan memanfaatkan jabatan untuk
menumpuk harta secara zalim adalah kerja-kerja nista yang akan dihinakan dunia
akhirat.
Kasus-kasus di sekeliling
kita seakan menjadi lonceng peringatan akan adanya nada merdu memanggil-manggil
para koruptor untuk masuk antrean lubang bara neraka.
Ini pula yang
mengingatkan kita akan pentingnya berhati-hati menggunakan fasilitas dan uang
negara.
Syahdan, pada suatu
ketika, Imam Ahmad bin Hanbal Rahimahullah dikunjungi seorang wanita yang ingin
mengadu.
“Wahai Imam, saya adalah
seorang ibu rumah tangga yang sudah lama ditinggal mati suami. Saya ini sangat
miskin, sehingga untuk menghidupi anak-anak saya, saya merajut benang di malam
hari, sementara siang hari saya gunakan untuk mengurus anak-anak saya dan
menyambi sebagai buruh kasar di sela waktu yang ada. Karena saya tak mampu
membeli lampu, maka pekerjaan merajut itu saya lakukan apabila sedang terang
bulan.”
Imam Ahmad menyimak
dengan serius penuturan sang ibu. Perasaannya miris mendengar ceritanya yang
memprihatinkan.
Dia adalah seorang ulama
besar yang kaya raya dan dermawan. Sebenarnya hatinya telah tergerak untuk
memberi sedekah kepada wanita itu, namun ia urungkan dahulu karena wanita itu
melanjutkan pengaduannya.
“Pada suatu hari, ada
rombongan pejabat negara berkemah di depan rumah saya. Mereka menyalakan lampu
yang jumlahnya amat banyak sehingga sinarnya terang benderang. Tanpa
sepengetahuan mereka, saya segera merajut benang dengan memanfaatkan cahaya
lampu-lampu itu."
Tetapi setelah selesai
saya sulam, saya bimbang, apakah hasilnya halal atau haram kalau saya jual?
Bolehkah saya makan dari hasil penjualan itu?
Saya melakukan pekerjaan
itu dengan diterangi lampu yang minyaknya dibeli dengan uang negara, dan tentu
saja itu tidak lain adalah uang rakyat, papar sang Ibu.
Imam Ahmad terpesona
dengan kemuliaan jiwa wanita itu. Ia begitu jujur, di tengah masyarakat yang
bobrok akhlaknya dan hanya memikirkan kesenangan sendiri, tanpa peduli halal
haram lagi.
Padahal jelas, wanita ini begitu miskin dan papa.
Padahal jelas, wanita ini begitu miskin dan papa.
Maka dengan penuh rasa
ingin tahu, Imam Ahmad rahimahullah bertanya, “Ibu, sebenarnya engkau ini
siapa?”
Dengan suara serak karena
penderitaannya yang berkepanjangan, wanita ini mengaku, “Saya ini adik
perempuan Basyar Al-Hafi.”
Imam Ahmad rahimahullah
makin terkejut. Basyar Al-Hafi rahimahullah adalah Gubernur yang terkenal
sangat adil dan dihormati rakyatnya semasa hidupnya.
Rupanya, jabatannya yang
tinggi tidak disalah-gunakan untuk kepentingan keluarga dan kerabatnya.
Sampai-sampai adik
kandungnya pun hidup dalam keadaan miskin.
Dengan menghela nafas
berat, Imam Ahmad rahimahullah berkata, Pada masa kini, ketika orang-orang
sibuk memupuk kekayaan dengan berbagai cara, bahkan dengan menggerogoti uang
negara dan menipu serta membebani rakyat yang sudah miskin, ternyata masih ada
wanita terhormat seperti engkau, ibu. Sungguh, sehelai rambutmu yang terurai
dari sela-sela jilbabmu jauh lebih mulia dibanding dengan berlapis-lapis serban
yang kupakai dan berlembar-lembar jubah yang dikenakan para ulama.
Subhanallah, sungguh
mulianya engkau, hasil rajutan itu engkau haramkan? Padahal bagi kami itu tidak
apa-apa, sebab yang engkau lakukan itu tidak merugikan keuangan negara.
Kemudian Imam Ahmad
melanjutkan, “Ibu, izinkan aku memberi penghormatan untukmu. Silahkan engkau
meminta apa saja dariku, bahkan sebagian besar hartaku, niscaya akan kuberikan
kepada wanita semulia engkau.
Diriwayatkan dari Abu
Bakr Ash-Shiddiq, dari Rasulullah, beliau bersabda, Tidak akan masuk ke dalam
surga sebuah jasad yang diberi makan dengan yang haram. (Shahih At-Targhib
2/150 no. 1730).
Semoga kita semua mampu
belajar dari kisah masyhur di atas. Di tengah parahnya masyarakat kita, mereka
menjadikan harta dan jabatan sebagai ukuran kesuksesan dan keberhasilan.
Padahal orang yang paling sukses sejatinya adalah yang paling besar manfaatnya
pada orang lain, pun manusia paling mulia adalah yang paling bertakwa. Wallahu
A'lam!
Oleh: Ilham Kadir. Menetap dan Mengabdi di Enrekang
Enrekang,
14/3/2017.
Comments