Pemimpin Jahil

Ketika menyusun kabinet, ia lalu
mengganti seluruh pucuk pimpinan dengan orang-orang baru yang berjasa
mengantarkan dirinya menjadi penguasa, termasuk dalam ranah yudikatif, atau
berhubungan dengan penegakan hukum yang selama ini sarat mafia. Salah satunya
adalah Hakim Agung.
Pada suatu malam seorang pencuri
jatuh dari rumah bertingkat yang baru selesai dibangun. Kepalanya bocor,
badannya memar, dan kakinya patah. Ketika terjatuh, seorang kakek berbaik hati
membawanya ke rumah sakit untuk dirawat dan diobati.
Sebulan kemudian, si pencuri
diperbolehkan pulang walau kakinya patah tulang. Atas kejadian itu, dia
menuntut ganti rugi pada pemilik rumah. Yang salah kan pencuri, kenapa dia
masuk rumah tanpa izin, kata pemilik rumah di depan hakim.
Dalam debat di pengadilan, pemilik
rumah divonis sebagai yang bersalah. Lalu ia pun naik banding, bahwa yang
membangun rumah itu adalah kontraktor. Tapi, sang kontraktor tidak terima
disalahkan, ia lalu memanggil pemilik toko bangunan yang darinya material
dibeli.
Pemilik toko bangunan pun tak
terima disalahkan, ia lalu memanggil pemasok kayu untuk bertanggungjawab.
Akhirnya, berkumpullah di pengadilan, si pencuri, pemilik rumah, pemilik
material, dan pemasok bahan bangunan.
Karena si pencuri tetap ngotot
menuntut ganti rugi, maka pemilik rumah, kontraktor, pemilik toko, meminta kejelasan
kronologis. Pencuri itu menuturkan, Ketika masuk ke dalam rumah itu dan menaiki
tangga, satu sampai empat, tidak ada masalah. Tetapi ketika menginjak anak
tangga kelima, kayunya patah, karena sudah lapuk, dan saya pun terjatuh.
Kalau begitu, kita tanya
kontraktor, siapa yang pasang kayu tangga kelima. Tukang dihadirkan depan hakim
dan bertutur, Ketika saya memasang kayu tangga kelima, lewatlah seorang gadis
cantik yang berpakaian tembus pandang berwarna merah jambu. Waktu itu saya
memang tetap bekerja, tetapi mata saya melirik terus ke gadis itu tanpa sadar
kayu yang saya pasang sudah lapuk. Saya akan menuntut gadis itu karena,
gara-gara ia lewat saya jadi salah pasang kayu.
Gadis itu didatangkan, ia tak
terimah tuduhan. Ia malah menuntut si penjual pakaian, tapi penjual pakaian pun
tidak terimah, lalu menuntut si pencelup warna. Akhirnya si pencelup divonis
hukum gantung atas kesalahannya.
Celakanya, ketika ia berada tepat
di tiang gantungan, nampaknya kayu penyanggah tali gantung lebih rendah dari postur
badan sang pencelup. Algojo melapor pada sang hakim, kalau ekseskusi gantung
tidak dapat dilakukan karena kesalahan teknis, sang hakim lalu membentak
algojonya. Bodoh kamu, kenapa tidak mencari pencelup pakaian yang bodinya lebih
pendek. Algojo itu lalu mendatangkan pencelup yang badannya lebih pendek untuk
digantung.
***
Kisah di atas, walaupun
kesahihannya dipertanyakan, tapi sesungguhnya kerap berlaku di zaman kita, dan
mungkin juga di sekitar kita. Berapa banyak korban salah tangkap, salah vonis,
hingga salah eksekusi hanya karena kejahilan pihak penegak hukum dan pucuk
pimpinan yang mengangkat aparat hukum yang tidak becus.
Cerita di atas, juga menjadi
pelajaran bahwa betapa kita kerap kali sibuk mengurai masalah yang tidak
substansif, bukan beranjak dari pokok dan landasan filosofis. Bahkan, hal-hal
yang semestinya bisa dicegah sedini mungkin pun tak kuasa dilakukan oleh
seorang kepala negara. Asap misalnya, yang sejak bertahun-tahun lamanya selalu
menjadi masalah rutin, pun tak mampu diselesaikan, padahal kerugian yang timbul
dari bencana asap tidak dapat ditukar dengan apa pun. Selain merendahkan
martabat kita sebagai bangsa besar, juga mengorbankan masyarakat dan generasi
muda yang tidak ada kaitannya dengan keuntungan yang diakibatkan dari pembukaan
lahan perkebunan. Persis seperti seorang algojo yang mengeksekusi orang yang
tak bersalah.
Dalam suasana tahun baru Islam awal
Muharram 1437 Hijriah ini, tahun yang di dalamnya akan digelar pemilihan Kepala
Daerah serentak. Maka, ada baiknya jika masyarakat harus lebih cerdas dalam
memilah dan memilih pemimpin, sebab jika salah pilih akan berakibat fatal.
