Kompetensi Ulama Bugis
Oleh: Ilham Kadir, Ketua Bidang Penelitian dan Informasi MIUMI
Sulsel; Komisioner Baznas Enrekang
Awal
Februari tahun 2017 ini, sebuah wacana dilontarkan oleh Menteri Agama, Lukman
Hakim Saifuddin terkait pentingnya sertifikasi khotib. Wacana ini terus
menggelinding bak bola salju hingga merambah pada persoalan standarisasi dai
dan ulama. Masyarakat Bugis yang telah melakukan regenerasi ulama sejak abad
ke-17 hakikatnya memiliki standar khusus tentang siapa yang layak disebut ulama
dan dikenal dengan sapaan Gurutta dan Anreguru. Oleh karena itu,
ulama (panrita) dalam susunan fungsional masyarakat Bugis menempati
urutan kedua setelah pemerintah yang dulu disebut anakarung. Tulisan ini
akan memotret kompetensi ulama Bugis.
Kehadiran
sosok ulama di tengah masyarakat untuk membina dan membawa ummat manusia dari gelapnya kekufuran dan kezaliman menuju
terangnya cahaya iman dan keadilan (min zhulumāt al-kufr wa zhulm ilā nūr
al-‘adl wa al-īmān) secara kontinyu saat ini sangat dirasakan kebutuhannya.
Fakta bahwa kemajuan zaman di era globalisasi sekarang sudah tidak
terbantahkan, munculnya berbagai teknologi yang merupakan hasil dari ilmu-ilmu
terapan adalah bagian penting dari produk zaman modern, namun di lain pihak
kebodohan terhadap agama berujung pada kesesatan dalam berpikir dan berbuat
tidak akan bisa diobati oleh orang-orang yang tidak memiliki pemahaman
keagamaan (kafā’ah ‘ilmiah) yang mendalam lalu disempurnakan dengan
adab-adab beragama dengan benar.
Hanya
dengan ilmu dan adab, sebagaimana telah dicontohkan para pendahulu ummat ini,
(salafus shaleh) kebodohan dapat diatasi, kezaliman dan kebatilah akan lenyap.
Sebagai manusia yang dikaruniai nikmat ilmu dan adab, maka ulama memegang
peranan penting dalam melestarikan dan memajukan peradaban. Sebab, peradaban
adalah buah daripada ilmu dan ilmu adalah akar dari peradaban. Namun, tingginya
ilmu tapi tidak diiringi dengan adab akan mempercepat kehancuran sebuah
peradaban.
Ilmu
dan adab tidak akan digapai dengan duduk berleha-leha, tanpa ada upaya dan
kesungguhan, sebab mendapatkan lalu menyatukan keduanya adalah sebuah usaha
yang tidak mudah. Harus melalui proses yang terjal dan berliku, ditopang dengan
sistem, manajemen, dan kerjasama dari berbagai pihak. Tugas mengkader dan
mencetak ulama memang dilakukan oleh orang-orang tertentu dari para ulama,
namun membantu mereka dari berbagai asfek adalah kewajiban ummat secara
kolektif, sebab manfaatnya kelak akan dirasakan secara bersama, karena ulama
adalah milik dan untuk ummat, merekalah pewaris para nabi.
Sebagaimana diungkapkan oleh Kadir
Ahmad, bahwa kompetensi yang membentuk ulama Bugis meliputi kompetensi keilmuan
(kognitif), kompetensi sosial (psikomotorif), dan kompetensi adab (afektif).
Ketiga kompetensi itu jika dilihat dapat berebentuk manjdi piramida terbalik.
Anregurutta memiliki kompetensi tertinggi dari tiga asfek kompetensi tersebut,
sementara gurutta berada di tengah atau sedang, dan para ustad dan muballig
berada pada kompetensi terkceil dari tiga asfek tersebut. Demikian pula, jika
disusun seperti piramida normal, maka jumlah yang terbanyak adalah ustad,
menempati posisi dasar, naik ke tengah adalah para gurutta, dan anregurutta
berada pada bagian paling atas. (Abd. Kadir Ahmad, Ulama Bugis,
Makassar: Balai Penelitian dan Pengembangan Agama, 2008, hlm. 417).
