Melecehkan Pancasila
Oleh: Ilham Kadir, Komisioner BAZNAS Enrekang dan Peneliti MIUMI Pusat
Artis Zaskia Gotik beberapa waktu
lalu, ketika sedang mengisi sebuah acara hiburan di sebuah televisi swasta
mendapat pertanyaan tentang gambar pada sila kelima Pancasila dan kapan
Proklamasi Republik Indonesia dinyatakan. Dengan nada santai dan semaunya
sendiri, artis tenar dengan goyangan itik itu menjawab, ‘bebek nungging’ dan ‘32 Agustus’.
Akibat ucapan yang tak terpuji
itu, Zaskia dan beberapa artis lainnya dipanggil ke kantor polisi Senayan
Jakarta, antara lain, Julia Perez, Ayu Ting Ting, dan aktor Raffi Achmad. Julia
Perez lalu meminta agar seluruh rakyat Indonesia memaafkan rekannya itu. Zaskia
sudah mendapat hukuman sosial, katanya. Lalu, sesederhanakah itukah persoalannya?
Relatif bersamaan, pentolan
Jaringan Islam Liberal (JIL), Lutfi Assyaukanie menulis reportase diskusi Pancasila
dalam twitter-nya yang tidak kalah melecehkan lambang negara, bahkan
menurut saya pelecehannya sangat substansial dan lebih parah dari ‘Si Goyang Itik’.
Jika sang artis hanya melecehkan simbol Pancasila dan waktu Proklamasi, maka
Assyaukanie lebih jauh mengutak-atik Pancasila dari segi filosofi yang amat
sangat substansial.
Pentolan paham sesat JIL itu
menulis bahwa Pancasila adalah: 1. Kebebasan beragama dan berkeyakinan; 2.
Kemanusiaan yang menghargai perbedaan; 3. Persatuan berkebudayaan; 4. Demokrasi
yang menjunjung tinggi hak individu; 5. Kebebasan ekonomi bagi seluruh rakyat
Indonesia.
Cukuplah
dua kasus di atas menjadi wajah buruk betapa rapuhnya paham kebangsaan dan
nasionalisme sebagian kalangan public figure di negara ini. Seakan tidak
sadar di mana kakinya berpijak dan bagaimana para founding father
bertungkus lumus memproklamasikan kemerdekaan negara lalu mati-matian
merumuskan lambang negara sebagai simbol yang harus dijadikan panduang dalam
bernegara.
Golongan
anti Pancasila tidak hanya mereka yang menolak Pancasila sebagai lambang negara
Republik Indonesia, tapi juga adalah mereka yang terus-menerus melecehkan Pancasila,
menjadikan lambang negara sebagai bahan olok-olok. Manusia-manusia seperti ini
tidak layak hidup di negeri yang menjadikan Pancasila sebagai lambang negara
dan hanya layak disebut ‘numpang kos’ atau ‘penumpang gelap’ dalam perahu
kebangsaan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Filasafat
Negara
Dalam
rapat Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) tanggal 18 Agustus tahun
1945, atau sehari setelah Proklamasi Kemerdekaan, Indonesia telah memiliki
konstitusi resmi bernama UUD 1945. Antara teks pembukaan itu berbunyi,
“Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu pemerintah negara Indonesia yang
melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan
untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut
melaksanakan ketertiban dunia yang berdasrkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan
keadilan sosial, maka disusunlah kemerdekaan kebangsaan Indonesia itu dalam
suatu Undang-Undang Dasar Negara Indonesia, yang terbentuk dalam suatu susunan
negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat dengan berdasar kepada:
Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan
Indonesia, dan kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam
permusyawaratan/perwakilan, serta dengan mewujudkan suatu keadilan sosial bagi
seluruh rakyat Indonesia”, (Adian Husaini, Mewujudkan Indonesia yang Adil
dan Beradab, Jakarta: INSISTS, 2015: 41).
