PKS Kembali ke Khittah

Fungsi liqo, antara lain, sebagai
wadah pengkaderan bagi PKS, dan para
peserta liqo juga bertahap dari satu jenjang ke jenjang berikutnya, yang pada
tahap tertentu seorang kader dapat menjadi murabbi jika telah memenuhi syarat.
Tidak sampai di situ, para murabbi pun tetap diharuskan ikut liqo sesama mereka
yang akan mendatangkan murabbi dengan level yang lebih tinnggi lagi. Biasanya
mereka diambil dari para tetua yang telah malang-melintang di dunia aktivis dan
dakwah yang disebut qiyadah (para pemimpin). Pengkaderan lewat liqo juga
disebut dengan tarbiyah, yang biasa juga dimaknai dengan pendidikan.
Inilah yang membedakan PKS dengan
partai mana pun di Indonesia, karena para anggotanya adalah didikan mereka
sendiri, dengan itu tidak heran jika mereka begitu militan berjuang membesarkan
PKS tanpa mengharap pamrih, dan semua itu mereka lakukan demi dakwah,
sebagaimana slogan PKS waktu itu, partai dakwah yang Bersih, Peduli,
Profesional.
Ada yang unik dari kegiatan liqo
ala PKS ini, yaitu tidak adanya paksaan untuk bergabung sebagai aktivis partai,
dan tidak ada pula anjuran untuk memasarkan PKS pada khalayak ramai, bahkan
tidak ada kewajiban untuk memilih PKS dalam pemilu. Dan, konten tarbiyah dalam
liqo pun tidak pernah menyinggung partai, hanya diwajibkan mengaji, menghafal
al-Qur'an, dan menguasai materi-materi dasar dalam agama, semacam ilmu fardhu
ain dan fardhu kifayah dengan tambahan wawasan sejarah dan dunia Islam.
Walaupun semuanya sangat tergantung pada murabbi, karena ada pula murabbi yang
kurang wawasan sehingga acara liqo sekadar konsolidasi partai yang tidak
mengedepankan tarbiyah dan dakwah.
Namun itu tidak bertahan lama,
sebab pada pemilu 2009 PKS berubah menjadi partai terbuka yang bisa diisi oleh
golongan mana pun, termasuk non-muslim. Yang paling menyayat hati para kader,
tidak sedikit di antara mereka yang telah berjuang membesarkan PKS namun karena
tidak punya uang sehingga tereleminasi sebagai calon legislator. Pemilihan
caleg sangat tergantung dengan tebalnya kantong. Demikian pula, tidak sedikit
calon kepala daerah yang lebih peduli, bersih, cerdas, dan juru dakwah justru
ditinggal dan tidak didukung PKS karena alasan tidak mampu menyetor uang mahar.
Ya, partai dakwah itu menjelma menjadi partai pemburu mahar.
Tulisan ini bermaksud mengangkat
sejarah dan perkembangan partai dakwah yang kembali melakukan Musyawarah
Nasional (Munas) ke-4 di Depok pada tanggal 14-15 September 2015 ini.
Sejarah Awal
Kisah itu bermula dari di Aula
Masjid Al-Azhar, Kebayoran Baru, ketika sekumpulan ustad mengadakan konferensi
pers karena telah mendirikan partai dengan nama Partai Keadilan yang disingkat
dengan PK. Presidennya adalah Nur Mahmudi Ismail dan Sekertaris Jenderalnya
Anis Matta.
Pada 21 Mei tahun 2000 M, ketika KH
Abdurrahman Wahid sebagai presiden RI, ia pun mengangkat Nur Mahmudi sebagai
Menteri Kehutanan dan Perkebunan, sang menteri mengundurkan diri sebagai
presiden PKS, lalu diganti dengan Hidayat Nur Wahuid.
Pada tanggal 2 Juli 2003,
Undang-Undang Nomor 3 tahun 1999 tentang Pemilihan Umum mensyaratkan agar
partai peserta Pemilu 2004 adalah partai yang minimal mendapat 2 persen seuara
pemilih 1999, karena hanya mendapat 1,4 persen maka PK lalu mengubah namanya
menjadi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) untuk dapat mengikuti Pemilu tahun 2004.
Pada tanggal 1 Oktober 2004,
Hidayat Nur Wahid terpilih sebagai Ketua MPR priode 2004-2009, dan ia pun
mengundurkan diri dari jabatannya sebagai presiden partai. Akhirnya, sidang
Majelis Syura pada 26-29 di Jakarta, Tifatul Sembiring didapuk menjadi Presiden
PKS priode 2005-2010.
Karena Tifatul menjabat sebagai
Menteri Komunikasi dan Informasi di Era Pemerintahan Susilo Bambang Yudoyono
jilid II, maka pada sidang Majlis Syura PKS yang berlangsung 16-20 Juni 2010
menetapkan Luthfi Hasan Ishaaq terpilih sebagai presiden PKS priode 2010-2015.
Sayang, karena tersangkut kasus korupsi, maka pada 1 Februari 2013, Luthfi
mundur lalu digantikan oleh Anis Matta pada 1 Februari 2013.
