JADILAH ORANG BESAR
Gajah mati meinggalkan gading, harimau mati
meninggalkan belang, begitu kata pepatah. Untuk urusan membesarkan nama,
manusia rela melakukan apa saja, bahkan dengan harta termahal dan jiwa
sekalipun dapat menjadi taruhan. Namun, tidak semua manusia mendapatkan
kebesaran nama sebagaimana mereka inginakan.
Memang, kadang orang-orang yang terlihat besar,
namun belum tentu mereka adalah orang besar sejati. Sebab kebesaran seseorang
tidak dinilai dengan bodi, pangkat, dan jabatannya. Kadang, orang-orang yang
terabaikan, dan luput dari perhitungan kita, justru menjadi orang besar sejati.
Paradoks memang. (Lionmag, Oktober 2016).
Syahdan, pada tahun 1961, saat perang dingin
berlangsung antara Amerika Serikat dan Uni Soviet, satu kesalahan peluncuran
misil, apalagi dengan hulu ledak nuklir bisa memicu terjadinya Perang Dunia
ke-III. Padahal, saat itu jumlah persediaan nuklir yang dimiliki oleh kedua
negara adi daya tersebut berpotensi menjadikan planet bernama bumi ini seperti
kapas beterbangan. Hancur lebur.
Adalah kapten kapal selam kebanggaan Uni Soviet,
K-19, yang mengalami situasi krisis dimana ia dihadapkan pada pilihan sulit di
antara menyelamatkan awaknya namun melecehkan negaranya, atau mencegah
terjadinya perang nuklir namun merelakan K-19 hancur lebur dan seluruh awaknya
mampus.
K-19 merupakan salah satu kapal selam nuklir
generasi pertama yang dilengkapi dengan misil bailistik berhulu ledak nuklir.
Sejak dipesan dan diproduksi hingga masa pengoperasiannya, K-19 telah menelam
banyak korban sehingga diberi julukan 'Hiroshima' oleh para pelaut dan petinggi
Angkatan Laut Uni Soviet.
Sebenarnya para awak dan kapal K-19, masih jauh
dari siap untuk diterjunkan dalam sebuah pertempuran. Meski demikian, kapal
selam (perang) ini tetap merupakan bagian penting dari Angkatan Laut Uni Soviet
dan memiliki kapasitas melancarkan serangan nuklir seandainya Perang Dunia
ke-III antara Blok Barat dan Timur pecah.
Tepat pada tanggal 4 Juli 1961, dipimpin oleh
Kapten Tingkat Satu, Nikolai Vladimirovich Zateyev, K-19 melakukan latihan di
Atlantik Utara dimana pada saat itu terjadi kebocoran pada bagian sistem
pendingin reaktor sehingga menyebabkan tekanan air terus turun ke titik nol dan
menyebabkan pompa pendingin tidak berfungsi. Pada saat bersamaan, masalah
lainnya yang terjadi secara bersamaan, ketika sistem radio jarak jauh kapal
selam tersebut sehingga tidak mampu melakukan komunikasi kepada Moskow. Suhu
temperator bergerak naik secara cepat hingga mendekati angka 800 derajat
celcius, atau sama dengan titik leleh batang bahan bakar. Reaksi berantai pun
terus berlangsung meskipun batang kendali telah ditambahkan. Reaktor pun terus
bertambah panas karena pendingin masih terus dibutuhkan selama proses
penghentian hingga reaksi menurun, meskipun Zateyev dan para kapten sebelumnya
telah mengajukan permohonan, tidak ada backup sistem pendingin yang dipasang
pada reaktor K-19. Zateyev khawatir ledakan nuklir yang terjadi akibat
kecelakaan ini akan diartikan sebagai serangan pendahuluan oleh Amerika Serikat
dan hal itu bisa berakibat pecahnya perang nuklir. Di sisi lain, sang kapten
juga sangat mempertimbangkan keselamatan kapal selam dan para awaknya.
Zateyev kemudian membuat keputusan yang sangat
berani, yaitu membentuk tim yang terdiri dari tujuh orang untuk bekerja di
daerah yang telah terkontaminasi radiasi tinggi.
