Meneguhkan Institusi Ulama

Dalam sejarahnya, Majelis Ulama Indonesia sebagai organisasi
keulamaan memiliki perjalanan panjang dan berliku. Dimulai sejak masa Orde
Lama, tahun 1956 di bawah kepemimpinan Sukarno ketika membentuk pemerintahan
gado-gado: Nasionalisme, Agama, dan Komunisme yang disingkat Nasakom. Terang
saja, para ulama melawan, lalu menjadi oposisi. Bahkan ada yang masuk hutan
mengangkat senjata.
Orde Lama tumbang, Sukarno lengser, dan komunis habis. Lalu
naik Suharto sebagai penguasa Orde Baru. Kali ini, peran ulama dalam ranah
politik dibatasi, hanya ulama dunia dan mau diperalat yang bisa lolos masuk ke
partai politik.
Namun para ulama tidak kehabisan akal untuk berjuang, kali
ini bukan dalam ranah struktural-kekuasaan, melainkan kultural-kemasyarakatan.
Tanggal 9 Mei 1967, Mohammad Natsir bersama sejumlah mantan pemimpin Masyumi
lainnya mendirikan Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII) yang bertujuan untuk
mendorong dan meningkatkan dakwah Islam di kalangan kaum muslimin.
Dua tahun kemudian, pemerintah memprakarsai berdirinya Pusat
Dakwah Islam Indonesia (PDII) yang dipimpin KH Moh Ilyas. Pemerinah menolak
anggapan bahwa PDII dibentuk sebagai tandingan DDII. Lembaga ini merupakan
organisasi semiresmi yang dikelolah oleh sejumlah ulama Indonesia. Salah satu
pencapaian terbesar PDII adalah keberhasilannya dalam menggelar musyawarah
alim-ulama seluruh Indonesia di Jakarta pada 30 September hingga 4 Oktober
1970. Para ulama mengajukan usul untuk mendirikan sebuah lembaga fatwa. Masalah
ini, lalu menjadi isu sentral, diperdebatkan, hingga selesai acara belum ada
satu ketetapan.
Setelah mengendap selama empat tahun, tepatnya 29 Nopember
1974 PDII kembali memprakarsai lokakarya muballigh seluruh Indonesia. Dalam
lokakarya tersebut, disepakati untuk mendirikan lembaga ulama atau semacamnya.
Pada Mei 1975 Predsien Suharto pun mendukung gagasan PDII. Menteri Dalam Negeri
menerjemahkan dukungan Pak Harto dengan menginstruksikan seluruh daerah agar
membentuk semacam majelis ulama tingkad daerah.
Instruksi tersebut disambut cepat. Akhir Mei, Majelis Ulama
telah berdiri di semua propinsi dan sejumlah kabupaten. Kementrian agama
kemudian membentuk panitia persiapan mengadakan Kongres Ulama Nasional pada 1
Juli 1975. Tak berapa lama, pada 21-27 Juli 1975 di Jakarta terselenggarakan
Musyawarah Nasional Majelis Ulama Indonesia-I yang diikuti oleh para utusan
ulama seluruh daerah.
Sebanyak 53 ulama hadir, terdiri atas 26 ulama perwakilan
dari seluruh propinsi di Indonesia ketika itu, 10 ulama unsur ormas Islam
tingkat pusat, 4 dari dinas rohani Islam Angkatan Darat, Udara, dan Laut
(ABRI), serta 13 tokoh perorangan. Sepuluh ormas yang turut serta adalah,
Muhammadiyah, NU, Sarekat Islam, Perti, Al-Washliyah, Math'laul Anwar, GUPPI,
PTDI, DMI, dan Al-Ittihadiyah.
Musyawarah ini lantas melahirkan deklarasi berdirinya
Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang ditandatangani oleh 53 peserta musyawara
pada 26 Juli 1975.
Lahirnya MUI sebagai wadah para ulama tidak bisa lepas dari
prakarsa Orde Baru. Bahkan Presiden Suharto, dalam pertemuan dengan pengurus
Dewan Masjid Indonesia (DMI)--yang telah berdiri tiga tahun lebih dini--tahun
1975 menegaskan bahwa alasan mengapa pembentukan majelis ulama digagas adalah,
agar kaum muslimin dapat dipersatukan. Ia menyadari bahwa masalah yang dihadapi
bangsa tidak dapat direalisasikan tanpa keikut-sertaan ulama. Maka itu, antara
penekanan Suharto agar peran MUI sebagai connector antara pemerintah dan umat
beragama untuk menyukseskan pembangunan nasional. Walaupun demikian, MUI tetap
diberi kebebasan untuk menjaga ciri khas keulamaannya dengan amanah dan
independen.
Suharto saat itu, mengungkapkan bahwa setidaknya ada empat
peran penting yang harus dimainkan MUI. Pertama, memberi fatwa dan nasihat
mengenai masalah keagamaan dan kemasyarakatan kepada pemerintah dan umat Islam.
