Nasionalisme Ulama
Dalam sejarah
perjuangan Republik Indonesia, peran para ulama menjadi bagian yang tak
terpisahkan. Misalnya, Syekh Yusuf Al-Makassari (1627-1629) ulama kesohor kelahiran
Gowa,
bukan hanya hebat mengajar dan menulis kitab-kitab keagamaan, tetapi juga
sebagai pemimpin pasukan tempur melawan Belanda, (Tudjimah,
Syekh Jusuf Makassar: Riwayat dan
Ajarannya, Jakarta, 2005: 4-5).
Pada tahun 1681-1682 perang terbuka antara
Sultan Ageng Tirtayasa melawan Belanda yang bersekutu dengan anaknya, Sultan
Muda Abun Nashr Abdul Kahar, perang ini berlangsung
sengit. Pata tahun 1683, Sultan Ageng menyerah kepada Belanda, lalu dibawa ke
Batavia sebagai tawanan perang, di sana ia wafat pada tahun 1695, (Darmawijaya,
Kesultanan Islam Nusantara, Jakarta, 2010: 86).
Pasca
penangkapan Sultan Ageng Tirtayasa, Banten bernasib seperti Makassar pasca
Penandatanganan Perjanjian Bungaya, berada dalam telunjuk Belanda. Karena itu,
tampuk pimpinan perjuangan rakyat Banten dipegang oleh Syekh Yusuf Al-Makassari
dibantu Pangeran Purbaya dan Pangeran Kidul. Pasukan yang dipimpin oleh
Al-Makassari tidak kurang dari 5.000 orang, dan 1.000 di antaranya adalah orang
Makassar, Bugis, dan Melayu yang meninggalkan tanah leluhurnya di Makassar
setelah takluk sama Belanda. Pasukan Al-Makassar dikenal gagah berani, karena
itu Belanda kewalahan menghadapi mereka, (Mustari
Mustafa, Dakwah Sufisme Syekh Yusuf Al-Makassary, Makassar,
2010: 50).
Ini membuktikan keberanian dan kehebatan Al-Makassari dalam memerangi musuh
negara dan agama, setelah gagal dalam usaha mereka yang tak henti-hentinya
untuk menundukkan Al-Makassari, Belanda akhirnya menggunakan tipu muslihat yang
kerap kali mereka pakai dalam usaha perluasan wilayah di Nusantara.
Menurut
sebuah versi dari sumber Belanda sebagaimana dikutif Azra, Van Happel, komandan
pasukan Belanda dengan mengenakan pakaian Arab, manyamar sebagai muslim
berhasil menyusup ke dalam tubuh pasukan Al-Makassari dan dia akhirnya
menangkap Al-Makassari pada 14 Desember 1683. Versi lain menurut Azra, Van
Happel mendatangi persembunyian Al-Makassari bersama dengan putri sang ulama,
sambil menjanjikan pengampunan dari pihak Belanda, akhirnya, Al-Makassari dan
bala tentaranya bergabung dengan Van Happel lalu mengikutinya ke Cirebon, di
sana secara resmi ia diumumkan sebagai tawanan perang dan pada saat yang sama
pasukan setianya dikembalikan oleh Belanda ke Makassar dan perang Banten pun
tamat, (Zayumardi
Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abda XVII dan
XVIII, Bandung: Mizan, 1989: 225).
Seorang
ulama, tidak hanya dikatakan pejuang jika ia turun gunung menghunus pedang
melawan penjajah, tapi mengobarkan api jihad kepada segenap ummat Islam yang
tertindas oleh bangsa penjajah adalah perjuangan yang tidak bisa diremehkan.
Inilah yang terjadi pada diri seorang ulama Nusantara lainnya, Syekh Abd Shamad
Al-Palembani (1704-1789. Meskipun menetap nun jauh di Makkah sana, tapi ia
sangat peduli terhadap kondisi bangsa dan negerinya yang berada dalam
cengkraman penjajah Belanda, karena itulah ia melakukan perlawanan dengan
caranya sendiri, (Adian Husaini, Mewujudkan
Indonesia yang Adil dan Beradab, Jakarta,
2015: 3).
Al-Palembani
menulis kitab untuk mengobarkan semangat jihad bangsanya dengan judul, Nashīẖah
al-Muslim wa-Tadzkirah al-Mu’min fī-Fadhā’il al-Jihād fi-Sabīlillāh wa-Karāamah
al-Mujāhidīn fi Sabīlillāh. Melaui kitab ini, Al-Palembani menjelaskan
bahwa wajib hukumnya bagi ummat Islam untuk melakukan jihād fī
sabilillāh melawan para penjajah kafir. Namun, tulisan Al-Palembani
lainnya, Fadhā’il al-Jihād yang berisi, antara lain, kewajiban bagi
ummat Islam untuk melancarkan perang suci melawan kaum kafir, merupakan sumber
utama berbagai karya mengenai jihad dalam Perang Aceh yang panjang melawan
Belanda, antara tahun 1873 hingga awal abad ke-20.
