Al-Jahiz: Ulama yang Mati Tertimpa Buku

Letaknya, perbatasan dengan Maros, Sinjai, dan Gowa. Kampung ini,
hingga sekarang masih belum diterangi cahaya PLN dan belum dimuluskan
jalanannya dengan aspal sehingga rakyatnya terus-menerus hidup dalam kesusahan.
Walaupun beberapa kemajuan, setidaknya ada janji dari Kepala Daerah setempat
sewaktu datang kampangye. Bagi saya, kalau rakyat dijanji itu sebuah kemajuan.
Setidaknya yang berjanji dapat ditagih di akhirat kalau ia ingkar di dunia.
Pun, ketika saya melanjutkan pendidikan tingkat
menengah di Pesantren Darul Huffadh Tuju-Tuju Bone, para santri, guru, dan sang
kiyai hidup dalam kesederhanaan penuh mujahadah. KH. Lanre Said, sebagai
pimpinan pondok adalah sosok yang sangat sederhana dan menyantri, bahkan untuk
urusan makan dia turut nimbrung bersama para guru dan santri-satrinya.
Khusus para santri, konsumsi kami, jika ditinjau dari
ilmu gizi, tentu sangat jauh dari layak, apalagi kami dalam fase pertumbuhan.
Di lain pihak, para santri harus bergelut dengan hafalan al-Qur’an dan belasan
mata pelajaran yang tidak mudah. Namun keberkahanlah yang membedakan, dengan
berkah, walau sedikit dan tidak sarat gizi, kami tetap tumbuh cerdas. Jika di
luar, kerak nasi (dekke’ nandre) dibuang dan diberikan untuk hewan, maka
di pondok bisa menjadi hidangan penutup (dessert)
yang tidak
kalah lezat dan sarat gizi. Sekali lagi, itulah makna sebuah keberkahan, tak
dapat ditembus dengan akal dan logika modern.
Dengan kondisi seperti itu, saya harus berjuang untuk
bisa hidup kaya, kalau tidak dengan harta, minimal kaya ilmu—karena hingga
detik ini pun masih saja miskin harta. Bagi kami sekeluarga, kaya ilmu jauh
lebih terhormat dengan kaya harta. Di kemudian hari baru saya mengerti,
ternyata prinsip ini juga dimiliki para nabi dan Rasul, hingga Imam Ali radhiallahu
‘anhu memiliki pesan yang spektakuler, Jika Anda mengejar harta maka engkau
akan lelah menjaga hartamu, namun jika Anda mengejar ilmu, justru ilmu akan
menjaga dirimu! Walaupun akan lebih sempurna jika kedua-duanya dicapai, kaya
ilmu dan kaya harta. Umat Islam harus kaya agar mampu membangun peradaban yang
gemilang. Bukankah kefakiran akan mendekatkan pada kekufuran?
Sebagai bentuk bagi-bagi informasi, apalagi menjelang
bulan Ramadan, maka saya turunkan sebuah tulisan yang kaya manfaat, agar dapat
menjadi energi pendorong semangat bagi yang ingin berubah menjadi manusia yang
lebih bermanfaat, terutama para pelajar, guru, dan para pencinta ilmu.
Ramadan adalah bulan ilmu, di dalamnya al-Qur’an
diturunkan sebagai kitab ilmu. Maka wajar jika umat Islam memanfaatkan momentum
ini untuk lebih giat belajar dengan berbagai metode. Baca buku, mendatangi
pengajian, mendengar ceramah, mengunjungi atau berkomunikasi dengan para alim
ulama, hingga mengajarkan ilmu yang telah ada. Bahkan sekadar duduk-duduk
dengan para ulama dan intelektual menjadi bagian dari cara belajar yang tak
kalah efektif sebagaimana yang terjadi pada seorang ulama besar polimatch
alias serba bisa, Al-Jahiz namanya. Bagaimana kisahnya? Ikuti saya.
Al-Jahiz, nama aslinya adalah Abu Amr Usman bin Bahr
al-Kinani al-Fuqaimi al-Bashri, merupakan seorang ilmuwan terkenal kesohor
Arab-Negro dari Timur Afrika, lahir di Basra, hidup sekitar tahun 781-868
Desember atau Januari 869 M. Kakeknya seorang seorang budak Negro.
Al-Jahiz dikenal sebagai penulis berbagai corak keilmuan seperti, Prosa Arab, Sastra Arab, Biologi, Zoologi, Sejarah, Filsafat Islam awal, Psikologi Islam,Teologi, dan Polemik dalam politik-agama. Melihat begitu banyak disiplin ilmu yang ia kuasai maka pantas jika Al-jahiz diberi gelar sebagai ilmuwan polimatch atau serba bisa, yang sekelas dengan Ibn Taimiyah, Ibn Sina, Ibn Rusd hingga Ibn Khaldun.
Kehidupan awal Al-Jahiz tidaklah banyak yang diketahui
selain daripada informasi mengenai keluarganya yang sangat miskin. Al-Jahiz
pada awalnya bekerja sebagai penjual ikan dan roti di sepanjang salah satu
kanal air di Basra untuk membantu keluarganya yang sangat miskin. Namun,
meskipun keuangan keluarganya sulit, tidak menghentikan semangatnya untuk
mencari pengetahuan sejak masa mudanya. Ia belajar dengan cara berkumpul dengan
para ilmuan dari masjid ke masjid di Basra hingga digelar sebagai masjidiyun,
merka ini selalu mendiskusikan berbagai
subyek ilmu pengetahuan. Dia juga rajin mengikuti berbagai kuliah yang
dilakukan dari para ahli filologi, leksikografi, dan sastrawan.
