Kontroversi Hadiah Al-Fatihah
Artis berbakat berdarah Aceh,
Teuku Wisnu yang menjadi pengikut salah satu
komunitas dakwah terbesar di
Indonesia, Rodja yang berpusat di Cileungsi Bogor. Manhaj mereka adalah salafus-shalih
yang sering disingkat salafi. Mereka memang terkenal getol mengampanyekan
berbagai macam sunah rasul dan melawan segala bentuk kemungkaran.
Corong dakwah Rodja adalah radio, televisi, sosmed, serta ragam
publikasi ilmiah lainnya. Sayangnya, komunitas ini kerap memicu polemik
internal umat, metode dakwahnya seakan memasarkan teologi tidak ramah
lingkungan.
Masalah bermula ketika suami
dari aktris tenar Shireen Sungkar itu menjadi host pada salah satu acara
religi sebuah stasiun televisi swasta dengan tema “Hadiah bacaan al-Fatihah
adalah bid’ah dan tidak sampai pahalanya ke mayat”. Sontak saja banyak yang
protes terutama kalangan netizen, dan melontarkan kata-kata tidak sopan
pada sang artis yang sesungguhnya bertanggung jawab adalah para penyedia konten
yang berasal dari komunitas Rodja. Lalu bagaimana pandangan ulama mengenai
kiriman hadiah al-Fatihah pada orang yang telah wafat? Ikuti saya.
Pendapat
pertama menekankan bahwa pada dasarnya seseorang boleh saja mengirim pahala
untuk orang lain, atau bersedekah dengan amal ibadah seperti puasa, salat, hadiah
bacaan al-Qur’an mulai dari surah al-Fatihah hingga an-Nas, serta beragam doa
dan ibadah lainnya.
Golongan
ini berpegang pada pendapat berdasarkan sebuah
riwayat yang bersumber dari Ibnu Abbas bahwa seorang wanita dari
Juhainnah datang kepada Nabi dan bertanya, Sesungguhnya ibuku bernadzar untuk
haji, namun belum terlaksana sampai ia meninggal, apakah saya harus melakukah
haji untuknya? Rasulullah menjawab, Ya, bagaimana pendapatmu kalau ibumu
mempunyai hutang, apakah kamu membayarnya? Bayarlah hutang Allah, karena hutang
Allah lebih berhak untuk dibayar, (HR Bukhari).
Pendapat
lembaga fatwa yang paling kredibel di Jazirah Arabia, Lajnah Daimah Lil
Buhutsil Ilmiyah Wal Ifta’ ketika ditanya, Bolehkah saya menghajikan kedua
orang tua saya yang sudah meninggal karena saat hidupnya tidak mampu haji,
keduanya miskin, dan apa hukumnya? Jawabannya, boleh bagi saudara untuk
menghajikan kedua orang tua atau mewakilkan kepada orang lain untuk menghajikan
keduanya, asalkan saudara atau orang-orang yang akan menghajikan sudah pernah
menunaikan ibadah haji. Namun, apakah berhaji dapat dianalogikan dengan ibadah
lainnya? Kasus ini melemparkan kita pada pendapat kedua.
Golongan
ini menyatakan dengan tegas bahwa
tidak boleh mengirim pahala kepada orang yang telah wafat dengan cara apa pun,
apalagi mengirim hadiah bacaan al-Qur’an. Bersandar pada dalil, Seorang yang
berdosa tidak akan memikul dosa orang lain. Dan bahwasanya manusia tidak akan
memperoleh [kebaikan] kecuali apa yang telah ia usahakan, (An-Najm : 38-39).
Dalam menafsirkan ayat ini, Ibnu Katsir menyatakan bahwa tidak dinukil dari
seorangpun sahabat bahwa mereka pernah mengirim bacaan al-Qur’an kepada
orang-orang yang telah mati. Kalau sekiranya perbuatan itu baik tentulah para sahabat
Nabi telah mendahului kita mengamalkannya (laukana khairan lasabakuna ilaihi).
Berkata Imam
Syafi’i, Bacaan al-Qur’an tidak akan
sampai hadiah pahalanya kepada orang yang telah mati. Karena
bacaan tersebut bukan dari amal dan usaha mereka.
Karena itu Rasulullah tidak pernah mensyariatkan umatnya untuk
menghadiahkan bacaan al-Qur’an kepada orang yang telah mati dan tidak juga
pernah menggemarkannya atau memberikan petunjuk kepada mereka baik dengan nash
(dalil tersurat) dan tidak juga dengan
isyarat (dalil tersirat). Dan dalam masalah peribadatan hanya
terbatas pada dalil tidak boleh dipalingkan dengan bermacam qiyas (analogi)
dan ra’yu (logika).