Lebih
jauh, Al-Palembani juga mengirim beberapa surat, tiga di antaranya berhasil
disita Belanda. Surat-surat tersebut berisi desakan kepada penguasa dan pangeran
Jawa untuk melakukan perang suci melawan kaum kafir. Surat pertama misalnya,
ditujukan pada Sultan Mataram, Hamengkubuwana I, yang dikenal dengan Pangeran
Mangkubumi, setelah mengucapkan puji-pujian kepada Allah, Al-Palembani menulis, Tuhan
telah menjanjikan bahwa para Sultan akan memasuki [surga], karena keluhuran
budi, kebajikan dan keberanian mereka yang tiada tara malawan musuh dari agama
lain [sic!]. Di antara mereka ini adalah raja Jawa, yang mempertahankan agama
Islam dan Berjaya di atas semua raja
lain, dan menonjol dalam amal dalam peperangan melawan orang-orang agama
lain [sic!]. Tuhan meyakinkan kembali orang-orang yang bertindak di jalan ini
dengan berfirman, ‘Jangan mengira bahwa mereka yang mati dalam perang suci itu
benar-benar mati. Jelas tidak, mereka sesungguhnya masih hidup” [Al-Qur’an
2:154; 3:169]. (Zayumardi Azra,
Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abda XVII dan XVIII,
Bandung,
1989: 284).
Perlawanan
terhadap para kolonialisme terus-menerus dilancarkan oleh ummat Islam Indonesia
dengan semangat dan panduan konsep jihad yang telah dirumuskan para ulama.
Bahkan setelah Indonesia merdeka pun, upaya mempertahankan kemerdekaan tetap
dilakukan dengan semangat dan panduan yang sama. Bangsa Indonesia mengenal
perlawanan membara terhadap usaha kembalinya penjajah Belanda pada tahun 1945
yang pada akhirnya mendorong pemimpin tertinggi
ummat Islam Indonesia saat itu, KH. Hasyim Asy’ari (1872-1947) mengeluarkan fatwa tentang jihad pada 14
September 1945. Isi Resolusi Jihad yang diputuskan dalam rapat para konsul NU
se-Jawa Madura tersebut berbunyi, (1) Kemerdekaan Indonesia yang telah
diproklamirkan pada 17 Agustus 1945 wajib dipertahankan; (2) Republik Indonesia
sebagai satu-satunya pemerintahan yang sah, wajib dibela dan diselamatkan,
meskipun meminta pengorbanan harta dan jiwa; (3) Musuh-musuh Republik
Indonesia, terutama Belanda yang datang dengan membonceng tugas-tugas tentara
sekutu (Amerika-Inggris) dalam hal tawanan perang bangsa Jepang, tentulah akan
menggunakan kesempatan politik militer untuk kembali menjajah Indonesia; (4)
Ummat Islam, terutama warga NU, wajib mengangkat senjata melawan Belanda dan
kawan-kawannya yang hendak kembali menjajah Indonesia; (5) Kewajiban tersebut
adalah ‘jihad’ menjadi kewajiban bagi tiap-tiap orang Islam (fardhu ‘ain)
yang berada dalam radius 94 km. (Muhammad Ishomuddin Hadziq (ed.), Kumpulan Kitab Karya Hadratus
Syaikh KH. Muhammad Hasyim Asy’ari, Tebuireng Jombang, t.th.).
Terlalu
banyak contoh kasus menunjukkan bahwa ulama berperang penting dalam melakukan
perlawanan terhadap para penjajah yang merupakan musuh agama dan negara. Dan,
satu hal yang harus dicatat, segenap perjuangan para ulama adalah sangat ikhlas
dengan cita-cita mulia, agar kelak bumi Indonesia di atasnya syariat Islam
dapat diterapkan. Mereka berjuang bukan sekadar untuk merebut tanah air dan
kekuasaan, sebab sangat sedikit ulama menjadi penguasa apalagi tuan tanah.
Kini, kepemimpinan ulama dalam membela agama dan NKRI
kembali diuji. Tuntutan mereka, bukan lagi terkait jihad fisik melawan para
kolonialisme konvensional, melainkan jihad konstitusi dan penegakan keadilan.
Ulama mengajak umatnya untuk sama-sama peduli terhadap bangsa yang sedang sakit
ini disebabkan antara lain merebaknya penyakit hukum yang tajam ke bawah namun
tumpul ke atas. Hukum seakan hanya diterapkan bagi mereka yang papa namun tak
mampu menjerat golongan penguasa dan pengusaha kakap.
Kepemimpinan ulama dalam menggerakkan massa untuk melawan
musuh negara dan agama sudah teruji dari zaman dahulu, sebagaimana Syekh Yusuf
Al-Makassari pernah lakukan. Dan, posisi mereka tetap sebagai pengayom dan
pelayan umat, tak punya tujuan selain kemuliaan agama dan negara.
Aksi Bela Islam 212 jilid 3 adalah contoh nyata kepekaan
dan perjuangan ulama untuk mengembalikan martabat bangsa yang sedang
dicabik-cabik kawanan komunis, liberalis, sempalan, dan oportunis. Saya tutup
dengan mengutip perkataan Ustad Bachtiar Nasir terkait ABI 212, katanya, kita
datang bukan untuk mengetuk pintu istana presiden, akan tetapi datang bersama
untuk mengetuk pintu langit, dan pada akhirnya Presiden Jokowi dan Wapres Jusuf
Kalla datang menunaikan shalat Jumat bersama jutaan massa dalam Aksi Bela Islam
212 di kawasan Monas yang hanya selemparan dari istana presiden. Semoga ini
menjadi bagian dari penghargaan pemerintah terhadap nasionalisme ulama yang ingin
agar hukum di Indonesia tegak, tanpa pandang bulu. Wallahu A’lam!
Dimuat oleh Tribun Timur, Makassar, 2/12/2016.
Ilham Kadir, Komisioner Baznas Enrekang,
Sekertaris Pemuda KPPSI.
Comments