Kompetensi
keilmuan ulama Bugis sebenarnya tidak jauh beda dengan standar ulama mujtahid,
baik produksi Timur Tengah, maupun Nusantara, seperti penguasaan terhadap
Al-Qur’an dan sunnah dan segenap ilmu-ilmu alat dalam bahasa Arab, dan
ilmu-ilmu pendukung lainnya sebagai syarat menjadi mujtahid. Misalnya kader
ulama yang digembleng Syekh Muhammad As’ad Al-Bugisi (1907-1952), syarat-syarat
menjadi ulama mujtahid, selain hafalan Al-Qur’an dan jumlah tertentu dari hadits,
serta penguasaan ilmu masuk dalam kategori ilmu duabelas meliputi Nahwu,
Sharf, Bayān, Ma’ānī, Badī’, Fiqh, Ushūl Fiqh, Tafsīr, Hadīts, Musthalah
Hadīts, Tauhīd, dan Mantiq. Selain itu, ada beberapa tambahan khusus sebagai ulama yang
berdakwah di tengah masyarakat Bugis maka harus memahami bahasa kaumnya. Maka,
kompetensi keilmuannya harus juga didukung dengan ilmu-ilmu alat berhubungan
dengan suku Bugis, seperti mampu membaca dan menulis huruf Lontara atau aksara
Bugis, mampu berbicara dan memberi ceramah, pengajian, dan sejenisnya dalam
bahasa Bugis, walaupun tidak mesti berasal dari suku Bugis, yang jelas jika
kompetensi tambahan dan persifat khusus tersebut dapat dipenuhi maka sudah
masuk dalam kategori ‘Ulama Bugis’.
Kompetensi
berikutnya adalah bersifat aplikatif, atau kompetensi sosial yang membutuhkan
skil. Di sini masyarakat akan menilai sejauh mana seorang ulama Bugis mampu
mengamalkan ilmu yang dimilikinya, terutama untuk diri, keluarga, dan ummat
secara keseluruhan. Setinggi apa pun ilmu seseorang tapi tanpa diiringi
pengamalan maka tidak akan dianggap sebagai ulama Bugis sebab tidak mampu
menebar manfaat pada sesamanya. Manusia dalam kategori ini, cocoknya tinggal
jauh dari keramaian, kerjanya hanya ibadah dan ibadah, jangan banyak interaksi
kepada manusia, sebab makin banyak bertemu dengan manusia potensi dosanya makin
banyak pula, dan pada puncaknya yang mampu melakukan kehidupan seperti ini
hanyalah para waliyullah yang benar-benar memandang dunia sebagai bangkai.
Namun, menjadi ulama kompetensi mutlak adalah mengamalkan ilmunya, bermanfaat
bagi diri dan kaumnya serta taro ada taro gau, apa yang dikatakan itulah
yang diperbuat.
Kecuali
itu, Sayyid Jamaluddin Assegaf Paung Ramma, salah seorang ulama Bugis yang
dikenal luas di Makassar memberi beberapa syarat untuk menjadi seorang ulama,
selain harus uji kelayakan berupa kompetensi keilmuan dan sosial, seorang ulama
Bugis harus manini’ (tekun dan terus berusaha), dan tidak boleh berjalan
di muka umum sambil mengenakan pakaian yang tidak pantas, seperti celana di
atas lutut; tidak boleh keluar rumah tanpa tutup kepala; tidak boleh melihat
sembarangan (jelalatan); harus istiqamah, dan tidak boleh ingkar janji; dan
seorang ulama tidak boleh cinta dunia. (Abdul
Kadir Ahmad, et.al., Demi Ayat Tuhan: Upaya KPPSI Menegakkan Syariat
Islam, Jakarta: Open Society
Institute, 2006, hlm. 109).
Dalam
pandangan Abd Latif Amien, Ketua MUI Bone, hakikatnya, kalau merujuk pada
kompetensi keilmuan sekarang ini, kita tidak kekurangan intelektual bahkan
ulama. Namun jika merujuk pada kompetensi sosial, berupa pengamalan atas ilmu
yang dimiliki, maka di sinilah titik lemahnya. Banyak orang pintar, pandai, dan
berilmu, tapi perkataannya tidak sesuai dengan perbuatannya, ketinggian ilmunya
tidak diiringi dengan konsistensi pengamalan.
Kompetensi
terakhir adalah kepribadian yang disebut adab dan akhlak. Inilah inti dari
kedua kompetensi sebelumnya. Tingginya ilmu dan amal, harus disempurnakan
dengan adab, sebab tujuan pendidikan hakikatnya adalah membentuk manusia beradab,
hanya mereka yang beradab akan mampu menjadi orang shaleh. Khusus untuk ulama
bugis, adab dibahasakan dengan ampe-ampe madeceng, atau prilaku yang
elok. Suri teladan dari adab adalah bersumber dari golongan yang berilmu,
khususnya para ulama sebagai sumber ilmu dan pengganti peran para nabi. Wallahu
A’lam!
Enrekang,
22 Februari 2017
Comments