Selaku
orang Islam maka saya menilai Pancasila berdasarkan pandangan alam Islam atau Islamic
worldview dan tidak mematok bahwa pandangan saya ini harus dirujuk pada
semua golongan dan agama yang ada di republik ini. Saya melihat bahwa kelima
sila yang tertuang dalam Pancasila sudah final sebagai lambang negara, bagi
umat Islam sama sekali tidak ada pertentangan. Misalnya, sila pertama:
Ketuahanan Yang Maha Esa. Sila ini sangat sesuai dengan pemahaman agama saya
yang mewajibkan memiliki Tuhan Yang Tunggal lagi Esa, kami menyebutnya kalimat
tauhid yaitu “La ilaha Illallah” yang dimaknai “La ma’bud illallah”
atau “Tiada sesembahan Kecuali Allah satu-satunya”.
Pentingnya
memahami lambang negara sebagai asas filosofi sebuah negara telah diungkapkan
dengan sistematis oleh dosen saya, Prof. Ahmad Tafsir. Menurutnya, sebuah
negara terbentuk jika memiliki tiga syarat: pertama, sekelomopok manusia
yang bersepakat untuk membentuk negara; kedua, tempat tinggal yang jelas
teritorialnya; dan ketiga, ada nilai-nilai luhur yang menjadi
kesepakatan dalam mengoperasikan negara. Yang terakhir ini disebut filsafat
negara, (Ahamd Tafsir, Filsafat Pendidikan Islami, Bandung: Rosdakarya,
2008: 152).
Setiap
negara memiliki filsafat, dan negara Indonesia memiliki filasafat negara yang
disebut Pancasila, dan telah disepakati
semua pihak bahwa Pancasila menjadi sumber rujukan dalam mengoperasikan
negara ini.
Nilai-nilai
yang terkandung dalam filsafat negara itu masih sangat umum dan abstrak, karena
itu harus dioperasionalkan dalam bentuk Undang-Undang Dasar (UUD), tapi UUD
saja belum cukup masih harus dijabarkan dalam bentuk Undang-Undang. Namun,
menurut Tafsir, UU juga masih sering dioperasionalkan dalam bentuk Peraturan
Pemerintah (PP), tapi, PP juga masih harus dioperasionalkan dalam bentuk Surat
Keputusan Menteri (SKM). Namun SKM pun masih dioperasionalkan dalam bentuk
petunjuk teknis (Juknis), (Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan Islami,
Bandung: Rosdakarya, 2013: 72).
Sila
pertama Pancasila “Ketuhanan Yang Maha Esa” adalah core atau ruh
sesungguhnya Pancasila. Karena ia adalah ruh, maka akan mewarnai dan
menghidupkan sila-sila selanjutnya yang ada dalam Pancasila. Jika sila kedua
dibahasakan, menurut Prof. Tafsir akan berbunyi, “Kemanusiaan yang adil dan
beradab berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”, begitupula sila-sila selanjutnya,
harus berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Dan sangat mudah untuk membuktikan
apa yang dianalisa oleh guru besar pendidikan Islam nomor wahid di Indonesia
itu. Lihat saja, letak gambar lambang sila pertama Pancasila berada persis di
tengah-tengah lambang keempat sila lainnya, termasuk lambang ‘padi dan kapas’
yang dilecehkan oleh Zaskia Gotik.
Selaku
bangsa Indonesia, semestinya kita harus berbangga memiliki Pancasila yang dapat
menjadi rujukan bersama dalam bernegara. Kita bersyukur karena para peletak
dasar negara Republik Indonesia adalah kalangan orang-orang yang berketuhanan
sehingga menutup celah bagi siapa pun yang anti agama, atau melecehkan agama,
seperti para atheis dan komunis.
Maka,
siapa pun yang berani melecehkan dan mengkerdilkan bahkan mengutak-atik lambang negara harus diberi hukuman agar
menjadi pelajaran bagi generasi pelanjut. Jika dahulu para pejuang, perumus
dasar negara bertungkus-lumus untuk menghasilkan Pancasila, maka menjadi
kewajiban bagi generasi sekarang untuk menghormati dan menghargai jasa mereka sebagai
wujud cinta terhadap tanah air Indonesia. Jika ingin merumuskan lambang negara
sendiri, maka carilah lahan untuk mendirikan negara sesuai kehendakmu. Wallahu
A’lam!
Comments