Terminologi dan Esensi Kalbu
Salah satu komponen yang terdapat pada manusia yang hingga saat ini
terus mengalami perdebatan terkait terminology dan esensinya adalah qalb yang
berasal dari bahasa Arab, atau kalbu dan hati dalam istilah Indonesia. Para
pakar telah mengurai menurut tahap keilmuan masing-masing, ikuti saya!
Dalam dunia medis hati diartikan sebagai organ khusus yang melekat
pada tubuh manusia berfungsi memompa darah, biasa juga disebut jantung. Namun,
dalam pandangan agama fungsi hati
melebihi itu, ia adalah sebuah kelembutan rabbaniyah ruhaniyah. Qalb
yang diartikan sebagai hati adalah hakikat manusia sesungguhnya, bagian yang
menyerap, menangkap, dan memiliki pemahaman dalam diri manusia. Dia pula yang menjadi
panglima dalam segala aktivitas setiap orang dan kelak akan diberi ganjaran, atau
akan mendapat kecaman.
Raghib al-Ashfahani, sebagaimana dikutif Halim Mahmud berpendapat
bahwa al-qalb adalah makna-makna yang secara spesifik menjadi sifatnya
seperti ruh, ilmu pengetahuan, keberanian, dan lainnya. Pendapat ini tidak bertentangan dengan Al-Qur’an yang
menyatakan bahwa tempat akal untuk memahami kebenaran sesungguhnya bersemayan
dalam qalb. Firman Allah dalam surat al-A’raf ayat 179:
وَلَقَدْ
ذَرَأْنَا لِجَهَنَّمَ كَثِيرًا مِنَ الْجِنِّ وَالإنْسِ لَهُمْ قُلُوبٌ لا
يَفْقَهُونَ بِهَا وَلَهُمْ أَعْيُنٌ لا يُبْصِرُونَ
بِهَا وَلَهُمْ آذَانٌ لا يَسْمَعُونَ بِهَا
أُولَئِكَ كَالأنْعَامِ بَلْ هُمْ أَضَلُّ أُولَئِكَ هُمُ الْغَافِلُونَ
Manusia
dan jin yang banyak itu kami sediakan untuk masuk neraka jahannam. Penghuni
neraka Jahannam ketika hidup di dunia memiliki hati tetapi tidak mau memahami
kebenaran, memiliki mata tetapi tidak mau melihat kebenaran, memiliki telinga
tetapi tidak mau mendengar kebenaran. Mereka itu ibarat hewan ternak, bahkan
lebih sesat. Mereka itulah golongan yang lalai mempersiapkan diri untuk
kehidupan akhirat.
Ayat serupa yang lebih tegas menyatakan bahwa posisi hati dan akal
itu berada dalam dada termaktub dalam surat al-Hajj ayat 46:
أَفَلَمْ
يَسِيرُوا فِي الأرْضِ فَتَكُونَ لَهُمْ قُلُوبٌ يَعْقِلُونَ بِهَا أَوْ آذَانٌ
يَسْمَعُونَ بِهَا فَإِنَّهَا لا تَعْمَى
الأبْصَارُ وَلَكِنْ تَعْمَى الْقُلُوبُ الَّتِي
فِي الصُّدُورِ
Maka
tidak pernahkah mereka berjalan di atas bumi, sehingga akal mereka dapat
memahami atau telinga mereka dapat mendengar? Sesunggunya bukan mata itu yang
buta, tetapi yang buta adalah hati di dalam dada.
Al-Qurthubi, sebagaimana dikutif Al-Asyqar menafsirkan ayat di atas
secara zahir. Menurutnya, hati yang dimaksud oleh Allah adalah sepotong daging
kecil seumpama sebiji kurma yang masih merah dan belum kering. Allah
menciptakannya dalam tubuh manusia dan dijadikan sebagai tempat pengetahuan,
lalu hamba menghafal pengetahuan yang tidak muat dalam kitab ciptaan. Allah
menuliskan ilmu itu dengan tulisan ilahiyah dan terjaga dengan hafalan
rabbaniyah sampai hamba dapat menguasainya dan tidak ada yang lupa.[1]
Dari segi bahasa, menurut Al-Qurthubi, asal kata qalb adalah masdar dari
qalaba, lalu kata qalb dijadikan istilah bagi anggota badan
manusia karena dia cepat merasa dan sensitif.
Al-Asyqar menegaskan, sebagian besar ulama tafsir berpendapat bahwa
qalb yang dimaksud dalam ayat-ayat Al-Qur’an adalah lathīfah rabbāniyah
(kelembutan Tuhan), bentuknya seperti sebiji kurma, tempatnya tergantung di
sebelah kiri dada. Dan, itulah hakikat keberadaan manusia, disebut juga rūh
rabbāniyah (ruh ketuhanan), an-nafs an-nāthiqah (jiwa yang dapat
bebicara), dan ar-rūh al-bāthinah (ruh batin). Karena itu, Al-Asyqar
sependapat dengan Wan Mohd Nor Wan Daud bahwa qalb adalah bagian dari
ruh yang juga disebut jiwa. Wallahu A’lam!
Oleh: Ilham Kadir, Komisioner Baznas
Enrekang.
AQL-Tebet, 1 Januari 2017
[1] Umar Sulaiman
al-Asyqar, An-Niyāt fīl ‘Ibādāt, diterjemhakan oleh Faisal Shaleh dengan
judul, Fiqih Niat, Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2006, hlm. 88.
Comments