Membedah Zakat Profesi

Literatur
(nash) dalam Al-Qur’an ketika menyinggung masalah zakat hakikatnya belum
terinci menjadi zakat fitrah ataupun zakat harta, walaupun jika ditelusuri
lebih mendalam, perintah-perintah zakat yang disertai dengan ancaman (tarhib)
erat kaitannya dengan zakat harta, seperti mereka yang menumpuk-numpuk emas
[uang], perak, dan tidak dikeluarkan zakatnya akan diazab berupa disetrika dahi,
perut, dan punggungnya, (QS. Al-Taubah: 24-25), sedangkan zakat fitrah sama
sekali tidak ditemukan ancamannya dalam Al-Qur’an kecuali hadits Nabi yang
menegaskan bahwa tujuan zakat fitrah adalah sebagai penyuci dari perbuatan dan
perkataan sia-sia dari orang yang berpuasa sekaligus menjadi makanan bagi
golongan miskin, berdasarkan hadits yang bersumber dari Ibnu Abbas lalu
dinarasikan oleh Abu Dawud. Karena itulah, dalam penelusuran penulis menemukan
bahwa pembahasan tentang zakat fitrah oleh para ulama hanyalah sebagian kecil
dari masalah zakat yang sangat luas.
Ini
berbeda dengan zakat harta yang terus-menerus mengalami perkembangan, sebut
saja zakat profesi yang kini sedang hangat dibahas di berbagai kalangan mulai
dari golongan awam, sufaha, hingga para ulama. Adalah Syekh Yusuf Al-Qardhawi
sebagai pencetus dan peledak zakat profesi melalui disertasinya, “Fiqh
Al-Zakah”, dari sinilah pembahasan tentang zakat profesi terus bergulir dan
menuai sanjungan dan kritikan, ada yang setuju dan ada pula yang membantah
sesuai dengan argumentasi masing-masing pihak.
Jika
merujuk pada Departemen Agama Sulawesi Selatan (t.th) pengertian zakat profesi
adalah zakat yang dikernakan kepada tiap usaha (kasab) pekerjaan atau
keahlian (profesi) tertentu yang dilakukan secara sendiri ataupun bersama-sama
yang dapat memberikan hasil atau keuntungan.
Ada
pun jenis pekerjaan sebuah profesi yang dapat menghasilkan dan memperoleh
keuntungan dapat diklasifikasikan menjadi dua begian, yang pertama adalah
pekerjaaan yang dilakukan mengikut keahlian, seperti penghasilan seorang dokter,
konsultan, insinyur, pengacara, dosen, guru, artis, dan sebagainya. Yang kedua
adalah mereka yang memberikan jasa untuk orang lain, baik untuk lembaga
pemerintah, perusahaan maupun perdagangan dengan mendapat gaji, upah,
honorarium, dan lain-lain.
Sejujurnya,
pengenaan zakat atas penghasilan dari kegiatan sebuah profesi berupa gaji,
upah, honorarium seorang guru, dokter, pegawai, legislator, dan sebagainya
merupakan pengembangan hukum dari kepemilikan harta kekayaan. Hasil yang
diperoleh beragam profesi tersebut memiliki potensi yang sangat besar dan terbukti bahwa mereka banyak masuk dalam
kategori golongan menengah dan kaya.
Pada
dasarnya untuk mengeluarkan zakat harta harus memenuhi lima syarat: beragama
Islam; merdeka dan buka hamba sahaya; kepemilikian yang sempurna terhadap
harta; mencapai batas minimum harta yang wajib dizakati (nisab); dan
telah mencapai satu tahun mengikut Hijriah (haul). Terkait dengan zakat
profesi, problemnya terdapat pada poin keempat dan kelima, yaitu belum mencapai
nisab dan haul. Di sinilah letak titik krusial yang terus menerus
diperdebatkan.
Jika
merujuk pada pendapat Abu Bakar Jabir Al-Jazairi dalam kitab “Minhajul
Muslim”, maka nisab terendah dalam berzakat adalah 20 dinar atau setara
dengan 85gram emas, (Abu Bakar Jabir Al-Jazairi, Minhajul Muslim,
Jakarta: Darul Haq, 2006, hlm. 355). Jika diuangkan dengan harga emas saat ini
Rp. 500.000 per gram, maka batas minimal uang yang harus dikeluarkan zakatnya
adalah Rp. 42.500.000, (empat puluh dua juta lima ratus ribu) dengan
syarat harus mengendap selama setahun penuh jika merujuk pada pemahaman
tekstual perintah zakat. Kecuali hasil pertanian, terutama biji-bijian yang
dapat bertahan lama, seperti padi, jagung, kopi, kakao, cengkeh, dan
semisalnya, maka hitungan nisab-nya adalah 650 kg, dan dikeluarkan setiap kali
panen.
Lalu
bagaimana dengan zakat profesi? Penghitungan zakat profesi sebagaimana
diaplikasikan oleh Departemen Agama Sulawesi Selatan dan Kementiran Agama RI
adalah tetap mengacu pada hitungan emas yang mencapai nisab hanya saja
pembayarannya dilakukan secara bertahap tiap bulannya. Jika seorang pegawai
mendapatkan gaji sebanyak Rp. 3.600.000 perbulan, kemudian ditotalkan selama
setahun gajinya berjumlah Rp. 43.200.000 (empat puluh tiga juta duaratus
ribu), maka yang bersangkutan sudah dikenakan zakat profesi, dapat dibayar
sekali setahun dengan jumlah 2,5 persen dari total gajinya, atau dibayar secara
bertahap setiap menerima gaji.