Kedua, menjadi wadah musyawarah para ulama, zuama, dan cendekiawan muslim serta
kerukunan antarumat beragama. Ketiga, mewakili umat Islam dalam hubungan dan
konsultasi antarumat beragama. Keempat, sebagai penghubung antara ulama dan
pemerintah serta penerjemah timbal-balik antara pemerintah dan umat guna
menyukseskan pembangunan nasional.
Kendati lembaga ini didanai pemerintah, MUI menegaskan
sebagai lembaga independen nonpemerintah. Ketua Umum tidak ditetapkan
pemerintah, tetapi dipilih secara priodik oleh anggota.
Fatwa MUI
Sebagaimana telah saya paparkan di atas sejarah berdirinya
MUI yang disokong oleh pemerintahan Orba, maka posisi MUI terhadap pemerintah
dapat terefleksi dari fatwa-fatwanya. Keberadaan empat menteri secara ex
officio dalam Dewan Pertimbangan MUI kembali menegaskan pengaruh Orba. Diketuai
Menteri Agama, jabatan Dewan Pertimbangan diisi oleh Menteri Penerangan,
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, serta Menteri Dalam Negeri.
Karenanya, MUI di masa Orba sering dianggap sebagai stempel
pemerintah, fatwa-fatwanya harus berjalan dan seiring dengan pemerintah.
Walaupun anggapain ini terbukti keliru, sebab tidak sedikit pula fatwa yang
bertentangan dengan pemerintah dikeluarkan. Bahkan dari 22 fatwa yang
dikeluarkan MUI sejak awal berdirinya tahun 1975, sampai 1988, ada 11 di
antaranya yang netral, 8 mendukung pemerintah, sedang 3 di antaranya
berseberangan dengan pemerintah.
Bahkan, ketegangan antara pemerintah dan MUI dalam situasi
tertentu kerap muncul lantaran kedua belah pihak tidak bisa kompromi. Fatwa MUI
tentang perayaan Natal Bersama, misalnya, sampai mengharuskan Buya Hamka
mengundurkan diri dari jabatan ketua umum demi mempertahankan prinsipnya.
Namun, kejatuhan Orde Baru mengirim sinyal perubahan besar
pada organisasi keulamaan ini. Dan, momentum ini pun memberi keleluasaan bagi
MUI untuk mendefinisi ulang peran dan kedudukannya.
Reformasi, tidak hanya membawa angin perubahan bagi situasi
politik semata, tetapi juga menerpa MUI, dan peran civil society pun menguat.
Hal itu turut terekspresi dalam fatwa-fatwa yang dikeluarkan MUI. Musyawarah
Nasional ke-VI MUI tahun 2000 adalah peristiwa bersejarah yang menegaskan ulang
posisi MUI.
Komisi Fatwa MUI dalam Munas tersebut terbagi menjadi tiga.
Pertama, pembahasan mengenai aborsi, transplantasi organ, kloning, dan
sejenisnya. Kedua, berkaitan dengan suap, korupsi, hak asasi manusia. Ketiga,
berkaitan dengan masalah perempuan.
Penegasan MUI tentang hukum korupsi dapat dinilai sebagai
sebuah sikap yang independen, karena selama Orba, masalah ini telah mengakar
dan menjadi rahasia umum, namun MUI dianggap belum berani melakukan perang
melawan korupsi yang dipelihara para penguasa. Pun, terkait hak asasi manusia,
penindasan aparat pemerintah dalam tragedi Tanjung Priok misalnya, tidak berani
disuarakan oleh institusi Ulama itu.
Kini, peran ulama seharusnya jauh lebih besar dari
sebelumnya. Termasuk membantu pemerintah dalam menghidupkan geliat ekonomi yang
kian lesu sebagaimana permintaan Presiden Joko Widodo dalam Munas MUI ke-IX di
Surabaya. Yang bagi saya, harus ditekankan khususnya pada ekonimi syariah yang
non-ribawi.
Dan yang paling penting dan utama adalah, mengawal akidah
umat dengan melakukan sosialisasi fatwa-fatwa yang telah dikeluarkan tentang
berbagai aliran kesesatan yang wajib dihindari atau diwaspadai bahayanya
seperti Sekularisme, Pluralisme, Leberalisme, Ahmadiyah, Syiah dan semisalnya.
Dan para masyarakat Indonesia, lebih khusus umat Islam,
harus bahu-membahu mendukung dan meneguhkan istitusi MUI karena ini adalah
salah satu rumah lama dan besar para ulama yang manjadi pewaris para Nabi.
Wallahu A'lam!
Oleh: Ilham Kadir,
Peneliti MIUMI dan Pengurus KPPSI Pusat.
AQL Tebet, 31 Agustus 2015.
Comments