Teror LGBT
Tepat
pada hari Jumat, 26 Juni 2015, Amerika seriktat (AS) sebagai pelopor dan bapak
demokrasi dunia melegalkan pernikahan sejenis, laki-laki dengan laki-laki, dan
perempuan dengan perempuan. Selain AS, sudah lebih dari 20 negara yang
melegalkan perkawinan sesama jenis. Yang pertama adalah Belanda pada tahun
2001, lalu menyusul Kanada, Afrika Selatan, Belgia, Spanyol, Argentina,
Denmark, Islandia, Norwegia, Portugal, Swedia, dan yang terakhir Perancis.
Baru
Rusia, Uganda, dan Mecadonia yang menganggap Lesbian Gay, Biseks, dan
Transgender (LBGT) sebagai kriminal, sebanyak 78 negara, termasuk yang
berpenduduk Islam seperti Indonesia, Brunei, dan Malaysia tidak memiliki
undang-undang anti-LGBT. Maka, negara-negara tersebut dianggap mendukung mereka
sekaligus sebagai surga kampanye legalisasi LGBT, (Bachtiar Nasir ‘Masuk
Surga Sekeluarga’, Jakarta: AQL Pustaka, 2016, hlm. 368).
Diperkirkan
jumlah kaum homo dan lesbian dalam masyarakat sekitar satu persen hingga
sepuluh persen dari total jumlah populasi penduduk dunia. Tetapi, menurut
laporan kontroversi Kinsey Reports pada tahun 1984, menyebutkan bahwa
setidaknya tiga puluh tujuh persen dari total keseluruhan pria telah mengalamai pengalaman seks bersama pria
lainnya, dan empat hingga lima persen ‘kurang lebih secara eklusif’ homo
seksual, (Azhari & Kencana, ‘Membongkar Rahasia Jariangn Cinta Terlarang
Kaum Homoseksual’, Jakarta: Hujjah Press, 2008, hlm. 66).
Nyatanya,
di negeri ini, sejak awal tahun 2016 sudah diguncang dengan isu LGBT, bahkan
tidak kurang dari 20 lembaga swadaya masyarakat menjadi pion dan penyokong
gerakan biadab ini. Dengan vulgar di antara para pengasong LGBT ada yang
terang-terangan secara jujur mengakui bahwa mereka mendapat kucuran dana
ratusan muliar rupiah dari pihak asing
untuk mengampanyekan LGBT di negeri yang memiliki populasi umat Islam terbesar
di dunia ini.
Jika
masyarakat, wabil khusus para tokoh kultural dan pemimpin formal
bersikap toleran dengan merebaknya kampanye LGBT, maka sebuah bahaya besar akan
mengancam negeri ini, teror LGBT jauh lebih dahsyat dari prilaku terorisme dan
ledakan bom nuklir di Hiroshima dan
Nagasaki dalam perang dunia kedua. Tidak percaya? Mari kita buktikan!
Ketika
Nabi Musa diperintahkan oleh Allah untuk memberi peringatan kepada Fir’aun yang
berlaku durjana. Berfirman Allah, Musa, Katakanlah kepada Fir’aun, Maukah
engkau menjadi orang yang mengimani keesaan Allah? Aku—kata Musa—akan menunjukkan
engkau ke jalan Tuhanmu agar engkau takut pada-Nya (QS. an-Nazi’at[79]:17-19).
Musa, sebagai Nabi dan Rasul menunjukkah tanda mukjizatnya di depan Fir’aun,
akan tetapi Fir’aun tetap tidak percaya bahkan mendustakan kenabian dan menentang
Musa, lalu bergegas meninggalkannya. Malah, Fir’aun mengumpulkan kaumnya lalu
berseru, Akulah Tuhan kalian yang tertinggi. Dengan ucapannya itu, maka Fir’aun
kena azab dunia-akhirat. Di dunia ia disiksa dengan cara ditenggelamkan di Laut
Merah bersama para konco-konconya, dan di akhirat akan di bakar dalam api
neraka (QS. An-Nazi’at[79]:20-24).
Kita
beralih ke kisah Nabi Luth. Ketika para tamu masuk ke rumah Ibrahim, mereka
mengucapkan salam, dan Ibrahim pun menjawab, Salam sejahtera bagi orang yang
kami tidak kenal. Diam-diam Ibrahim lalu menemui istrinya, menyembelih sapi
gemuk untuk dihidangkan pada tamu-tamunya. Para tamu tidak ada yang makan,
Ibrahim ketakutan. Ternyata, tamunya adalah rombongan para malaikat yang akan
memberikan kabar gembira tentang kelahiran seorang putra [Ishaq] sekaligus
memberikan laporan bahwa ia akan berangkat mendatangi kaum Luth yang durhaka. Kami diutus—lapor para
malaikat—untuk melemparkan batu-batu dari tanah liat kepada mereka. Batu-batu
itu dari sisi Tuhanmu, sebagai alat untuk menghukum orang-orang yang durhaka
pada syariat Allah, (QS.
