Hijrah dan Krisis Kepemimpinan
Buruknya kepemimpinan kota Mekah yang dikelolah oleh para pemuka
Quraisy termasuk Abu Jahal adalah bagian yang tak terpisahkan untuk mendorong
Nabi Muhammad melakukan hijrah pada tahun ke-13 kenabian bertepatan dengan 622
Masehi di Yatsrib sebuah kota kecil yang penduduknya mayoritas berprofesi
sebagai petani.
Yastrib, yang kemudian berubah nama menjadi Madinah adalah
akronin dari Madinatun-nabiy atau Madinatur-rasul, dalam bahasa Indonesia dapat
diartikan sebagai "Kota Nabi" yang berjarak 250 kilo arah Uatara
Koata Mekah.
Istilah itu melekat pada kota Madinah sebab ketika Nabi
Muhammad mengambil alih estafet kepemimpinan, segala bentuk aturan dan
hukum-hukum berlaku di sana adalah berdasarkan dengan wahyu dan ijtihad Nabi.
Di sinilah peradaban Islam mulai bersinar terang yang cahayanya menyinari
belahan bumi lainnya, selain jazirah Arabia, lalu menjalar ke Afrika, Eropa,
hingga di kepulauan Nusantara, termasuk Indonesia.
Dan patut dicatat, keberhasilan agama Islam menyebar hingga
ke berbagai belahan dunia lainnya, dimulai dari kepemimpinan Nabi di Madinah,
kepemimpinan yang kuat dan solid, membangun kekuatan dari dua arah. Ke dalam,
Rasulullah melakukan konsolidasi dan penataan, mencari titik lemah dari
komunitasnya, mendidik yang jahil agar menghilangkan kebiasaan jahiliyahnya,
membersihkan sisa-sisa kemusyrikan, hingga memangkas dan menindas para pelacur
dan penjilat dari pasukannya.
Semua dilakukan dengan pembinaan jiwa (tarbiyah ruhiyyah)
yang materi dan metodologinya bersumber dari wahyu sehingga terbebas dari
segala kesalahan dan penyimpangan.
Krisis Kepemimpinan
Tidak berlebihan jika dikatakan, sumber utama masalah umat
Islam pasca wafatnya Nabi Muhammad adalah krisis kepemimpinan. Artinya para
pemimpin yang datang dan duduk sebagai penguasa kerap melahirkan masalah yang
tak jarang menuju pada perpecahan. Walaupun harus diakui, bahwa para pengganti
posisi Nabi sebagai pemimpin pada abad pertama khususnya para khulafa'urrasyidin,
hingga abad kedua setelah peristiwa hijrah, sangat berhasil mencetak ulama dan pemimpin
unggulan hingga agama Islam berkembang pesat.
Namun sekarang lain ceritanya, hampir seluruh negara Islam
mengalami kerapuhan dalam kepemimpinan sehingga gejolak internal dalam sebuah
negara Islam atau berpenduduk muslim kerap muncul. Sebagaimana yang terjadi di
Timur Tengah saat ini mulai dari Libanon, Mesir, Irak, Libya, Palestina, Yaman,
dan Suriah. Negara yang terakhir disebut sekarang sedang begejolak karena
pemimpinnya, Bashar Assad sedang menggunakan Iran (Syiah) dan Rusia (Komunis)
untuk melakukan genosida pada rakyatnya sendiri. Sebuah potret kepemimpinan
yang tidak dapat dibenarkan sejak zaman batu, bahkan sebelum manusia pertama diciptakan.
Pun jika berbicara mengenai Indonesia, negara dengan penduduk
muslim terbesar di dunia, juga selalu mengalami krisis kepemimpinan sehingga
menjalar pada lemahnya posisi tawar di mata dunia internasional, pertumbuhan
ekonomi yang lesu, krisis moneter, angka pengangguran dan kemiskinan terus meningkat,
dan berbagai persoalan lainnya.
Setidaknya ada tiga problem akan muncul disebabkan oleh
krisis kepemimpinan yang melanda umat Islam dewasa ini sebagaimana berikut:
Pertama. Krisis Keterbelakangan. Sebuah fenomena yang tengah
melanda umat dan tentu saja sangat menyedihkan. Kita tidak lagi menjadi
pemimpin umat manusia secara global, walaupun masih memiliki elemen-elemen
utama untuk memimpin terutama adanya metode-metode yang bagus dan paten dalam
al-Qur'an dan Sunnah, namun problemnya adalah ketidakberdayaan umat untuk
merealisasikannya.
Kedua. Krisis efektifitas. Kenyataan penting yang hilang
dari kesadaran kita adalah bahwa umat ini diciptakan dengan berkesinambungan
bukan diciptakan untuk menjalankan perannya kemudian selesai sebagaimana halnya
umat-umat terdahulu. Namun sungguh disayangkan sebab kita seakan lupa posisi,
sesungguhnya, "Kalian adalah umat terbaik yang dilahirkan untuk
manusia", (Ali Imran: 110).
Standar kebaikan ini digariskan oleh Rabi' bin Amir ketika
ia berkata, Allah mengutus kami untuk mengeluarkan umat manusia kepada
penyembahan Tuhan manusia, dari kesempitan dunia menuju keluasannya dan dari
penindasan agama menuju keadilan Islam. Pada kesempatan lain, Amru ibn Ash
menggambarkan keefektifan bangsa Romawi ketika dia berkata, Aku mendengar Rasulullah
bersabda, Hari kiamat akan datang ketika dunia didominasi oleh orang-orang
Romawi. Lalu ia menyebutkan beberapa sifat mereka seperti: orang Romawi adalah
paling bijak ketika terjadi fitnah; paling cepat sadar ketika tertimpa bencana;
paling cepat kembali untuk berperang setelah pasukannya tercerai-berai; paling baik terhadap orang miskin, anak yatim,
dan golongan lemah; kebaikan yang paling indah, karena mereka adalah bangsa
paling bisa mencegah kezaliman penguasa, (HR Muslim, no. 2897).
