Memuliakan Al-Qur'an

Jelang puasa, sang menteri kembali berkicau lewat
twitter, isinya, warung-warung makan tetap buka seperti biasa, karena orang
puasa harus menghormati yang tidak puasa. Sontak, banyak tanggapan bermunculan,
pernyataan Menag di atas dinilai terbalik karena yang tidak puasa semestinya
menghormati yang berpuasa.
Seakan tidak ada habisnya, pemerintah kembali
menuai kritik dari berbagai eleman. Pemicunya lagi-lagi berhubungan dengan
Al-Qur’an. Dalam acara Ijtima Ulama Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI)
se-Indonesia di Pondok Pesantren Attauhidiyah, Tegal, Jawa Tengah, Senin
(8/6/2015).
Permasalahannya yang ngaji cuma kaset dan
memang kalau orang ngaji dapat pahala, tetapi kalau kaset yang diputar,
dapat pahala tidak? Ini menjadi polusi suara, kata Pak JK yang juga menjabat Ketua Dewan Masjid Indonesia (DMI).
Ini dilatari oleh pengalamannya ketika pulang kampung ke Bone, Sulawesi
Selatan. Dirinya merasa terganggu dengan suara pengajian yang disiarkan empat
masjid di sekitar rumahnya. Di sana, kaset pengajian mulai diputar pukul 04.00,
padahal salat subuh baru dimulai jam 05.00.
JK lalu meminta agar pengatur suara di masjid ditata
secara rapi dan tidak perlu dimaksimumkan, empat masjid seolah 'berkelahi'.
Kita bikin aturan suara tidak boleh saling melampaui. Kalau masjid jaraknya 500
meter, hanya boleh dipasang untuk 250 meter, ujarnya. Ia pun berharap supaya
MUI turut mengatur masalah pengeras suara dan pemutaran kaset tilawah di
masjid.
Tak plak lagi, pernyataan Wapres berdarah Bugis
di atas menuai banyak tanggapan. Ustad Yusuf Mansur misalnya, dengan tegas
meminta maaf kepada siapa pun yang merasa terganggu jika selama ini suara-suara
tilawah Al-Qur’an diputar di masjid. Pasalnya, menurut pengalaman dai kondang
ini, justru dengan banyak memperdengarkan suara baca Al-Qur’an akan
mendatangkan banyak manfaat bagi pendengarnya. Bahkan dirinya sendiri dapat
menjadi seperti sekarang berkat suara-suara Muammar ZA yang selalu ia dengar
dari toa masjid dekat rumahnya di waktu masih kecil.
Prof. Dr. KH Ahmad Satori Ismail, Ketua Umum
Ikatan Dai Indonesia (IKADI) ketika menanggapi pernyataan Wapres menyatakan
bahwa penggunaan kaset rekaman di masjid masih diperlukan masyarakat. Sebab
justru itu untuk mengingatkan kaum muslimin supaya beribadah. “Karena
masyarakat masih butuh untuk diingatkan bangun pagi, maka sering kali beberapa
masjid memperdengarkan ayat-ayat Al-Qur’an agar jamaah cepat bangun,”
jelasnya sebagaimana dilansir ROL
(8/6/2015).
Ketua Komisi Dakwah Majelis
Ulama Indonesia Pusat (MUI) Cholil Nafis, Ph D menilai
meskipun mendengar bacaan Al-Qur’an dengan kaset tetap bisa ditelaah. Menurutnya sebagaimana dikutif ROL, tak semua yang
memutar melalui kaset itu tidak berpahala. Karena tadabbur Al-Qur’an dengan
kaset pun bisa dilakukan, (9/6/2015). Nafis melanjutkan, memutar kaset bacaan
Al-Qur’an itu bagian dari mengingatkan menjelang waktu salat. Hal
tersebut sangat diperlukan. Meskipun memang, pengajian itu jangan terlalu dini
hari sebab dikhawatirkan mengganggu.
Namun pernyataan JK tidak semuanya bersebrangan
dengan para ulama. Bahkan polemik serupa terjadi di Malaysia beberapa bulan
lalu, saat itu Mufti Perlis Datuk Dr Mohd Asri Zainal Abidin dengan tegas
melarang memperdengarkan baca Al-Qur’an dengan pengeras suara menjelang waktu
salat kaerena akan mengganggu orang lain yang sedang istirahat. Atau dapat
mengganngu konsentrasi jamaah lain yang sedang khusyuk beribadah dalam masjid.
Katanya, Jika memasang kaset bacaan Al-Quran sebelum masuk waktu salat seperti salat
Subuh, tentu akan menggangu orang lain di lingkungan masjid atau surau, yang
mungkin sedang tidur, dan ini dilarang oleh Islam, ujarnya sebagaimana dikutif,
Hidayatullah.com (14/3/2015).