Hijrah secara terminologi bisa
diartikan sebagai "meninggalkan", jadi meninggalkan pemimpin dan
kepemimpinan jahil adalah bagian dari misi hijrah yang harus selalu tertanam
dalam pribadi dan komunitas muslim. Perlu diingat bahwa salah satu tujuan Nabi
hijrah dari Mekah ke Yastrib yang kemudian berubah nama menjadi Madinah adalah
untuk meninggalkan pemimpin dan kepemimpinan yang jahil di era Jahiliyah.
Kecuali itu, melahirkan dan
mencetak pemimpin berkualitas adalah tugas bersama, tidak bisa diserahkan hanya
kepada lembaga tertentu. Setidaknya harus dimulai dari rumah. Peran orang tua
untuk mengajarkan nilai-nilai kepemimpinan sejak dini harus dimulai, pemimpin
hebat selalu bermula dari keluarga yang hebat.
Kepemimpinan, walaupun tidak bisa
dilepaskan dari bakat alami, tetapi tidak berarti perkataan Warren Bennis itu
benar bahwa, Anda tidak akan bisa mempelajari kepemimpinan karena kepemimpinan
adalah sesuatu yang bersifat pribadi dan hikmah. Keduanya adalah dua hal yang
tidak mungkin dipelajari.
Peter Drucker menjawab bahwa,
Kepemimpinan harus dipelajari dan Anda memiliki kemampuan untuk mempelajarinya,
pendapat ini didukung oleh Warren Blank, katanya, Manusia tidak dilahirkan
sebagai pemimpin. Kepemimpinan tidak terprogram dalam gen-gen keturunan dan
tidak ada manusia yang dalam jiwanya terbentuk sebagai pemimpin.
Yang jelas, kita semua dapat dan
mampu menguasai teori-teori, strategis serta gaya kepemimpinan melalui
pelatihan yang singkat dan kontinyu. Namun, yang tidak dapat dihasilkan dengan
mudah adalah perasaan, semangat, kepekaan, respon, emosi, keinginan-keinginan,
perhatian, keagungan, dan perasaan-perasaan emosional lainnya untuk membentuk
dan membangun karakter sorang pemimpin.
Benar, bahwa ada orang-orang
tertentu yang diberi intuisi kepemimpinan. Kepemimpinan dipelajari dan tidak
dipelajari. Pemimpin dibentuk dengan latihan, pendidikan, peningkatan keahlian
dan pengarahan. Berdasarkan dengan sabda Nabi pada al-Asyji, sesungguhnya pada
dirimu terdapat dua sifat yang disenangi Allah: Kesabaran dan kebijaksanaan,
(HR Muslim). Dalam riwayat lain ditambahkan, Asyji bertanya, Ya Rasulullah.
Saya berakhlak dengan keduanya atau Allah yang menciptakan dalam diriku dua
sifat itu? Allah yang menciptakan dirimu dengan dua sifat tersebut, jawab Nabi.
Asyji lalu berkata, Alhamdulillah yang telah menciptakan diriku dengan dua
sifat yang dicintai Allah dan Rasul-Nya, (HR. Abu Dawud dan Ahmad).
Ini adalah dua sifat alami,
karakter kepemimpinan yang telah disematkan ketika manusia lahir, kebalikannya
adalah, ketika seorang laki-laki bertanya kepada Nabi, Ya Rasulullah,
berikanlah nasihat kepadaku, Jangan marah, jawab Nabi, (HR. Bukhari), ini menunjukkan
bahwa karakter kepemimpinan dapat dibangun pada diri seseorang melalui
pendidikan karakter kepemimpinan.
Namun, harus dipahami bahwa
menyiapkan pemimpin tidak sama dengan menyuguhkan kopi di atas cangkir.
Pembangunan karakter pemimpin dapat menelan waktu yang lama (thulu zaman)
dengan proses yang lambat. Ini karena pendidikan karakter kepemimpinan adalah
proses yang berliku dan berkesinambungan sepanjang kehidupan manusia di bumi
ini.
Harapan kita di tahun baru Hijriyah
ini agar muncul pemimpin yang mampu membawa bangsa ini ke arah yang lebih
bermartabat. Politik yang solid, ekonomi yang stabil, mata uang yang kuat,
pendidikan yang berkeadaban, hukum tidak tumpul ke atas namun runcing ke bawah
adalah bagian dari ciri bangsa yang bermatabat yang semuanya dimulai dari sosok
pemimpin harapan, bijak dan cerdas, serta tidak jahil. Selamat Tahun Baru
Islam, 1437 Hijriah!
Dimuat Tribun Timur, 16/10/2015.
*Ilham Kadir, Peserta Kaderisasi
Seribu Ulama, Baznas-DDII; Mahasiswa S3 UIKA Bogor.
Comments