Sejarah Pengelolaan Zakat di Indonesia

Zakat yang dalam al-Qur’an digandengkan dengan salat lebih dari
delapan puluh kali itu menjadi penerang bahwa umat Islam tidak boleh hanya mendekatkan
diri kepada Allah (hablun minallah) tapi enggan memperhatikan kondisi
ekonomi masyarakat di mana ia berada (hablun minan nas). Dengan adanya
perintah zakat itu berarti kita harus punya banyak harta agar bisa dizakatkan (muzakki)
kepada mereka yang membutuhkan (mustahiq).
Masalahnya, zakat dalam Islam memiliki syarat dan ketentuan yang
berlaku. Bahkan jika merujuk pada al-Qur’an Surah [9]:103, “Ambilah zakat
dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan
mereka dan doakanlah mereka”. Jika merujuk pada ayat ini, maka zakat tidak
hanya ibadah sukarela melainkan sukarela dan paksaan berdasarkan kata perintah
“khudz” yang berarti ambillah! Karena itu, yang berhak melakukan
pemungutan zakat secara sukarela atau paksaan adalah hanya pemerintah, maka
lembaga zakat harus di bawah naungan pemerintah.
Sangat tepat, di era reformasi ini, salah satu undang-undang yang
dihasilkan DPR RI adalah tata cara pengelolaan zakat yaitu, UUD RI Nomor 23
Tahun 2011. Pada pasal 5 ayat 1 dan 3 berbunyi, Untuk melaksanakan pengelolaan
zakat, Pemerintah membentuk Badan Amil Zakat Nasional (BAZNAS) yang merupakan
lembaga pemerintah nonstruktural yang bersifat mandiri dan bertanggungjawab
kepada presiden melalui menteri.
Pengelolaan Zakat di Indonesia
Dalam memperlakukan umat Islam, pemerintahan Hindia Belanda sangat dikenal
dengan kebijakan poltik etisnya. Menurut Taufik Abdullah (1983), kebijakan ini
dipengaruhi oleh C. Snouckhurgronje sebagai penasehat resmi pemerintah dalam urusan
yang berkaitan dengan umat Islam. Bapak orientalis itu memberikan suatu pedoman
umum yang menyebutkan bahwa Islam pada dasarnya terbagi atas tiga wilayah,
yaitu: keagamaan murni atau taat ibadah; kemasyarakatan; dan kenegaraan. Terhadap yang pertama, pemerintah,
menurutnya, harus berlepas tangan atau tidak mencampurinya. Sedangkan terhadap
yang kedua, jika memungkinkan, pemerintah hendaknya memberikan bantuannya,
misalnya, dalam masalah haji. Namun terhadap yang ketiga, pemerintah harus bersikap
keras menolak tanpa kompromi.
Terhadap urusan zakat yang notabene merupakan urusan keagamaan
murni, pemerintah Belanda tercatat pernah
mengeluarkan beberapa kebijakan. Kebijakan-kebijakan tersebut sangat tampak memperlemah
pelaksanaan ibadah zakat dalam masyarakat. Menurut Prof. Ali Yafie (1997),
pemerintah Belanda memang menghendaki agar potensi zakat terabaikan sehingga rakyat
Indonesia yang mayoritas muslim tetap lemah kondisi ekonominya sekaligus tetap rendah
tingkat kesejahteraannya. Tampaknya, kebijakan ini dipengaruhi oleh kenyataan bahwa
sebagian dana zakat dipergunakan oleh umat Islam untuk membiayai peperangan melawan
Belanda.
Sebelum masa penjajahan Belanda, pengelolaan zakat di Nusantara masih
menggunakan pola-pola tradisional. Abdullah (1991) mencatat bahwa pola ini dicirikan
oleh hubungan langsung antara pihak muzakki dan mustahik yang sepenuhnya bisifat
lokal. Dalam pelaksanaannya di lapangan, pola tradisional tersebut dapat dibedakan
menjadi dua bentuk. Pertama, muzakki (yang berzakat) kimenyerahkan langsung zakatnya
kepada mustahik (penerima zakat) yang di tentukannya sendiri. Para mustahik tersebut
umumnya adalah guru agama, ulama, atau anak yatim yang berada di sekitar tempat
tinggal muzakki. Penyerahan zakat untuk keperluan produktif atau kawasan lain,
kalau pun ada, sangat jarang terjadi. Kedua, dianggap sebagai metode baru dari pola
tradisional di mana muzakki membagi-bagikan semacam kupon kepada para mustahik,
lalu mencairkan kupon tersebut di tempat muzakki. Metode seperti ini boleh jadi sengaja dilakukan
oleh sebagian orang kaya untuk tujuan memperoleh popularitas di tengah-tengah masyarakat.
Tetapi kehadiran Belanda yang kemudian membentuk jaringan birokrasi
pemerintahan dari pusat hingga ke daerah-daerah, melahirkan pola baru dalam pengelolaan
zakat, yaitu penyerahan zakat kepada para petugas keagamaan formal yang
diangkat oleh pemerintah, seperti penghulu dan naib. Selain itu, banyak pula
aparat pemerintahan, mulai dari bupati hingga kepala desa yang turut terlibat dalam
pengumpulan dana zakat umat Islam.