Dalam situasi yang kritis, partai
yang dipimpin Anis Matta itu harus bekerja keras untuk bangkit, lembaga survey
berlkmba-lomba memastikan jika PKS akan tamat riwayatnya pada pemilu 2014. Tapi
prediksi itu salah total alias ngawur sebab PKS mendapat perolehan suara
sebanyak 6,7 persen meningkat sekitar 200.000 suara (8.480.204) walaupun dari perolehan kursi merosot tajam
dari 7,8 persen tahun 2009 dengan suara 8.480.204 dan kursi berjumlah 57,
menjadi 40 kursi pada pemilu 2014-2019.
Pada bulan Oktober 2014, PKS
bergabung bersama koalisi Merah Putih dan mendukung pasangan Prabowo-Hatta pada
Pilpres 2015 yang kalah tipis dari pasangan Jokowi-JK. Akhirnya, PKS berada di
luar pemerintahan alias oposisi.
Fenomena Anis Matta
Di antara pendiri dan konseptor PKS
yang dinilai telah banyak memberikan kontribusi pada partai adalah Anis Matta,
pria berdarah Bugis kelahiran Bone Sulawesi Selatan. Betapa tidak, sejak PKS
terbentuk ia terus menerus memegang posisi kunci dalam partai dakwah itu.
Jabatannya, hanya Sekjend dan Presiden partai hingga menjelang Musyawarah
Nasional Ke-4, barulah beliau digeser ke jabatan Ketua Bidang Kerjasama
Internasional.
Pengalaman saya, sewaktu ikut tarbiyah
suara-suara tausiyah Anis Matta sebagai pembangkit semangat para kader muda
kerap diperdengarkan, bahkan jauh sebelum itu, tulisan-tulisannya selalu
menghiasi berbagai media Islam, tak terkecuali majalah Hidayatullah yang
cakupannya begitu luas.
Beliau adalah tokoh muda yang
handal, produktif menulis, orator ulung, motivator yang bersahaja, sehingga
kader muda PKS yang visioner hampir semuanya mengidolakan beliau.
PKS pun melejit dari pemilu ke
pemulu, hingga tiba-tiba ditimpa badai dengan tertangkapnya Luthfi Hasan Ishaaq
oleh Komisi Pemberantasan Kosupsi (KPK) tahun 2014, terlepas dari klaim
beberapa pihak bahwa ini bagian dari skenario untuk mengguncang PKS, yang jelas
beliau terbukti melakukan penyimpangan, dan sang presiden pun dibui.
Tidak sampai di situ, saat ini,
Kader PKS Lainnya, Gubernur Sumatera Utara, Gator Pujo Nugroho juga sedang
tersandung kasus korupsi, dan dan tidak menutupi kemungkinan jika masih ada
kader-kader lainnya yang melakukan perbuatan menyimpang dari agama dan hukum,
cuma saja belum tertangkap.
Walaupun telah sukses menjadi
partai tengah yang penengah tapi belum mampu menjadi pembeda dengan
partai-partai lainnya. Pemberantasan korupsi sebagai agenda utama reformsi
masih belum bisa diaplikasikan secara konsisten oleh PKS.
Di bawah banyang-bayang Anis Matta,
melejit tinggi dan PKS melangkah jauh, merasakan nikmatnya syahwat kekuasaan
dengan limpahan kemewahan namun kering dari nilai-nilai spritualis. Bahkan pada
tataran elite PKS hampir tidak ada bedanya denga elite partai lain, menampilkan
budaya mewah, glamor, dan parlente. Ada yang hilang dari partai dakwah dambaan
umat ini. Fenomena ini disadari oleh elite PKS dan berusaha melakukan
restorasi.
Kembali ke Khittah
Pada Selasa malam, 8 September 2015
saya turut hadir dalam acara "Silaturrahim dan Ta'aruf Dewan Pimpinan
Tingkat Pusat PKS dengan Pimpinan Ormas-Ormas Islam" di Kantor DPP PKS
Jakarta.
Habib Salim Segaf Al-Jufri tampil
memperkenalkan struktur kepengurusan baru DPP PKS, yang ternyata telah
melakukan perombakan besar-besaran hanya dengan mengedepankan adab musyawarah,
tidak terdengar hiruk-pikuk sama sekali sebagaimana yang selalu menimpa partai
manapun di Indonesia. Tentu, ini adalah contoh bagus bagi partai lainnya, bahwa
suksesi kepemimpinan dan kepengurusan partai cukup dengan wadah musyawarah.
Pada kesempatan itu, Ketua Dewan
Syura yang diduduki oleh Salim Segaf Al-Jufri menekankan bahwa PKS kini ingin
kembali pada niat awal berdirinya, karena itu, bermaksud mengundang seluruh
ormas Islam untuk mendengarkan masukan, apa yang harus dibenahi dari partai
ini, dan apa yang harus diperbuat demi umat. "Alhamdulillah PKS beberapa
hari lalu, telah malakukan pergantian dewan syura, juga pengurus harian
DPP dengan cara musyawarah. Partai ini,
kita inginkan menjadi milik umat Islam dan agar diridhai Allah. Untuk apa kita
melakukan sesuatu yang ujung-ujungnya tidak mendapat ridha dari Allah."
