Meneguhkan Ahlussunnah Bersama Wahdah Islamiyah
Kata
assunnah secara etimologi bermakna, jalan atau tuntunan, baik yang
terpuji maupun tercela, (Ibn Mandzur, Lisān
al-‘Arab, Jilid XIIV, Beirut, 1992). Sedangkan
ahlussunnah adalah mereka yang berada pada
jalur dan jalan yang terpuji dan benar dalam agama Islam.
Ada
pun kata aljamaah dari kalimat Ahlussunah Waljamaah adalah jamaah kaum muslimin
yang mengikuti Rasulullah dan para Sahabatnya. Dari sudut bahasa aljamaah merupakan
pecahan (musytarak) dari kata al-ijtima’ atau lawan dari kata al-firqah
atau berpecah. Aljamaah juga dapat bermakna al-jam’ yang
merupakan istilah yang digunakan dalam menunjukkan kumpulan manusia yang
bersepakat dalam satu masalah, dapat pula berarti bersepakat dalam menetapkan
sebuah urusan, (M. Arief Halim,
Aliran-Aliran Ilmu Kalam dan Kontemporer: Sejarah Pemikiran Perkembangan,
Makassar, 2008).
Syekh
Muhammad Al-Utsaimin dalam mendefinisikan Ahlusunnah Waljamaah sebagai golongan
disandarkan kepada assunnah karena mereka berpegang teguh kepada sunnah dan
disandarkan juga pada aljamaah karena mereka sepakat kepada sunnah
tersebut. Karena mereka sepakat untuk
berpegang teguh pada sunnah maka paham ini tetap utuh hingga sekarang.
Sekalipun disadari bahwa Ahlussunnah sepakat dalam memegang sunnah, namun dalam
memahaminya boleh berbeda pendapat akan tetapi mereka tidak sampai saling
mengkafirkan antara satu dengan lainnya, sehingga tidak ada di antara mereka
yang menyatakan diri keluar dari Ahlussunnah. Mereka berbeda pendapat dalam
masalah cabang (furu’), bukan pokok (ushul). Menurut Al-Utsaimin
inilah yang membedakan dengan para aliran Ahl al-Bid’ah yang selalu berada
dalam perpecahan. Seperti Jahmiyah, Mu’tazilah, Syiah, Ahl Tha’thil (yang
meniadakan sifat Tuhan), dll., (Syekh Muhammad
Al-Utsaimin, Syarah ‘Aqīdah
Wasatiyyah, Jakarta, 2007).
Imam
Assafarini al-Hanbali mengakomodir beberapa aliran yang masuk dalam
kategori Ahlusunnah Waljamaah, adalah, tsalats firaq, al-atsariyah: imāmuhum Ahmad
bin Hanbal, wa al-‘asy’ariyah imāmuhum Abu Musā al-Asy’arī, wa al-Māturidiyah
imāmuhum Abū Manshūr al-Mātūridiyah. Ahlussunnah Waljamaah terdiri dari
tiga golongan yaitu: Atsariyah, imamnya adalah Ahmad bin Hanbal; Asy’ariyah,
imamnya adalah Abu Musa al-Asy’ari; dan al-Maturidiyah, imamnya adalah Abu
Manshur al-Maturidiyah, (Syekh Fu’ad
Kazim Al-Miqdadi, ‘Ārā wa Fatāwā Ūlamā al-Muslimīn, Bagdad, 1427 H).
Sejarah
penamaan Ahlussunnah telah muncul pada abad pertama setelah maraknya fitnah dan
banyknya pelaku bid’ah. Ibnu Sirrin (w. 110 H) menegaskan bahwa pada awalnya kami tidak pernah bertanya
tentang sanad ketika mendengar hadits, namun setelah menuculnya fitnah maka
mereka pun berkata, sebutlah orang-orang yang merawikan hadits kalian dan
mereka melihat jika ia dari golongan Ahl al-Sunnah maka haditsnya diterima
namun jika berassal dari ahli bid’ah maka haditsnya ditolak. Dari sini
menunjukkan bahwa fitnah yang terjadi pada era Usman bin Affan adalah awal mula
munculnya pembeda antar Ahlssunnah dengan golongan sempalan lainnya.
Syekh
Muhammad As’ad Al-Bugisi (1907-1953) dengan serius menulis pokok-pokok ajaran Ahlusunnah
Waljamaah, antara karyanya yang secara
spesifik membahas teman ini adalah, Mā lā Yasa’ al-Muslim Jahlahu min
Mujmal’Aqā’id Ahl al-Sunnah wa al-Jamā’ah, antara poin penting dalam
tulisannya adalah, Inilah kitab yang menjelaskan bahwa tidak dibenarkan
seorang muslim untuk tidak mengetahui akidah Ahl al-Sunnah wa al-Jamā’ah,
(Al-Hajj Muhammad As’ad Al-Bugisi, Mā
lā Yasa’ al-Muslim Jahlahu min Mujmal’Aqā’id
Ahl al-Sunnah wa al-Jamā’ah, Sengkang, 1355).