Dalam hal penyaluran dana zakat, praktik yang berjalan dinilai oleh sebagian ahli hukum
Islam tidak sepenuhnya sesuai dengana aturan yang digariskan oleh hukum Islam.
Misalnya, zakat dianggap sebagai gaji pegawai masjid. Para pegawai ini menganggap
bahwa hak atas zakat disebabkan oleh dua hal, pertama pengumpulan zakat dapat berjalan
berkat kerja keras mereka, dan kedua karena segenap waktu dan tenaga mereka senantiasa
dicurahkan untuk pengabdian kepada tuhan.
Di beberapa daerah lain, para pegawai, seperti bupati, wedana, dan kepala
desa juga turut mengumpulkan zakat dan menerima sebagian hasil zakat mal dan
zakat fitrah. Di Banten, penyaluran zakat fitrah sebagian besarnya di berikan kepada
para kiyai atau guru mengaji. Sedangkan di Jawa Timur, seperti terdapat pola-pola khusus pembagian
zakat, yakni zakat harta berada di bawah kekuasaan kiyai dan ulama, sementara
zakat fitrah diserahkan kepada para petugas agama di desa seperti khatib, petugas
adzan (mu’adzin), dan imam masjid.
Pada perkembangan selanjutnya, fenomena keterlibatan aparat pemerintah
dalam pengumpulan zakat sepertinya kurang disenangi oleh pemerintah Belanda. Mohammad Daud Ali (1998) menyatakan bahwa disebabka
noleh fenomena tersebut, pemerintah Belanda mengeluarkan kebijakannya yang
pertama mengenai zakat yang isinya melarang para petugas keagamaan, seperti penghulu,
naib dan yang lainnyauntuk turut campur dalam pengumpulan zakat dengan alasan untuk
menghindari penyelewengan dana zakat. Kebijakan tersebut sangat disayangkan pihak
pemerintahan karena dianggap memusnahkan sebagian pendapatan mereka, sementara pekerjaan
mereka sebagai pelaksana administrasi pemerintah Belanda tidak memperoleh gaji atau
tunjangan apapun dari pemerintah.
Implikasi dari kebijakan ini ternyata menimbulkan perubahan sosial,
khususnya dalam hal menunaikan zakat. Masyarakat tidak lagi menyerahkan zakatnya
kepada penghulu atau naib, melainkan kepada ahli agama yang dihormati seperti kiyai
atau guru agama dengan harapan mendapat syafaat dan barakah. Di sisi lain,
kebijakan ini berpengaruh pada keengganan sebagian umat Islam di beberapa tempat
untuk mengeluarkan zakatnya.
Pada tanggal 28 Februari
1905 pemerintah kembali mengeluarkan kebijakan tentang zakat berupa Bijblaad
6200 yang secara khusus melarang petugas pribumi untuk mengintervensi pengelolaan
zakat. Herususetyo (2008) menulis bahwa kebijakan
pemerintah Hindia Belanda disinyalir untuk membatasi dan membedakan antara urusan
Negara dengan urusan masyarakat muslim dalam bidang keaagamaan. Implikasinya sangat
memprihatinkan. Potensi penggalangan zakat umat Islam semakin lemah dan penglolaan
zakat sepenuhnya kembali bersifat tradisional dalam pengertian tidak melibatkan
amil zakat. Dan, tentu saja umat Islam semakin tidak bisa mandiri.
Setalah Belanda Angkat kaki karena Jepang masuk, masalah tata
kelola zakat tetap tidak maksimal dan hanya dengan pola-pola tradisional. Hal
ini berlangsung hingga Indonesia merdeka. Di zaman Sukarno dengan Orde Lama dan
Suharto dengan Orde Baru tetap saja umat Islam belum memiliki tata kelolah
zakat yang mumpuni.
Dengan adanya undang-undang zakat nomor 23 tahun 2011 yang
menjadikan Baznas sebagai lembaga negara nonstruktural, semestinya bangsa
Indonesia yang mayoritas umat Islam dapat menunaikan zakatnya secara aman dan
lebih efisien. Dengan potensi zakat mencapai 217,7 triliun jika merujuk pada
penelitian Irfan Syauki Biek (2013), maka bangsa Indonesia dapat mengurangi
pengangguran dan kemiskinan dengan optimalisasi dana zakat.
Untuk daerah setingkat kabupaten, seperti Enrekang saja, dana zakat
profesi yang dipotong dari gaji para pegawai negeri atau para pegawai daerah
lainnya mencapai 13 miliar/bulan, ini belum termasuk zakat proyek pembangunan,
atau zakat-zakat lainnya seperti pertanian, peternakan, dan tambang. Jika ini
dapat terealisasi dengan baik, ditopang dengan pengelolaan zakat yang amanah,
transparan, dan akuntabel, maka sangat mungkin Baznas menjadi motor penggerak
pembangunan daerah. Wallahu A’lam!
Dimuat Tribun Timur, 7 April 2016.
Oleh: Ilham Kadir, Komisioner BAZNAS Enrekang/Pengrus KPPSI Pusat.
Comments