Tim tersebut berusaha menambah sistem pendingin dengan memotong regulator aliran udara dan menyambungkan dengan pipa air. Celakanya, K-19 hanya menyediakan jaket kimia dan bukan jaket radiasi sehingga bisa dipastikan setiap anggota tim tujuh akan terkontaminasi. Melihat keadaan itu, Zateyev memutuskan agar K-19 bergerak ke selatan untuk menemukan kapal selam diesel Uni Soviet daripada meneruskan misi sesuai rute yang telah direncanakan.
Kapal perang Amerika Serikat yang kebetulan sedang
berada di dekat K-19 bisa menerima sinyal lemah, lalu menawarkan bantuan. Suatu
situasi yang langka di era perang dingin. Namun, Zateyev khawatir hal itu akan
berarti menyerahkan rahasia militer soviet ke pihak Barat, ia pun menolak
tawaran tersebut, ketegangan berakhir ketika kapal selam diesel S-270 bisa
menerima sinyal lemah dari K-19 dan akhirnya menjemput kapal naas tersebut.
Walaupun perang nuklir dapat dielakkan, namun para
awak kapal selam K-19 harus membayar mahal akibat radiasi nuklir. Semua tim
tujuh meninggal seminggu setelah naik darat, dan duapuluh lainnya mati beberapa
tahun kemudian, yang tersisa terus merana dengan 'penyakit radiasi' namun
dokter menulisnya dengan 'sindrom asteno-vegetative', sebagai bagian dari
rahasia negara. Para awak kapal yang masih berjuang untuk hidup saat itu, tidak
pernah mendapatkan pekerjaan yang layak, bahkan di antara mereka, hanya sekadar
bertahan hidup pada akhir-akhir hayatnya mengalami kesusahan. Padahal, mereka
telah melakukan hal besar bagi peradaban umat manusia, namun mereka tidak
dikenal sebagai orang-orang besar, apalagi sebagai pahlawan kemanusiaan.
Karena itu, menjadi orang besar adalah pilihan
hidup setiap orang. Betapa banyak jalan untuk berbakti, berjasa, dan bermanfaat
bagi orang lain yang hakikatnya dapat membuat hidup seseorang menjadi besar.
Namun, orang yang paling besar, cerdas, dan jenius
di mata Allah adalah mereka yang rela mengorbankan apa saja, demi untuk
mengumpulkan bekal setelah ia wafat. Mereka adalah golongan visioner, pandangan
jauh menembus batas kehidupan, karena itu, dunia baginya adalah ladang menanam
kebaikan untuk dipetik di akhirat kelak.
Dalam sejarah peradaban Islam, kita kenal nama
Salahuddin Al-Ayyubi yang memiliki kekuasaan begitu luas, dari Jazirah Arabia
hingga Afrika, namun, di balik itu, ia hidup penuh dengan kesederhanaan. Inilah
manusia yang memandang bahwa uang dan debu sama saja baginya.
Untuk konteks keindonesiaan, semua orang mampu
menjadi orang besar. Murid yang rajin belajar, patuh pada guru, anak yang
berbakti pada orang tua, dan guru mengajarkan muridnya kebaikan, ilmu, agama
dengan ikhlas akan menjadi orang besar.
Para dai dan ustad mengajak umat untuk berbuat
baik, menjalankan syariat dengan benar, adalah orang-orang besar. Begitu pula,
para ulama yang menghabiskan waktunya untuk mencetak generasi ulama, atau
menyediakan ulama yang pemimipin, adalah kerja-kerja besar. Atau, para ulama yang
mengajak umat untuk bersatu melawan musuh negara dan agama: menggelapkan uang
negara atau menghina Kitab Suci umat Islam adalah bagian dari megaproyek
keumatan, dan jihad fi sabilillah.
Jadilah orang besar dengan melawan kebatilan,
karena itu adalah jalan untuk menyelamatkan pelakunya dari azab Allah menuju
ridha dan surga-Nya, maka Anda lebih hebat dari Kapten dan kru K-19. Wallahu
A'lam!
Ilham Kadir, Komisioner Baznas Enrekang, Koran Tribun Timur, 4/11/2016.
Comments