Az-Dzariat:[51]:25-34).
Mendengar
laporan para malaikat, Ibrahim pun kaget bukan main, Ibnu Katsir dalam Al-Bidayah
wa an-Nihayah, menggambarkan kekhawatiran Ibrahim dengan menekankan bahwa
Luth itu adalah ponakannya, kalau negerinya dihancurkan bagaimana nasib
ponakannya yang mengemban risalah sebagai nabi dan rasul itu. Tamu yang datang
akhir malam itu menjelaskan, Kami akan keluarkan lebih dahulu orang-orang
mukmin dari negeri Luth [sebelum Subuh] yang akan kami binasakan, hingga tidak
lagi mendapat adanya rumah dari orang muslim sebelum azab turun di waktu Subuh,
(QS. Az-Dzariat[51]: 36-37).
Kedua
kisah di atas menarasikan dua jenis kedurhakaan dan azab yang berbeda. Pertama,
Fir’aun dengan keangkuhannya menyatakan dirinya sebagai tuhan yang tinggi.
Dengan itu, Allah mengazab diri dan pengikutnya, lalu masalah dianggap selesai.
Kisah
selanjutnya adalah kedurhakaan kaum Nabi Luth yang berpilaku homo menyukai
sesama jenis, berdasarkan ayat ini, Mengapa kamu mendatangi jenis sesama lelaki
di antara kalian, dan kamu tinggalkan istri-istri yang dijadikan oleh Tuhan
untukmu, bahkan kamu adalah orang-orang yang melampaui batas, (QS.
As-Syu’ara[42]:165-166).
Ternyata,
hukuman bagi prilaku homo, bukan saja
menimpa pelakunya semata akan tetapi ruang untuk melakukan perbuatan terkutuk
itu pun diluluh-lantakkan. Negeri, para pelaku, pendukung, yang tak mau ambil
pusing, menyediakan ruang, dan seluruh perangkat serta instrument yang
melegalkan homo telah dibinasakan.
Demikian
adanya karena homo dan lesbian adalah prilaku menyimpang yang terus-menerus
menular dari satu person ke lain person yang pada tahap tertentu akan
memasyarakat dan tidak bisa diobati dengan cara apa pun kecuali melenyapkan
mereka, inilah yang terjadi pada kaum Nabi Luth. Tesis ini sekaligus menjadi
anititesa dari pendapat yang menyatakan bahwa prilaku lesbi dan homo tidak
menular.
Ini
berbeda dengan tipe kedurhakaan Fir’aun yang mengaku dirinya tuhan yang tinggi,
ana rabbukumul a’la’. Sebab dosa Fir’aun lebih kepada personal yang
tidak bisa ditularkan pada orang lain. Jangankan memberikan pengaruh kepada rakyatnya untuk
mengakui ketuhanannya, untuk menundukkan istrinya, Asiah saja tidak mampu. Demikian
pula para rakyat dan hulu balangnya, mereka mengikuti Fir’aun hanya karena
takut akan ancaman, mereka pun dihukum dengan cara ditenggelamkan bersama pengikutnya, sementara bumi Mesir serta
rakyatnya tetap selamat. Peristiwa Fir’aun sekaligus menjadi bukti bahwa para
pemimpin dan pendukung sebuah negara yang melakukan kezaliman akan mendapatkan
hukuman sesuai tingkat kezaliman dan jenis dosa yang mereka lakukan.
Kecuali
itu, jika merujuk pada peringatan Allah, Dan peliharalah dirimu dari bencana
yang tidak hanya ditimpakan kepada orang yang zalim saja di antara kalian, (QS.
Al-Anfal[8]:25). Maka, dosa yang dilakukan manusia, walaupun awalnya bersifat
pribadi namun bisa menghasilkan bencana kolektif, apalagi jika dosa tersebut
berpotensi menular lalu memasyarakat sebagaimana prilaku homoseks dan lesbian.
Hanya
satu jalan keselamatan dari teror LGBT, semua komponen masyarakat, dan
perangkat pemerintah harus berpadu melakukan penyadaran, dakwah, dan edukasi
tentang bahaya yang diakibatkan oleh para pendukung dan pelaku LGBT. Maka, kebijakan
Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) yang melarang segala bentuk adegan dan
kampanye LGBT harus didukung. Wallahu
A’lam!
Oleh: Ilham Kadir, Komisioner Baznas Enrekang; Peneliti MIUMI.
Comments