Berfatwa
Syeikhul Islam Ibnu Taimiyah. Tidak menjadi kebiasaan
salaf, apabila mereka salat sunat atau puasa sunat atau haji
atau mereka membaca al-Qur’an lalu mereka menghadiahkan pahalanya kepada
orang-orang yang telah mati dari kaum muslimin. Maka tidaklah boleh berpaling
[menyalahi] perjalanan salaf. Karena sesungguhnya kaum salaf itu lebih utama dan lebih sempurna.
Pendapat
ketiga. Menyatakan bahwa pada dasarnya
mengirim bacaan al-Fatihah kepada orang yang telah meninggal dibolehkan dengan
syarat hanya dijadikan sebagai washilah dan doa untuk si mayat. Bahkan para
ulama, termasuk Imam Nawawi berpendapat bahwa mengirim bacaan al-Fatihah
dibolehkan dengan tujuan keselamatan (lil-injah) bagi diri sendiri dan
orang lain.
Surah
al-Fatihah memang dikenal dengan berbagai macam kegunaan dan khasiatnya, bahkan
digunakan sebagai jampi pun sangat mujarab, sebagaimana keterangan sebuah
riwayat dari Abu Sa’id al-Khudri, bahwa dahulu ada sekelompok sahabat
Rasulullah berada dalam perjalanan safar, lalu melewati suatu kampung Arab.
Kala itu, mereka meminta untuk dijamu, namun penduduk kampung tersebut enggan
untuk menjamu mereka. Penduduk kampung tersebut lantas berkata pada para
sahabat yang mampir, Apakah di antara kalian ada yang bisa menjampi karena
pembesar kampung tersebut tersengat binatang atau terserang demam? Di antara
para sahabat lantas berkata, Iya ada. Lalu ia pun mendatangi pembesar tersebut
dan ia menjampinya dengan membaca surah al-Fatihah. pembesar itu pun sembuh.
Lalu yang membacakan jampi tadi diberikan seekor kambing, namun ia enggan
menerimanya sampai kisah tadi diceritakan pada Nabi kemudian ia mendatangi Nabi
dan menceritakan kisahnya. Ia berkata, Wahai Rasulullah, aku tidaklah menjampi
kecuali dengan membaca surat al-Fatihah. Rasulullah lantas tersenyum dan
berkata, Bagaimana engkau bisa tahu bahwa
al-Fatihah adalah jampi? Lalu bersabda, Ambil kambing tersebut dari mereka dan potongkan untukku sebagiannya
bersama kalian, (HR. Bukhari dan Muslim).
Nampaknya
golongan ketiga ingin mengambil jalan tengah. Tidak menelam bulat-bulat, dan
tidak pula menolak mentah-mentah. Terlihat lebih realistis walaupun bagi siapa saja
dapat memilih salah satu dari tiga pendapat di atas dengan konsekwensinya
sendiri-sendiri.
Sejatinya
perbedaan ini telah ada jauh sebelum Indonesia wujud, ulama dari zaman ke zaman
pun telah mempersoalkan boleh tidaknya mengirim pahala bacaan al-Fatihah. Maka,
jika ada yang mengatakan tidak boleh dan masuk dalam kategori bid’ah munkar,
sebaiknya harus disikapi dengan bijak.
Masalah khilafiah dalam internal umat Islam khususnya yang terkait dengan
furui’iyah (ranting) agama adalah lumrah adanya.
Yang justru
harus dipersoalkan adalah jika terkait masalah ushul (pondasi) agama
yang berbeda, seperti berbeda rukun Islam dan rukun Iman; memandang bahwa al-Qur’an
bukan kalamullah (firman Allah) tapi hanya produk budaya (muntaj tsaqafiy); sainslebih hebat dari mukjizat; tidak ada siksa kubur, dan semisalnya.
Memang, umat
harus cerdas dalam memetakan persoalan. Sebab jika terlalu gampang
memperdebatkan hal-hal yang remeh lalu akur pada masalah-masalah inti pasti
akan mengalami kerugian. Karena itu, para dai, terutama yang masih mentah dan
belum matang namun sudah berani mengeluarkan fatwa terkait masalah khilafiyah
tanpa dibarengi dengan penjelasan yang memadai hanya akan memperkeruh suasana.
Alih-alih mencerahkan, yang terjadi malah memantik perpecahan, khususnya mereka
yang mudah tersulut api amarah alias bersumbu pendek. Wallahu A’lam!
Tebet, 9 Sep.
2015. Dimuat Harian Tribun Timur, 11 September 2015
Ilham Kadir. Peneliti
Majelis Intelektual-Ulama Muda Indonesia (MIUMI); Kandidat Doktor Universitas
Ibn Khaldun (UIKA) Bogor.
Comments