Seperti
ditegaskan sebelumnya bahwa zakat profesi adalah ijtihad kontemporer yang belum
pernah berlaku pada zaman nabi hingga era modern ini kecuali setelah terbitnya
disertasi Yusuf Al-Qardhawi, lalu dipasarkan oleh berbagai kalangan, terutama
para ulama dan intelektual yang menilai bahwa zakat profesi memiliki
kemaslahatan yang sangat besar. Pengenaan zakat profesi dapat ditropong dari
dua sisi, pertama adalah penegakan keadilan ekonomi, dan kedua meringankan
beban para pembayar zakat (muzakki). Jika merujuk pada pemerataan dan
keadilan dalam ekonomi, ini dapat dilihat dalam Al-Qur’an, Supaya harta itu jangan beredar di
antara orang-orang Kaya saja di antara kamu, (QS. Al-Hasyr: 7). Jika berfungsi untuk meringankan muzakki, maka
ini pun punya dalil, Hai orang-orang beriman, keluarkanlah hartamu yang
baik-baik di jalan Allah (zakat) yang merupakan hasil usaha kamu (QS.
Al-Baqarah: 267).
Ada pun mereka yang gaji dan penghasilannya belum mencapai nisab,
lalu dipotong oleh lembaga zakat seperti Baznas dengan nominal tertentu
berdasarkan regulasi yang dikeluarkan oleh DPRD yang disebut Perda atau yang
dikeluarkan oleh pemerintah daerah berupa Perbub, maka dana tersebut masuk
dalam kategori infak. Lalu apakah infak boleh ditarik secara paksa padahal itu
adalah sunnah? Tentu saja boleh, dan kepala daerah berhak menarik infak dari
rakyatnya secara sukarela ataupun terpaksa jika melihat dalam kebijakan
tersebut terdapat kemaslahatan yang besar, baik sebagai pemerataan ekonomi dari
golongan pegawai yang berpendapatan tetap kepada golongan fakir dan miskin atau
para penuntut ilmu agama yang butuh bantuan demi kelangsungan hidup dan
pendidikan mereka yang hakikatnya menjadi kewajiban setiap muslim untuk
membantu saudaranya yang butuh.
Pendapat bahwa infak boleh dikuatkan oleh regulasi juga didukung
oleh sahabat senior, Umar bin Al-Khattab yang menegaskan bahwa jika diberikan
wewenang sebagai penguasa maka ia akan menarik harta orang-orang kaya secara
terpaksa atau rela lalu dibagikan pada golongan muhajirin yang miskin. Pendapat
ini diamini oleh sahabat lainnya, Ali bin Abi Thalib, katanya, Sesungguhnya
Allah mewajibkan bagi orang kaya untuk menginfakkan hartanya kepada fakir
misikin sekadar menutup kebutuhkan mereka. Dan, kalau ternyata mereka
diterlantarkan, tidak makan dan berpakaian, lalu meminta namun diabaikan oleh
golongan kaya, maka kelak Allah berhak menghisab lalu mengazab mereka di hari
kemudian. Bahkan, Abdullah Putra Umar Al-Khattab menegaskan, Dalam setiap harta
yang kita miliki para pemimpin punya hak selain dari zakat, pendapat terakhir
ini didukung oleh 300 sahabat Nabi, (Sayyid Sabiq, Fiqh al-Sunnah, Juz-I,
Beirut, 2007, hlm. 252-253).
Karena itu, regulasi nasional berupa Undang-undang No. 23 tahun
2013 tentang pengelolaan zakat, infaq, dan shadaqah, lalu setiap daerah satu
demi satu mengeluarkan peraturan dalam bentuk Perda, Pergub, hingga Perbub.
Maka, sebagai umat Islam yang memahami bahwa zakat adalah salah satu pilar
agama, seharusnya ikut mendukung dan mensosialisasikan pada segenap lapisan
masyarakat.
Bahkan, Kementrian Agama telah menerapkan zakat profesi terhadap
segenap pegawainya sejak keluarnya Undang-undang No. 13 tahun 1999. Mereka dipotong
gajinya sebesar 2,5 persen, baik yang sampai nisab maupun tidak.
Demikian pula beberapa daerah telah melakukan pemotongan serupa sejak lima
tahun silang, seperti Solok di Sumatera Barat, Barru di Sulsel. Menyusul
Makassar dan Enrekang sejak dua bulan lalu, dan Tator yang minoritas muslim pun
akan ikut menerapkan zakat profesi untuk segenap pegawai yang muslim.
Khusus yang berlum masuk nisab dan masuk kategori infaq-shadaqah,
pahalanya pun tidak kalah besar dengan zakat, sehingga andai saja orang yang sakratul-maut
dapat ditangguhkan ajalnya walau beberapa saat saja, maka permintaan
terakhirnya adalah diberi kemampuan untuk berinfak dan bershadaqah (QS.
Al-Munafiqun: 11). Demikian pula, Nabi, yang tidak biasa bersumpah kecuali
perkara yang benar-benar luar biasa, dan salah satu sumpahnya adalah, ma
naqashat maal min shadaqah, harta tidak akan pernah berkurang dengan
bershadaqah, demikian dirawikan Al-Tirmidzi. Dan, hingga detik ini belum ada
kisah dan kenyataan yang menunjukkan bahwa orang melarat karena ikhlas berinfaq
dan bershadaqah karena Allah. Wallahu A’lam!
Enrekang, 11 Agustus 2016. dimuat Tribun Timur, Jumat 12 Agustus 2016.
Comments