Teror Paris, Syiah, dan Makar Yahudi
Oleh: Ilham Kadir, Perserta Kaderisasi Seribu Ulama (KSU) BAZNAS-DDII;
Kandidat Doktor Pendidikan Islam UIKA Bogor

Serangkaian aksi terorisme yang
menghantui Prancis di atas tentu saja menyasar kelompok ekstrimis yang diwakili
oleh ISIS. Namun, persoalannya tidak sesederhana itu, sebab adanya label Islam
dalam aksi teror yang diperankan ISIS secara otomatis menyeret agama Islam ke
dalam ranah terorisme, sehingga golongan picik dan islamophobia atau mereka
yang selalu dihantui dan ditakut-takuti oleh keberadaan Islam kian memuncak
amarahnya, lalu melampiaskan pada kaum muslimin, terutama yang berdomisili di
Barat, bahkan serangkaian aksi balasan dengan merusak masjid. Tentu saja ini
adalah sebuah masalah besar yang harus ditelaah secara cermat dan hati-hati
agar dapat bersikap adil dan bijak.
Dari berbagai aksi teror yang
dialamatkan pada umat Islam akhirnya menimbulkan pertanyaan besar, apakah ada
ajaran Islam yang jika dipahami secara fundamentalis bisa melahirkan seorang
teroris?
***
Secara sederhana aksi-aksi terorisme
dapat dideskripsikan sebagai serangkaian
aksi bertujuan pada upaya penebaran kepanikan, intimidasi, dan kerusakan di
dalam masyarakat, yang dalam operasinya bisa dilakukan oleh seorang atau
sekelompok orang yang biasanya mengambil posisi oposan terhadap negara.
Seorang fundamentalis sebenarnya
dapat memegang kuat teologi dan penghayatan agamanya, tanpa kenal dengan
istilah teroris. Artinya, terorisme tidak identik dengan fundamentalisme, baik
dalam Islam maupun lainnya. Seorang fundamentalis sangat bisa menjadi warga
masyarakat yang damai, ramah, dan santun.
Kalau fundamentalisme dipahami
sebagai akar terorisme dalam Islam, itu jelas konyol. Disebut konyol karena
jika seorang muslim benar-benar fundamentalis, maka ia akan mengalami kesulitan
besar untuk melakukan aksi terorisme. Bagaimana tidak, secara gamblang
al-Qur'an sendiri sebagai panduan hidup dengan lantang menyatakan pengingkaran
dan penolakan terhadap kekerasan, apalagi terorisme.
Masalahnya adalah, sebagian oknum
fundamentalis itu tidak berhenti pasa level penghayatan teologi skriptualistik
semata, melainkan terus berlanjut pada sikap militan tanpa didasari dengan ilmu
syar'i yang benar. Kita tau bahwa militansi keberagaman dalam Islam
meniscayakan dua penyikapan secara sekaligus: positif dan negatif.
Ke dalam, seorang militan akan
bertindak positif bahwa kelompoknya adalah kawan dan teman perjuangan yang
harus dibela. Sementara ke luar, ia akan bersikap negatif dengan memandang
kelompok lain sebagai musuh dan ancaman yang harus diserang. Dengan paradigma
kacau seperti itu, maka perbedaan yang semestinya menjadi khazanah dan sumber
kekayaan harmoni, dipangkuan fundamentalis-militan berubah menjadi musibah
kemanusiaan.
Sejarah mencatat dengan apik bahwa
orang atau golongan yang menjadi teroris memang hampir selalu didahului dengan
sikap keberagamaan militan yang mayoritas terikat dalam satu sekte atau
organisasi, sebutlah misalnya yang fundamentalis-militan yang membunuh khalifah
Usman bin Affan, sekaligus melukai istrinya, juga fundamentalis-militan Majusi
Abu Lu'luah yang menikam Umar bin Khattab ketika sedang memimpin salat Subuh.
Setelah itu, berbagai fitnah muncul
dari golongan fundamentalis-militan yang menyimpang itu. Ada khawarij yang
membunuh khalifah keempat, Ali bin Abi Thalib, lalu muncul pula pendukung Ali
yang melembaga secara membabi buta tanpa iman dan ilmu yang disebut Syiah.
