Korupsi, Terorisme, dan Narkoba
Para koruptor adalah
golongan kelas atas dan terdidik di negeri ini, sedangkan terorisme mayoritas
mereka berasal dari golongan taat beragama, bahkan sebahagian dari mereka
pernah belajar di pondok pesantren dan berguru pada ulama tertentu. Ada pun
pengedar dan pengguna narkoba, mereka tak mengenal hirarki sosial. Banyak dari
rakyat biasa seperti para buruh, pengangguran, pejabat, hingga artis dan penegak hukum.
Melihat fenomena (das sein) sedemikian rupa, maka wajarlah kita
bertanya, apa yang salah dengan penduduk negeri ini? Dari mana mengurai lalu
mencari penawarnya? Siapa yang bertanggungjawab? Dan berbagai pertanyaan yang
sulit ditemukan jawabannya, sebab ujung sebuah masalah menjadi pokok bagi
masalah lainnya.
Para pakar berusaha untuk memberikan kontribusi yang berarti pada
negara dengan bermacam-macam upaya. Pengamat politik menilai bahwa sistem
bernegara telah rusak hingga siapa pun yang masuk dalam arena politik di negeri
yang diperjuangkan para ulama ini akan masuk dalam kubang ‘najis’ politik.
Hanya dua cara untuk selamat dari bala’ politik, tidak masuk
berkubang atau keluar dari kubang.
Yang lain berpendapat bahwa, politik sebagai tangga untuk mencapai
kekuasaan lalu mempertahankannya adalah sisi lain yang tak kalah rumit. Sebab,
para politisi menilai bahwa mereka adalah golongan paling berkuasa dan paling
andil dalam memajukan bangsa dan negara. Sementara, rakyat menilai, politik dan
kekuasaan adalah dua sisi yang berbeda. Politik adalah alat kekuasaan, dan kekuasaan
adalah alat untuk meraih pamor dan harta dengan segala cara. Dan akhirnya,
korupsi pun terjadi, sebagaimana yang terus berlanjut di negeri ini.
Sedangkan terorisme yang selama ini diidentikkan dengan golongan
yang taat beragama adalah sebuah fenomena yang sesungguhnya tidak susah untuk
dimengerti. Pelaku teror yang dengan sadar melenyapkan nyawa manusia-manusia
yang belum tentu bersalah adalah bagian dari kerancuan dalam berilmu.
Ilmu jihad yang dimiliki para terorisme di Indonesia
disalahgunakan. Sebab jihad dengan makna qital, atau saling berperang
memiliki aturan main yang paten dalam Al-Qur’an dan hadis. Salah satu dari
aturan paten itu, tidak boleh merusak fasilitas umum termasuk menebang pohon
dan merusak tanaman. Jika pohon dan tanaman saja tidak boleh dirusak, bagaimana
dengan melenyapkan nyawa manusia.
Karena itu, pelaku terorisme adalah manusia-manusia yang memiliki
semangat jihad yang tinggi tetapi tidak diiringi dengan ilmu yang benar. Kesalahan
dalam berilmu akan melahirkan tindakan yang dapat merugikan diri, orang lain,
agama, bahkan negara. Itulah yang berlaku kepada para teroris.
Setali tiga uang dengan narkoba. Para penikmat dan pengedar barang
terkutuk ini adalah manusia-manusia yang tidak memikirkan masa depan. Baik
dalam skala duniawi maupun ukhrawi. Betapa tidak, sudah tak terhitung para
pengedar yang mati ditiang gantungan atau didor oleh aparat, dan begitu banyak
pecandu yang merasakan pengapnya sel di kantor polisi dan kejamnya teman
sekamar dalam jerurji besi. Semua itu seakan tak menimbulkan efek jera.