Dalam
buku karangannya yang lain, dalam mengambil jalan tengah ketika melihat
perbedaan pendapat dan pandangan antar sesama ulama di Sulawesi Selatan pada
awal abad ke-20, Al-Bugisi berusaha menarik mereka agar memiliki satu
kesepahaman dan kesepakatan tentang konsep Ahlusunnah Waljamaah, ini terlihat
dalam pernyataannya, Ketika saya melihat keadaan seperti itu, seolah-olah
semakin bertambah perbedaan penddapat di antara sebagian saudara kita yang
mulia, para ulama yang menjunjung tinggi kemuliaan Ahlusunnah Waljamaah di
Celebes dan saya merenung dan berpikir upaya apa yang saya lakukan agar dapat
menyelesaikan perbedaan pendapat di antara kita. (Al-Hajj Muhammad As’ad Al-Bugisi, Mā
lā Yasa’ al-Muslim Jahlahu min Mujmal’Aqā’id
Ahl al-Sunnah wa al-Jamā’ah, Sengkang, 1355 H ).
Tidak ketinggalan pula Anregurutta Abdurrahman Ambo
Dalle (1900-1996) dalam mempertahankan eksistensi Ahlussunnah
Waljamaah, selain mendirikan pondok pesantren dan organisasi massa Islam Darud
Dakwah Wal Irsyad, beliau juga menulis karya penting antara lain, Maziyah
Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah dan Risalah al-Bahiyyah fi ‘Aqidah
al-Islamiyah. Selain itu, ada pula Gurutta Muhammad Yunus Martan (1914-1986) menulis buku Al-Firaq
al-Islamiyah, dan Kitab
al-Aqaid, semua itu mereka lakukan untuk mempertahankan dan
meneguhkan eksistensi ajaran Ahlussunnah Waljamaah.
Dalam
ranah ibadah atau fikih Ahlusunnah Waljamaah umumnya merujuk pada empat imam
mazhab besar yang merupakan mujtahid mutlak dalam sejarah Islam mereka adalah
Imam Abu Hanifah, Imam Malik bin Anas, Imam Muhammad bin Idris Al-Syafi’I, dan
Imam Ahmad bin Hanbal. Kendati demikian, dalam realitasnya di Asia Tenggara
ini, para pengikut ajaran Ahl al-Sunnah wa al-Jamā’ah lebih banyak
merujuk dalam masalah ibadah kepada pendapat Imam Syafi’I walaupun tidak
mengabaikan pendapat ketiga imam mazhab lainnya. Mungkin dari sinilah pemahaman
sebagian orang Indonesia yang keliru karena menykini bahwa selain penganut
mazhab syafi’I bukan dari kalangan Ahl al-Sunnah wa al-Jamā’ah, (Muhammad Yusuf Musa, Al-Madkhal li al-Dirāsah al-Fiqh al-Islamī,
t.tp.,t.th).
Imam
Abu Hanifah (80-150 H) dalam menggunakan sumber hukum merujuk pada kitabullah,
sunnah Rasulullah, atsar yang shahih, fatwa para sahabat Nabi, serta ihtihsān
(memilih yang terbaik). Ada pun Imam Malik (93-179 H) dalam menggunakan sumber
hukum ia merujuk pada kitabullah, sunnah Rasulullah yang dinilainya shahih,
ijmak ulama Madinah atau biasa juga disebuh tatacara beribadah penduduk Madinah
(‘amal ahlul Madinah), dan al-maslahah al-murasalah atau merujuk pada kepentingan umum. Sedangkan
Imam Syafi’I (150-204 H) dalam menggunakan sumber hukum merujuk pada
kitabullah, sunnah Rasulullah, ijmak, qiyas, dan isthsab atau keadaan yang
berlaku. Imam Ahmad bin Hanbal (164-241 H) sebagai imam yang termudah di antara
mereka, dalam mengeluarkan produk hukum merujuk pada kitabullah, hadits marfu’,
fatwa para sahabat Nabi, hadits mursal, bahkan hadits dha’if jika tidak ada
yang menolak namun tidak terlalu lemah, dan terakhir adalah qiyas yang
digunakan dalam keadaan terpaksa.
Sulawesi
Selatan patut berbangga karena setidaknya telah melahirkan dua ormas besar DDI
dan Wahdah Islamiyah yang keduanya menjadi mesin pencetak dan pembela ajaran
Ahlussunnah Waljamaah. Khusus untuk Wahdah Islamiyah yang saat ini (17-20 Juli
2016) sedang menyelenggarakan Muktamar ke-III di Jakarta, bahkan telah memiliki
126 cabang yang tersebar di seluruh
Indonesia.
Dengan mengusung tema “Mewujudkan Indonesia Damai dan
Berperadaban dengan Islam yang Wasathiyah”, diharapkan Wahdah Islamiyah menjadi bangian penting dalam menegakkan peradaban
Islam di Indonesia dengan mengedepankan Islam moderat berhaluan Ahlussunnah
Waljamaah. Selamat bermuktamar untuk Wahdah Islamiyah!
Oleh:
Ilham Kadir. Komisioner Baznas Enrekang, Peneliti MIUMI.
Comments