Golongan yang terakhir inilah yang hingga sekarang terus melahirkan
teroris-teroris dari masa ke masa, mereka selalu melawan pemerintah yang sah,
hingga kekacauan terus berlangsung. Saksikanlah Iraq, Libya, Lebanon, dan saat
ini Surah dan Yaman yang sedang berkecamuk. Para teroris-teroris Syiah menjadi
sutradara sekaligus aktor dalam fitnah yang terjadi di mana-mana.
Islam sebagai agama rahmatan
lil-alamin, sekali lagi, jelas menolak dan melarang pemakaian kekerasan
demi untuk menjustifikasi dan mencapai tujuan yang baik sekalipun. Sebuah
kaidah ushul dalam Islam menegaskan, al-ghayah la tubarrir al-wasilah,
tujuan tidak bisa menghalalkan segala cara. Lebih jauh, Islam menegaskan bahwa
pembasmian suatu jenis kemungkaran tidak boleh dilakukan dengan menggunakan
kemungkaran pula, al-nahyu 'an al-munkar bi ghair al munkar.
Tidak ada alasan etik-moral sedikit
pun yang bisa membenarkan suatu tindakan kekerasan, terlebih terror tanpa
alasan syar’i. Dengan demikian, kalau ada tindakan teror yang dilakukan oleh
kelompok Islam tertentu, maka sudah pasti alasannya bukan karena ajaran
etik-moral Islam, melainkan karena agenda-agenda lain yang bersembunyi di balik
aksi teror tersebut.
Saat ini, kita sedang membutuhkan
upaya yang lebih serius ke arah pembersihan Islam dari para
fundamentalis-radikal, seperti Syiah dengan sejarah pemberontakannya yang
hingga kini masih awet. Islam, sudah terlalu lama dibajak oleh aliran sesat
Syiah yang selalu mengatasnamakan agama dan akhlak, lalu memperkosanya, demi
mencapai syahwat kepuasan dan kekuasaan.
Islam sudah sering dijadikan sebagai
pembenar bagi tindakan penghancuran komunitas lain. Sungguh, gerakan kelompok
fundamentalis-militan seperti Syiah yang kerap menggunakan cara-cara kekerasan
dalam menjalankan tafsir agamanya adalah iklan buruk bagi Islam sebagai rahmatan
lil alamanin. Sayangnya, lakon menyimpang ini juga dipraktikkan oleh ISIS
yang notabene-nya adalah anti Islam dan antek Yahudi-Amerika.
Islam sebagai agama yang mencintai
perdamaian tidak boleh lagi berkamar dalam
ruang yang ekslusif-primordial, melainkan harus menjadi payung yang
menaungi segenap umat manusia. Islam rahmatan lil-alamin adalah
keputusan final dan tuntas, sehingga tidak boleh lagi ada kekuatan apa pun baik
perorangan, kelompok maupun institusi-kelembagaan yang diperkenankan untuk
mengamandemen,menistakan, apalagi menghancurkan eksistensinya.
Untuk menggapai level itu, semua
pihak harus berperan, secara struktural, pemerintah harus memberikan pengajaran
yang benar kepada generasi muda umat Islam. Sebab, selama ini, buku ajar
pendidikan agama Islam masih dibajak oleh organisasi dan aliran tertentu, diperparah
dengan menyebarnya ajaran sekularisme, liberalisme, dan pluralisme dalam
berbagai macam mata pelajaran, peran Tuhan telah dicampakkan dalam proses
penciptaan dan pengaturan alam, dan segenap perangkap undang-undang pun
terlepas dari nilai ketuhanan.
Bahkan, sekte Syiah pun sudah masuk
dalam proyek buku-buku ajaran Islam untuk level nasional. Ini semua menjadi
masalah internal yang harus segera dibenahi secepat kilat, sebelum terlambat,
dan menyambar nilai-nilai kebenaran yang berdasarkan dengan al-Qur'an dan hadis
shahih yang telah dicontohkan oleh Nabi bersama para sahabatnya, tabi'in, dan
pengikut para tabi'in.