Inti permasalahan bukan terletak pada kuantitas, melainkan
usaha dan kerja keras, orang Romawi bekerjasama dengan masyarakat dan saling
memberikan respon. Mereka membantu orang-orang miskin, dan memberikan
pertolongan dan perlindungan. Romawi adalah bangsa yang mencari solusi, selalu
mengkaji, meneliti, menganalisa, lalu keluar dari petaka dan masalah yang
menimpa.
Kelemahan umat Islam dewasa ini adalah ketidakmampuan dalam
berinteraksi lalu memberikan pengaruh pada bangsa lain, bahkan untuk bangsa dan
negaraa sendiri pun pemimpin tak kuasa memberikan pengaruh pada masyarakatnya,
dan pada tahap tertentu, dalam tatanan sosial kemasyarakatan, dan dalam unit
terkecil, sebuah kepala keluarga, tak mampu membangun komunikasi dengan anggota
keluarganya, bahkan dalam institusi pendidikan, seorang guru sudah kehilangan
wibawa dari anak didiknya, dan pemimpin perusahaan kehilangan kepercayaan dari
para staf dan karyawannya, bahkan menteri membangkang pada presiden dan
wakilnya.
Jadi, pada dasarnya krisis kita adalah kelemahan bahkan
ketidakberdayaan dalam memberikan pengaruh dan pembetukan pola pikir,
meluruskan nilai-nilai yang rusak lalu menggantikannya dengan nilai-nilai yang
benar. Itulah krisis. Padahal, kita memiliki unsur-unsur untuk memberi
pengaruh. Kita memiliki kualitas yang banyak, metode, dan juga fitrah, namun
hanya seperti buih di lautan, atau eceng gondok di rawa yang tumbuh subur, tak
berakar, dan terombang-ambing oleh aliran sungai.
Ketiga. Krisis Kesadaran. Kesadaran akan nilai kepemimpinan
dan bahwa kepemimpinan merupakan beban yang berat dan amanah yang
dipertanggungjawabkan dunia akhirat. Umar ibn Khattab berkata, Demi Tuhan! Aku
tidak bisa salat dan tidur dengan tenang. Sungguh aku membaca sebuah surah
dalam al-Qur'an, namun aku tidak tahu apakah aku ada di awalnya atau di
akhirnya, karena kesusahanku memikirkan manusia sejak aku menerima berita ini,
yaitu sejak aku memangku jabatan Amirul Mu'minin.
Ketika kesadaran akan nilai sebuah kepemimpinan telah sirna,
maka cinta kedudukan dan jabatan serta usaha saling memperebutkannya pun akan
menguasai hati manusia, dan berlomba-lomba untuk menjadi penguasa dengan cara
apa pun, termasuk curang dan menipu. Hal ini akan berakibat pada hilangnya
energi dan potensi dengan sia-sia dalam segala aspek, dan tatanan sosial
kemasyarakatan akan rusak dengan lahirnya tipe pemimpin gila kuasa. Maka kita
pun seakan menempatkan orang yang tepat pada posisi yang tidak tepat, atau
memang orang yang salah pada posisi yang salah, sama dengan mengangkat orang
yang jahil dan mengabaikan mereka yang cerdas dan mampu menjadi pemimpin
panutan.
Lemahnya mental dalam diri kita adalah bagian dari masalah
umat saat ini. Kelemahan dalam mendiagnosa diri sendiri, mengenal identitas
kita, hingga tak mampu mengenal Tuhan dengan baik. Karena itu kita butuh
langkah-langkah yang tetap dan terarah untuk keluar dari kisis yang menimpa
umat diakibatkan oleh hilangnya karakter pemimpin yang dapat menjadi wakil
Tuhan di muka bumi, khalifatullah fil ardhi bukan musuh-musuh Allah yang
terdiri dari setan dan iblis (junudu iblis).
Umar ibn al-Khattab selalu meminta perlindungan dengan
berdoa, Ya Allah. Aku berlindung kepada-Mu dari semangatnya orang fasik dan
lemahnya orang bertakwa, ada yang bertanya, Apakah Anda yakin bahwa sebuah
negara yang makmur bisa hancur? Ya, jika orang-orang jahat menguasai
orang-orang baik, jawab Umar. (Ibnul Qayyem, al jawab al-kafi liman sa'ala 'an
ad-Dawa' asy-Syafi').
Tahun baru Hijriyah ini yang bertepatan dengan 14 Oktober
2015 adalah tahun kepemimpinan sebab rakyat Indonesia akan menghelat pemilihan Kepala
Daerah serentak di ratusan kabupaten dan kota. Kita semua berharap agar
dikaruniai pemimpin yang berkarakter Nabi, menegakkan keadilan, membela yang
lemah, hukum tak pandang bulu, membangun daerah dan bangsa dengan ilmu bebasis
riset dan penuh dengan nilai-nilai ketuhanan. Selamat Tahun Baru Islam 1437 Hijriyah!
Oleh: Ilham Kadir,
MA. Kandidat Doktor Pendidikan Islam Universitas Ibn Khaldun (UIKA) Bogor.
Comments