Genealogi Ulama Bugis
Ditilik dari segi bahasa panrita berasal
dari kata ita yang berarti orang yang melihat, umum pula ditulis topanrita
tambahan to adalah bahasa Bugis yang bermakna orang. Dalam
perkembangannya, kata panrita bisa berarti keahlian teknis, seperti
tercermin dari ungkapan panrita lopi (ahli pembuat perahu), panrita
bola (ahli dalam membuat rumah). Namun dalam pengertian lebih spesifik
setelah terjadi islamisasi secara massif dan massal, termasuk merambah pada
istilah bahasa, dan merubah makna inti beberapa kata kunci termasuk panrita
yang sebelumnya secara istilah adalah orang yang memiliki kemampuan khusus
secara fisik dan metafisik.
Setelah era islamisasi, panrita
berubah arti menjadi ulama, sehingga dalam masyarakat Bugis panrita loppo berarti
ulama besar, atau pendeta dalam istilah
agama Kristen. (M. Ide
Said DM., Kamus Bahasa Bugis-Indonesia, Jakarta, 1977:148), Dalam kamus Bugis-Belanda
karya B.F. Matthes, Boegineesch-Hollandsch Woordenboak, Amsterdam: ‘S Gravenhage,
1874:118, panrita
memiliki dua arti terpelajar, sarjana atau ilmuan (geleerd) dan
arsitek (bouwmeester). Dari sinilah seorang pakar Bugis, Cristian Pelras
yakin bahwa kata panrita diambil dari bahasa Sanskerta pandita
yang berarti ‘pendeta atau pertapa.’ Dalam pengertian Pelras, panrita adalah
‘orang yang menguasai seluk beluk agama, bijaksana, shaleh dan jujur, (Christian Pelras, The
Bugis, Jakarta, 2006: 259).
Menurut Mochtar Pabottingi, panrita adalah
orang yang bersaksi, melihat dan menyimak atas suatu keadaan dan menyatakan
keadaan sebenarnya. Di sini, panrita bukan saja berperan sebagai
pengamat yang objektif atas keadaan di sekitarnya, tapi juga memberi penilaian,
kritik dan pertimbangan atas suatu keadaan. Dengan makna ini, tidak berlebihan
jika topanrita diidentikkan dengan konsep cendekiawan (intellectual)
dalam terminologi modern.
Lepas dari beragam pengertian di atas, topanrita juga
merupakan salah satu dari empat kualitas ideal manusia Bugis, di luar
kebangsawanan (arung), yang disebut dalam Lontara sebagai “sulapa’
eppa’” (segi empat). Keempat kualitas atau sifat tersebut merupakan modal
yang harus dimiliki setiap pemimpin yang baik. Selain panrita (shaleh),
tiga sifat yang dimaksud adalah warani (berani), macca (cerdas)
dan sugi (kaya), sebelum Islam datang, setelah hirarki golongan kaya,
ada dua lagi lapisan masyarakat yang tersisa, maradeka dengan ata
atau golongan merdeka dan hamba.
Ada pun panggilan anregurutta hanya
akan disematkan kepada seorang ahli agama namun tidak untuk yang ahli dalam
ilmu pengetahuan lainnya, ilmu agama dimaksud adalah terminologi ilmu-ilmu fardhu
‘ain dalam pandangan Al-Gazali dan ilmu naql menurut Ibn Khaldun.
Karena itu, orang Bugis memahami ulama dengan pengertian khusus. Secara
hirarkis, ulama Bugis juga betingkat-tingkat, yang tertinggi adalah panrita,
lalu menyusul anregurutta, kemudian gurutta, dan para ustadz,
hanya saja, seorang panrita disebut juga anregurutta dan gurutta
kedua gelar terakhir ini kerap berganti-ganti.
Namun demikian, istilah kiai sebagaimana
dipergunakan oleh masyarakat Jawa juga dipakai untuk menyebut golongan ulama,
atau pimpinan pesantren dan mengajar kitab-kitab klasik (turâts) kepada
para santrinya. Hanya
saja, penggunaan istilah kiai dalam masyarakat Bugis bersifat umum untuk semua
ahli agama, sementara istilah anregurutta selain menunjukkan kompetensi
yang dimiliki juga merujuk pada prilaku kesehariannya (ampe-ampe madeceng)
yang melambangkan dan menunjukkan kharisma dan kewibawaannya di tengah
masyarakat, karena itulah, menurut Kadir Ahmad, anregurutta atau gurutta
memang lebih spesifik untuk ulama Bugis. Dilihat dari sudut kompetensi, memang
ulama Bugis, setidaknya merujuk pada tiga kompetensi dasar, meliputi,
penguasaan ilmu agama, pengamalan agama, dan akhlak kepribadian.
Tempat reproduksi ulama dalam masyarakat
Bugis tidak berbeda dengan di Jawa, yaitu berasal dan berawal dari pesantren
lalu diaplikasikan ilmunya, dan dimatangkan di tengah masyarakat. Pengetahuan
yang selama ini bersifat teroritis di pesantren akan diuji di tengah
masyarakat. Proses pematangan yang melibatkan ketiga komponen di atas akan
menjadi penentu eksistensi seorang ulama Bugis. Posisi pesantren yang terbuka
secara umum memungkinkan reproduksi ulama tetap terjaga, padahal awal-awal
kedatangan Islam, umumnya ulama yang kelak akan menjadi panrita lebih
didominasi kaum anakarung (bangsawan). Seiring berlalunya waktu, pondok
pesantren dan madrasah membuka diri untuk semua kalangan yang ingin menjadi
ulama,
menjadikan kaderisasi ulama berjalan secara berkesinambungan, dapat diakses
oleh masyarakat luas.
Jika di Jawa pola-pola kaderisasi ulama
umumnya melibatkan jaringan antar-genealogi kekerabatan. Unsur keturunan dalam
kalangan pesantren tradisional di Jawa memegang peranan penting dalam
kaderisasi kiai. Seorang kiai tradisional mungkin anak dari kiai, atau kalau
ayahnya bukan kiai, maka salah seorang familinya adalah kiai, atau memang
kakeknya seorang kiai, begitulah seterusnya. Ini pula yang membedakan dengan
ulama Bugis yang lebih cenderung bergerak di luar pola hubungan geneologi
kekerabatan sehingga sulit menemukan adanya anak ulama melakukan hubungan
pernikahan dengan ulama lainnya. Pola koneksi atas dasar geneologi keilmuan
lebih diutamakan daripada kekerabatan. Ulama Bugis mereproduksi santri menjadi
ulama lebih dari sekadar mereproduksi anak keturunan menjadi ulama.
Pola regenerasi ulama khas Bugis juga akan
dijumpai dalam konsep kaderisasi ulama yang pernah diterapkan oleh Al-Bugisi (1907-1952) yang merintis dan
memimpin Madrasah Arabiah Islamiyah (MAI) Sengkang-Wajo, lembaga pendidikan yang bertahan hingga hari
ini, dan
telah terbukti menjadi alat reproduksi ulama Bugis. Para generasi pelanjut
adalah terdiri dari para santri pilihan yang dianggap cakap menata dan mengatur
lembaga serta memiliki keilmuan yang memadai lalu disempurnakan dengan
pengamalan yang konsisten serta ketinggian adab yang dikenal dengan ampe-ampe
madeceng atau akhlak mulia. Wallahu A’lam!
Ilham Kadir, Penulis Disertasi “Konsep Pendidikan
Kader Ulama Anregurutta Muhammad As’ad Al-Bugisi 1907-1952” di Sekolah Pascasarjana UIKA
Bogor.
Comments