Memuliakan Diri
Di antara tujuan utama Allah menurunkan perangkat hukum (syariat)
kepada umat manusia lewat agama yang disampaikan oleh para Nabi adalah untuk
menjaga kemuliaan manusia sendiri. Misalnya,
pengakuan Allah yang telah menciptakan manusia dalam bentuk
sebaik-baiknya (QS. At-Tin: 4). Namun karena tidak mampu menjaga kemuliaannya
itu, ‘maka manusia pun akan dikembalikan ke tempat yang paling rendah lagi hina
(QS. At-Tin: 5). Tapi jangan takut karena, ‘mereka yang beriman dan gemar
melakukan perbuatan baik akan mendapatkan pahala yang tiada putus-putusnya (QS.
At-Tin: 6).
Perlu dicatat. Fitrah dan asal manusia itu mulia. Baik koruptor,
terorisme, pecandu dan pengedar serta backing narkoba asal mereka adalah mulia
sama dengan manusia-manusia lainnya. Akan tetapi, mereka memilih jalan yang
salah. Koruptor memandang bahwa dunia ini adalah segala-galanya dan menjadi
tujuan hidup mereka. Maka, harta yang semestinya milik negara dan orang banyak
dinikmati oleh diri dan keluarganya. Berbagai usaha diupayakan agar uang negara
bisa pindah ke kocek pribadinya. Tipu daya para koruptor kelas kakap yang mudah
terbaca adalah, menciptakan proyek spektakuler dan memakan uang triliunan
rupiah. Terlihat megah dan wah dan seakan untuk dan atas nama rakyat, tapi pada
dasarnya untuk diri dan golongannya, yang konyolnya berakhir dengan ‘mangkrak’.
Inilah yang terjadi dengan proyek sport center Hambalang, monorel Jakarta, dan
mungkin tol laut dari Sabang hingga
Merauke atau kereta super cepat dari Bandung ke Jakarta.
Ada pun teroris. Saya sangat suka membaca pernyataan Hasan
Al-Bashri, katanya, “Ilmu lebih penting daripada jihad”. Sontak saja banyak
ulama yang protes, sebab jika menuntut ilmu hanya mengorbankan umur dan uang,
sementara jihad mengorbankan nyawa, dan nyawa tidak bisa dihargai dengan apa
pun, karena itu jihad jauh lebih mulia dari ilmu.
Tapi, jika ditelaah secara strategis dan filosofis, pernyataan
Hasan Al-Bashri sangat jenius. Demikian adanya, karena orang-orang mengetahui
keutamaan jihad dari ilmu para ulama, karena keutamaannya itu sehingga banyak
orang yang ingin berjihad untuk mati di jalan Allah. Sementara para teroris
berjihad tanpa ilmu sehingga hasilnya hanya merugikan diri sendiri dan orang
lain, bahkan melecehkan makna jihad.
Sementara para pecandu dan pengedar narkoba, sadarilah bahwa hidup
kita sangat terbatas. Tak terasa senja sudah menyapa, dan satu per satu akan
tiba masanya menghadap Allah. Datanglah dengan membawa bekal amal ibadah. Jauhi
narkoba sebab ia adalah pangkal segala dosa. Dengan narkoba seorang anak
durhaka sama orang tua, seorang suami menganiyaya istrinya, dan seorang aparat
melanggar sumpah parjurit, hingga seorang agamawan menjual agamanya. Maka musuh
bersama kita adalah Korupsi, Terorisme, dan Narkoba. Wallahu A’lam!
Dimuat Tribun Timur, 12/2/2016.
Ilham Kadir, Sekertaris Pemuda KPPSI Pusat; Peserta Kaderisasi
Seribu Ulama BAZNAS-DDII.
"Karena peristiwa terorisme ini sangat banyak misterinya maka
kita harus dahulukan tabayun, harus kroscek dahulu, supaya
yang terpublikasi itu tidak berdampak negatif, tidak merugikan masyarakat
banyak karena umumnya mayoritas rakyat Indonesia yang muslim ini mempercayai
pesantren sebagai lembaga yang mendidik orang Islam mulai dari dasar hingga
menjadi tokoh-tokoh nasional," ujar Mustofa dalam sebuah dialog di stasiun
televisi swasta, Rabu (10/2/2019).
Comments