Pernyataan JK dan Mufti Perlis di atas mendapat
pijakan kuat dari berbagai dalil, baik Al-Qur’an maupun sunnah. Firman Allah, Dan
sebutlah (nama) Rabbmu dalam hatimu dengan merendahkan diri dan rasa takut, dan
dengan tidak mengeraskan suara, di waktu pagi dan petang, dan janganlah kamu
termasuk orang-orang yang lalai. (al-A’râf[7]:205). Ayat lain yang serupa
maknanya, Dan apabila dibacakan Al-Qur’an, maka dengarkan, lalu diamlah,
agar kamu dirahmati, (al-A’raf[7]:204). Ketika Al-Qur’an diperdengarkan melalui
toa, orang-orang tidak terlalu peduli dan cendrung abai sehingga sangat sulit
untuk mentadabburinya.
Senada dengan sunnah, bersumber dari Abdullah bin
Umar, bahwa Nabi melewati para sahabatnya [di malam hari], sedang mereka masing
melakukan salalat di masjid sambil mengeraskan suara dengan bacaan Al-Qur’an.
Melihat keadaan itu, Nabi pun bersabda, Sesungguhnya orang salat itu bermunajat
kepada Tuhannya, maka hendaklah memperhatikan kepada siapa ia bermunajat, dan
janganlah saling mengeraskan bacaan Al-Qur’an di antara kalian, (HR. Ahmad).
Masih bersumber dari sunnah, dari Abu Said al-Khudri bahwa Nabi sedang melakukan i’tikaf di masjid, maka ia
pun mendengarkan para sahabat membaca Al-Qur’an dengan suara keras, lalu beliau
membuka tabir dan bersabda, Sesungguhnya kalian bermunajat pada Tuhan, maka
janganlah saling mengganggu di antara kalian [dengan masing-masing mengraskan
suara], dan janganlah saling berlomba mengangkat suara ketika baca Al-Qur’an,
(HR. Abu Dawud, Nasai, Hakim).
Membaca Al-Qur’an di masjid dengan suara keras,
terutama dalam salat sunat juga terjadi pada era kepemimpinan Abu Bakar dan
Umar, bahkan tarawih pada masa Khalifah Abu Bakar, umat Islam melaksanakan salat
sendiri-sendiri atau berkelompok tiga sampai enam orang perkelompok. Ketika
itu, salat tarawih dengan satu imam di masjid belum ada, dan pelaksanaannya
belum tertata, dan cenderung semrawut.
Setelah Sayyidina Umar mengamati fenomna itu,
gagasan pun muncul dalam pikirannya untuk mengumpulkan para sahabat agar
melaksanakan salat tarawih di dalam masjid dengan satu imam.
Dalam sebuah atsar dikisahkan, Dari ‘Abdirrahman
bin ‘Abdil Qori’ beliau berkata, Saya keluar bersama Sayyidina Umar bin
Khatthab ke Masjid pada bulan Ramadan. Didapati dalam masjid orang yang salat
tarawih berbeda-beda. Ada yang salat sendiri-sendiri dan ada juga yang salat
berjamaah. Lalu Umar berkata, Saya punya pendapat andaikata mereka aku
kumpulkan dalam jamaah satu imam, niscaya itu lebih bagus. Lalu beliau
mengumpulkan kepada mereka dengan seorang imam, yakni sahabat Ubay bin Ka’ab.
Kemudian malam berikutnya, kami datang lagi ke masjid. Orang-orang sudah
melaksanakan salat tarawih dengan berjamaah di belakang satu imam. Umar berkata,
Sebaik-baiknya bid’ah adalah ini salat tarawih dengan berjamaah, (HR: Bukhari).
Berdasarkan dalil-dalil di atas, maka hemat
penulis, pernyataan Pak JK semestinya ditanggapi lebih bijak tidak usah terlalu
reaktif. Akan lebih bermanfaat jika momentum ini dipakai untuk mendorong
pihak-pihak yang terkait termasuk MUI agar memberikan penyadaran kepada umat
bahwa memutar kaset tilawah sebelum datang waktu salat harus proporsional.
Tidak usah terlalu lama dengan suara bertalu-talu antara satu masjid dengan
masjid lainnya hingga mengganggu orang-orang yang sedang istirahat atau beribadah.
Banyak cara memuliakan Al-Qur’an sesuai sunnah
karena ibadah adalah perkara tauqifi atau telah jelas pijakan dalilnya,
dan tidak ada satupun dalil yang menyerukan untuk memperderngarkan suara
mengaji baik melalui bacaan sendiri apalagi dengan kaset murattal dan pembesar
suara di masjid. Kendati pada esensinya masih mendatangkan beberapa manfaat,
terutama untuk mengingatkan umat Islam akan masuknya waktu salat fardhu. Wallahu
A’lam!
AQL
Tebet-Jakarta, 10 Juni 2015.
Dimuat
Jumat 19 Juni 2015.
Ilham
Kadir, Peserta Kaderisasi Seribu Ulama (KSU) Baznas-DDII; Kandidat Doktor UIKA
Bogor.
Comments