SINERGITAS FILSAFAT DAN AGAMA
Filsafat, jika diteropong dari sisi bahasa,
berasal dari dua suku kata, yaitu 'filo' dan 'sofos', yang pertama bermakna
'penggemar' suku kata kedua berarti 'hikmah' atau ilmu.
Manusia yang dikaruniai akal, sebagai alat utama dalam melakukan perenungan dan pencarian kebenaran, selalu bertanya-tanya terkait fenomena alam jagat raya, atau penciptaan dirinya yang dipenuhi oleh misteri, dan hingga kini, walau ilmu dan teknologi terus berkembang, tetap saja rahasia ilahi hanya secuil yang terungkap: laksana setetes air di tengah lautan.
Pencarian kebenaran, dengan menggunakan akal
sebagai perangkat utama, sejatinya telah terjadi sejak awal mula manusia diciptakan,
buktinya Allah menyuruh Nabi Adam untuk mengajari malaikat dan iblis terkait
nama-nama, dilanjutkan dengan nabi-nabi setelahnya, tak terkecuali Nabi
Ibrahim.
Demikian pula di Miletos, Asia Minor, tempat
perantauan orang Yunani, mulanya timbul filsafat, di sanalah lahir Thales,
Anaximandros dan Anaximenes. Perhatian orang mula-mula sekali kepada alam.
Bagaimana terjadinya alam itulah mula persoalan. Hampir dua ratus tahun
lamanya, sejak jaman Thales (SM. 625-545) sampai ke jaman Demokritos (SM. 460-260),
edaran perbincangan para filosof itu terkait dengan alam, dari mana
kejadiannya, apakah terjadi sendirinya atau ada yang menciptakan? Ada yang
berpendapat asal mula kejadian alam adalah air, atau api, mungkin uap, angin,
atau tanah?
Tidak sampai di situ, para filosof bertanya lebih
jauh di benak dan dekat dalam pandangan, Kita ini siapa? Nyatalah bahwa setelah
diselidiki berlama-lama, sifat-sifat rahasia yang ada pada insan, tidak kurang
pentingnya dari pada alam semesta. Maka keluarlah sari filsafat, 'Insan adalah
alam yang kecil dan alam adalah insan yang besar'.
Filosof yang pertama membawa soal dari langit ke bumi, dari alam ke manusia adalah Socrates. Dia pula yang terawal menggelari dirinya dengan 'filosof' dengan maksud 'penggemar hikmah'. Maka timbullah istilah dari filosof lain, Beberapa lama filosofi tergantung di langit, sampai akhirnya Socrates datang mengaitnya dan diturunkannya ke bumi.
Begitu panjang ceritanya mengenai awal mula
filsafat, apa yang wajib dikerjakan, yang harus dijauhi, mana yang baik, mana
yang buruk. Maka muncullah cabang filsafat bernama 'Etika' atau akhlak dan budi
pekerti. Bagaimana hubungan diri dengan masyarakat, maka timbullah ilmu
masyarakat atau sosiologi, bagaimana mengatur supaya masyarakat bisa berjamaah,
dan kepentingan bersama jangan berbenturan antara satu dengan lainnya, maka
timbullah ilmu politik.
Begitulah manusia yang terus mencari jati
dirinya, dan kegunanaannya, bagi alam ini, itulah yang dimulai oleh Socrates,
diteruskan oleh muridnya, Aristotes, terus berkembang dari waktu ke waktu,
hinga datang Iskandar Macedonia berperang menaklukkan negeri Mesir, Persia dan
Hindu, dia adalah murid dari Aristoteles.
Daerah taklukan Iskandar, sudah terdapat agama
wahyu dari langit, yaitu Yahudi. Agama mengemukakan hati, sedang filsafat
menajamkan otak. Dari pengembaraan murid Aristoteles itu, maka bertemulah
filsafat dan agama, atau otak dan hati. Maka timbullah Neo Platonisme.
Ibarat matahari, filsafat tidak akan pernah
berhenti bersinar, selama manusia masih berfikir, ia akan terus berkembang.
Dari Yunani ke Iskandariyah, pindah ke Romawi, lalu ke tanah Arab yang dikenal
dengan Daulah Islamiyah, setelah meredup di dunia Islam, filsafat kembali
menemukan titik terangnya, di kampung asalanya, Eropa yang dikenal dengan renaissance
yang terus berkembang hingga hari ini. Kita kenal, filsafat ilmu, filsafat
pendidikan, politik, agama, dst.
