Jenggot Menurut Sains
Heboh di media sosial terkait pernyataan seorang tokoh
nasional yang
berkomentar bahwa jenggot berpotensi menurunkan
kecerdasan, atau meminjam diksi yang digunakannya–maaf–, goblok,
menimbulkan banyak pro dan kontra di tengah masyarakat. Mengingat sang
tokoh berbicara mengenai jenggot dalam perspektif medis tanpa
menyertakan referensi yang bisa dirujuk, apalagi memang tidak memiliki
latar belakang sains-akademik sama sekali, maka saya pribadi memilih
untuk menanggapinya dengan pendekatan yang sama (saintifik). Tiba-tiba
saja saya teringat dengan sebuah ungkapan masyarakat Arab yang masyhur,
“Khālif tu’raf.” Bikin saja tingkah-tingkah kontroversial, kamu pasti
akan populer.
Saya sendiri sebenarnya sudah lama membaca tulisan seputar
topik ini. Tetapi tulisan tersebut bukan membicarakan dampak negatifnya,
bahkan sebaliknya. Hanya saja ketika itu, mengingat akses internet yang
masih minim, saya belum memiliki kesempatan untuk mengonfirmasi hal
tersebut, dengan membuka laman terkait topik yang dimaksud. Kecuali
beberapa hari terakhir ini. Alhamduli’llāh, akhirnya saya menemukan
sejumlah artikel, bersumber dari sebuah penelitian beberapa ilmuwan,
yang mendukung apa yang sudah saya dapatkan sebelumnya, bahwa temuan
medis justru membuktikan ternyata jenggot memberi dampak yang baik bagi
kesehatan.
Penelitian ini dilakukan satu tim ilmuwan dari University
of Southern Queensland Australia, yang diketuai oleh Alfio V. Parisi,
seorang profesor fisika radiasi bersama ketiga koleganya (D. J.
Turnbull, N. Downs dan D. Smith). Hasil penelitian ilmiahnya kemudian
dipublikasikan dengan judul “Dosimetric Investigation Of The Solar
Erythemal UV Radiation Protection Provided By Beards And Moustaches”,
yang diterbitkan oleh Oxford University Press dalam Jurnal Ilmiah
International Radiation Protection Dosimetry (2012).
Penelitian ini berangkat dari sebuah fakta sederhana bahwa
paparan radiasi sinar ultra-violet (UV) dapat mengakibatkan kerusakan
pada struktur kulit (degenerasi) yang menjadi faktor terjadinya
perubahan warna kulit (dari putih ke merah atau hitam), rasa perih,
keriput, penuaan dini dan kanker kulit. Sinar UV sendiri bukan hanya
bersumber dari sinar matahari. Tapi bisa juga dapat dihasilkan oleh
sumber-sumber cahaya hasil buatan atau pekerjaan manusia (artifisial)
dalam kehidupan sehari-hari, seperti tabung lampu TL (fluorosensi),
pengelasan (welding), penempaan dan pelelehan logam (metal forming), dan
lain-lain.
Parisi menggunakan beberapa potongan kepala maneken (boneka
model) sebagai obyek risetnya. Sebagiannya ada yang ditempeli jenggot,
dan yang lainnya dibiarkan tanpa jenggot. Selanjutnya maneken dipasangi
dosimeter, alat yang berfungsi untuk mengetahui jumlah dan dosis paparan
radiasi yang sampai kepada maneken.
Hasilnya sungguh menakjubkan. Maneken yang ditempeli
jenggot mampu menghambat paparan radiasi UV sebesar 90-95%. Artinya
jenggot membantu memperlambat proses penuaan dan mengurangi risiko
(tepatnya, mencegah terjadinya) kanker kulit. Secara fungsional, jenggot
juga sama dengan tabir surya (sunblock). Bagi penderita asma,
serbuk-serbuk dan debu yang banyak beterbangan akan terjebak pada rambut
yang tumbuh di wajah, seperti jenggot.
Lalu bagaimana dengan kaum wanita? Wanita pun terlindungi
dari paparan radiasi UV dengan balutan jilbabnya. Semakin banyak bagian
tubuhnya yang tertutupi, maka potensi terkena kanker kulit akan semakin
kecil.
Hal ini menunjukkan betapa keMahaAdilan Allah kepada
hamba-hambaNya. Meski kadang sang hamba tidak pandai bersyukur atas
ketetapan syariatNya.
Satu hal yang perlu ditekankan di sini, menjalankan
perintah Allah, baik memelihara jenggot atau mengenakan jilbab bagi
muslimah, dengan alasan medis juga tidak dibenarkan. Yang tepat adalah
memelihara jenggot semata-mata sebagai bentuk berserah sepenuhnya atas
apapun keputusan Allah, yang ditetapkan atas diri kita. Kalau pun hikmah
jenggot tersingkap secara empirik pada akhirnya, itu (sekadar) membantu
menguatkan apa yang sudah diyakini dan dijalani selama ini. Wallahu
a’lam!
Comments