Ujar sang Habib.
Beliau menginginkan agar umat Islam
mendukung langkah-langkah PKS ke depan jika memang sesuai dengan keinginan umat
dan menegur manakala menyimpang dari tujuannya sebagai partai dakwah.
Menurutnya, hanya dengan mengedepankan kebersamaan umat ini akan kuat dan
solid. Jika bercerai-berai makan tidak akan menjadi kuat.
Bahkan mantan Mensos ini
menegaskan, Sekuat-kuatnya kita kalau sendiri pasti lemah. Coba kita lihat di
dunia ini, umat Islam mengalami masa-masa krisis. Di Timur Tengah saja,
khususnya di Suriah, puluhan ribu pengungsi tertatih-tatih akibat konflik yang
berkepanjangan, dan tidak adanya persatuan di antara mereka.
Ia melanjutkan bahwa di negeri kita
pun demikian, Coba kita liat, apa yang bisa kita buat. Dulu kita adalah negara
dengan pemimpin otoriter, sekarang, di masa demokrasi dengan plus minusnya.
Semesitnya, suasana demokratis ini, yang menjadi pemimpin adalah kalangan
mayoritas, yaitu muslim. Zaman ini adalah one man one vote. Tapi sayangnya,
perpecahan internal umat menjadikan kita semakin lemah.
"Bahkan banyak daerah yang
pemimpinnya non-muslim, termasuk Ibu Kota Jakarta yang dihuni oleh mayoritas
umat Islam, begitu pula di daerah lain seperti Kalimantan. Karena itu, para
tokoh yang memiliki jamaah, harus terjun dan bersatu. Kekuatan kita adalah
kebersamaan," paparnya dengan nada datar dan tenang.
Kelihatannya, PKS kini benar-benar
berusaha kembali ke khittah, sebab melihat struktur kepengurusanna, kader-kader
dan konseptor selama ini yang memiliki peranan besar dalam membesarkan PKS
sekaligus menjadi bagian dari masalah tidak terlihat lagi duduk di posisi
sentral dan strategis. Dewan Syura, yang selalu dipimpin Hilmi Awaluddin sudah
tak terlihat, begitu pula Tifatul Sembiring, Mahfud Shiddig, hingga Fahri
Hamzah. Posisi strategis semua diisi dengan orang-orang yang terkenal
sederhana, berilmu, namun rendah hati. Sebutlah Sohibul Imam sebagai Presiden
Partai, Hidayat Nurwahid sebagai Wakil Ketua Majelis Syura, hingga Untung
Wahono sebagai Sekertaris Majelis Syura.
Dalam acara silaturrahim tersebut, semua
ormas yang diundang hampir seluruhnya hadir, dan masing-masing mendapat
kesempatan untuk menumpahkan unek-uneknya pada PKS. Mereka seakan sepakat bahwa
kritik yang dilontarkan pada PKS sebagai tanda bukti bahwa umat mencintai partai
dakwah ini.
Misalnya, Zaitun Rasmin, sebagai
wakil dari MUI Pusat dan Wahdah Islamiyah menyatakakan, Selama ini secara
keormasan bahkan masih tetap memilih PKS, kita punya prinsip bahwa walaupun
beberapa hal kita mengalami perbedaan pada PKS namun sama skali tidak boleh
dijadikan alasan untuk melemparkan kebencian secara total pada mereka. Selain
itu, Ketua Ikatan Ulama Asia Tenggara itu menekankan, Khusus untuk Jakarta, PKS
harus cepat mengambil peran, jangan ditunda-tunda apalagi mengajukan calon pada
injury times.
Sedangkan, Sekjend MIUMI, Bachtiar
Nasir menekankan bahwa PKS yang basisnya
adalah umat Islam dan ingin bersatu,
terutama menjelang pilpres adalah sebuah komunikasi yang sangat elegan. Kiprah
PKS dalam Kongres Umat Islam keenam di
Jogja juga harus diapresiasi, karena satu-satunya partai Islam yang terlibat.
Dan, PKS tidak boleh menilai umat Islam sudah gagal bersatu. Selama ini, betapa
besar keinginan umat ini untuk bersatu. Namun sayang partai Islam gagal
menangkap keinginan mulia itu. Maka, komunikasi dakwah dan komunikasi keulamaan
terbangun dengan baik, bahkan, sekelas Dr. Salim Al-Jufri dan Dr Hidayat
sebagai ulama cocoknya duduk di MUI, dan keberadaan mereka berdua di PKS mampu
mewujudkan partai ini sebagai contoh bagi segenap partai Islam.
Karena itu, dalam Musyawarah
Nasional PKS ke-4 di Depok (14-15/9) lalu harus menjadi momentum untuk membuktikan
slogannya sebagai partai Bersih, Peduli, Profesional. Semoga!
Ilham Kadir, Peneliti MIUMI,
Kandidat Doktor Pendidikan Islam UIKA Bogor.
Comments