***

Ada pula ayat serupa, Apakah mereka tidak melihat
kepada unta, betapa ia dijadikan, kepada langit, betapa ia diangkatkan, dan
kepada bukti-bukti, betapa ia diciptakan, kepada bumi, bagaimana ia
dihamparkan, (QS. Al-Ghasyiah: 17-20).
Menerawanglah pikiran manusia dalam cakwarala
luas ini, ratusan bahkan ribuan tahun lamanya hingga bertemu dengan hakikat
itu, fikiran terhenti, lalu tertunduk, maka timbullah ingatan pada Sang
Pencipta, berdasarkan ayat, Orang yang ingat akan Allah, pada waktu berdiri dan
duduk, Ya Tuhanku! Tidaklah Engkau jadikan semuanya ini dengan sia-sia! Amant
sucilah Engkau, peliharalah kami dari siksa neraka, (QS. Ali Imran: 191).
Kita jumpai pula ayat filsafat berikut, Dan pada
bumi adalah bukti bagi orang-orang yang yakin; dan pada dirimu sendiri, apakah
tidak kamu ambil pelajaran; pada langit, rezekimu, dan apa yang dijanjikan buat
kamu, (QS. Az-Zariya: 20-22).
Dengan filsafat, manusia akan merenungi
penciptaan alam semesta dan segala isinya, termasuk dirinya, tiada lain kecuali
agar kayakinan akan wujudnya sang pencipta, Allah SWT, demikian pula,
penciptaan tubuh manusia yang penuh dengan rahasia ilahi.
Karena itu, jika merujuk pada fakta di atas,
sangat jelas, jika filsafat adalah cabang ilmu yang harus dipelajari, demi
menggali, dan menemukan kebenaran dan kekuasaan Allah agar keimanan kita terus
bertambah.
Pendirian mencari kebenaran (thalabul-haq), perseimbangan antara kerja otak, tempat filsafat
bermain, dengan kerja hati, tempat agama bersemai; kerjasama antara fikiran,
cita-cita, dan perasaan halus, di situlah filsafat mengembara.
Descartes (1650), yang merupakan anak zaman
Renaissance dan humanisme, dalam sejarah filsafat ia disebut Bapak dari
rasionalisme, dengan dalilnya yang masyhur, Cogito
ergo sum. Aku berfikir, maka aku ada! Jelas ini adalah kesesatan yang
nyata, sebab hanya menjadikan akal sebagai satu-satunya sumber kebenaran, lalu
mengabaikan hati, dan mencapakkan agama.
Puncaknya, rasionalisme akan mengingkari
kewujudan Tuhan. Penganut rasionalisme terus tumbuh dan berkembang biak dari
masa ke masa. Ajarannya diawet dan disebarkan dari pusat-pusat lembaga
pendidikan tinggi, tak terkecuali yang berlabel Islam. Maka lahirlah
intelektual yang lancang menulis, "Tuhan Membusuk: Rekonstruksi
Fundamentalisme menuju Islam Kosmopolitan" sebagaimana tertulis dalam
spanduk raksasa oleh Senat Mahasiswa Fakultas Ushuluddin dan Filsafat UIN Sunan
Ampel Surabaya pada 28 Agustus 2014.
Yang tepat adalah, Deus est, ergo sum. Tuhan ada, maka aku ada! Begitu ungkapan J.
Verkuyl. Atau Jolivet, Let thomisme et la
crigue je suis, mais c'est parce que je suis je pense. Bukanlah aku
berfikir aku ada, melainkan karena aku ada maka aku berfikir. Filsafat tanpa
agama laksana pengembara sesat di tengah lautan tak bertepi berlayar tanpa
arah-tujuan, agama tanpa filsafat ibarat burung tak bersayap, baginya,
perjalanan menggapai kebenaran begitu sulit. Wallahu A'lam!
Oleh: Ilham Kadir, Dosen STKIP Muhammadiyah Enrekang;
Kandidat Doktor UIKA Bogor.
Disampaikan dalam Kaderisasi Darul Arqam
Dasar IMM STKIP Muhammadiyah Enrekang pada Kamis 2 Desember 2016.
Comments