Secara eksternal, hegemoni
negara-negara Barat, termasuk Prancis terhadap negara Islam, juga masih terus
berlanjut, kebijakan-kebijakan politik luar negeri atau dalam negerinya selalu
menjadikan umat Islam tersudutkan. Inilah semua yang terakumulasi menjadi bara
dalam sekam yang berpotensi menjadi dinamit penghancur nilai-nilai kemanusiaan.
Barat semestinya banyak berkaca pada
diri sendiri bahwa apa yang telah mereka dapat dari negara-negara Islam sangat
tidak sebanding dengan apa yang mereka berikan. Sejak kolonialisme bermula pada
abad ke-17 sebagai hasil dari revolusi industri Prancis, dan terus lenggeng
dengan metode yang berbeda hingga saat ini. Barat sudah terlalu banyak berbuat
zalim dengan menjustifikasi bahwa kezalimannya pada negara-begara berpenduduk
Islam, baik di Asia maupun Afrika adalah bagian dari keadilan dan penegakan Hak
Asasi Manusia.
Hemat penulis, tragedi Paris semestinya
dijadikan bahan renungan dan evaluasi baik umat Islam maupun Barat. Bagi kaum
muslimin, ini adalah tragedi kemanusiaan yang lahir dari insan-insan tak paham
nilai-nilai kemanusiaan yang bersumber dari ajaran Islam bahwa haram hukumnya
membunuh manusia tanpa alasan yang dibenarkan (bighairi haqq). Tidak
dibenarkan membunuh orang yang lemah seperti wanita, anak-anak, lansia, atau
orang yang tak bersalah dan yang sudah menyerah. Bahwa membunuh seorang manusia
yang bukan pembunuh dan bukan pula perusak adalah sama statusnya dengan
membunuh seluruh umat manusia (QS. Al-Maidah: 32).
Pun, demikian, Barat, wabil khusus Prancis
agar memperlakukan umat Islam di negaranya dengan manusiawi dan sesuai dengan
standar hak asasi manusia, tidak mencurigai terus-menerus sebagai pembuat dan
penebar teror, memberikan kebebasan dan keleluasaan mengamalkan dan mengenakan
simbol agama mereka tanpa rintangan. Perbedaan ras, etnis, dan suku semestinya
mendorong manusia agar saling mengenal, saling menghargai, dan saling melindungi
(QS. Al-Hujuran: 13). Kemuliaan seseorang tidak ditentukan oleh ras atau garis
keturunan nenek-moyang, tetapi tergantung kadar ketakwaan (QS. Al-Hujurat: 13),
tidak boleh mengejek, melecehkan, atau saling menjatuhkan satu sama lain. Juga
dihimbau agar jangan saling curiga dan mencari-cari kesalahan atau kelemahan
orang lain, (QS. Al-Hujurat: 11-12), dan marilah bekerjasama, bahu-membahu
dalam meraih kebahagiaan dan mengatasi masalah bersama (QS. Al-Maidah: 2).
Begitulah Islam mengajarkan umat manusia untuk hidup harmoni tanpa kenal ras,
golongan, dan agama. Jika ayat-ayat ini dijadikan patokan, baik Islam maupun
Barat, damailah dunia.
Hanya satu cara untuk mereduksi
segala bentuk kemunkaran, termasuk aksi-aksi radikalisme yang bertentangan
dengan kemanusiaan sebagai ajaran inti agama Islam adalah, adzhiril haq
yamutul bathil, Tampakkan kebenaran, kebatilan akan tereduksi.
Last but least, teror Prancis kemungkinan juga terkait atas dukungan dan
pengakuan Prancis terhadap kedaulatan Palestina, sebab jamak diketahui, negara
asal legendan hidup sepak Bola, Zinedin Ziden ini adalah yang paling
bertanggungjawab atas pengakuan PBB terhadap berdirinya negara Palestina yang
sangat tidak diinginkan oleh Israel dan Amerika. Jika skenario ini benar, maka
tak pelak lagi, Yahudi dan Amerika bermain di belakang layar—mendorong ISIS
sebagai tukang gebuk—lalu menjadikan umat Islam sebagai tumbal sebagaimana kasus peledakan WTC pada 11
September 2001. Wallahu A'lam!
UIKA-Bogor, 21
Nopember 2015
Dimuat Harian AMANAH
Makassar, 24-25/11/2015.
Comments