Selama rentang dua-puluh-lima tahun melanjutkan studinya, Al-Jahiz telah memeroleh pengetahuan besar tentang puisi Arab, Filologi Arab, sejarah Arab dan Persia sebelum Islam, dan ia mempelajari al-Qur’an dan Hadis, juga membaca buku-buku terjemahan dari para filsuf Yunani dan Helenistik, khususnya Aristoteles. Sebuah keberuntungan karena zaman itu, Khalifah Abbasiyah sedang dalam fase kebangkitan budaya dan revolusi Intelektualitas, sehingga pendidikannya sangat difasilitasi dengan banyaknya buku yang tersedia, sehingga belajar segala hal semakin mudah dilakukan.
Di kota Basra, Al-Jahiz menulis artikel tentang institusi kekhalifahan. Ini kemudian menjadi awal karirnya sebagai penulis, yang akan menjadi satu-satunya sumber hidupnya. Konon, ibunya pernah menawarkan sebuah nampan penuh dengan buku catatan dan mengatakan kepadanya bahwa ia akan mencari nafkah dari menulis.
Sejak itu, ia telah menulis ratusan buku sepanjang hidupnya yang membahas berbagai subyek termasuk tata bahasa Arab, zoologi, puisi, leksikografi, dan retorika. Dia menulis sejumlah buku yang spektakuler, dan banyak yang dapat bertahan hingga puluhan tahun, jika ditinjau dari teknologi penulisan di zaman itu, merupakan sesuatu yang sangat fantastis.
Pada tahun 816 M, Al-Jahiz pindah ke Baghdad, sebagai ibu kota kekhalifahan, awalnya didasarkan atas kebijaksanaan Khalifah Abbasiyah yang mengumpulkan para ilmuwan dengan mendirikan Rumah Kebijaksanaan (Bayt al-Hikmah) sebagai pusat penelitian. Di sana Al-Jahiz kemudian pindah ke Samara dengan tujuan agar mendapatkan pembaca yang lebih banyak dan untuk lebih mengembangkan dirinya. Di Kota inilah sejumlah besar buku-bukunya ditulis. Dikatakan bahwa Khalifah al-Ma'mun pernah meminta Al-Jahiz untuk mengajar anak-anaknya, tapi kemudian beliau berubah pikiran ketika anak-anaknya takut kelainan yang terjadi pada matanya, memang dijuluki “Al-Jahiz” karena memiliki goggle-eyed (mata bundar seperti ikan).
Al-Jahiz memiliki banyak karya tulis, jumlahnya
ratusan, namun yang tersisa hanya puluhan. Salah satunya, Kitab al-Hayawan
(Buku tentang Hewan), merupakan sebuah buku yang berbentuk
ensiklopedi dari tujuh volume dengan tulisan bebas, penjelasan puitis dan
peribahasa menggambarkan lebih dari 350 jenis binatang. Hal ini dianggap
sebagai karya paling penting Al-Jahiz.
Dalam Kitab al-Hayawan menahbiskan Al-Jahiz sebagai manusia pertama yang mengeluarkan ide bahwa habitat hewan mempengaruhi kehidupan dan bentuknya, di kemudian hari hal ini menjadi teori dasar dari pembentukan Teori Evolusi Darwin dan merupakan hal yang tidak dapat dijawab oleh Charles Darwin. Al-Jahiz menganggap bahwa dampak lingkungan berpengaruh terhadap kemungkinan seekor binatang untuk bertahan hidup, dan hal pertama yang dilakukan ialah menggambarkan perjuangan untuk keeksistensiannya dari keberlangsungan seleksi alam semenjak nenek moyang hewan tersebut. Kesimpulan dari teori Al-Jahiz tentang perjuangan untuk eksistensi dalam Kitab Al Hayawan telah diringkas sebagai berikut, “Hewan harus berjuang untuk eksistensinya [jenisnya], untuk sumber daya yang tersisa, untuk menghindari dimakan dan untuk berkembang biak. Faktor lingkungan turut memengaruhi suatu organisme untuk mengembangkan karakteristik baru untuk memastikan kelangsungan hidup jenisnya akan berubah menjadi spesiaes yang baru. Hewan yang bertahan akan berkembang biak dan mewariskan karakteristik [hasil perjuangan] mereka kepada keturunan."
Al-Jahiz juga yang pertama untuk membahas tentang
rantai makanan, dan menulis contoh berikut dari rantai makanan bahwa, yamuk
akan pergi mencari makanan yang mereka tahu secara naluri alamiah
(insting) bahwa darah adalah hal yang membuat mereka tetap hidup. Begitu mereka
melihat gajah, kuda nil atau hewan lain, mereka tahu bahwa kulit telah dibentuk
untuk melayani mereka sebagai makanan, dan jatuh di atasnya, mereka menusukan
giginya sampai dia yakin bahwa kedalamannya telah cukup untuk menghisap darah.
Begitu juga lalat, walaupun mereka hinggap pada berbagai jenis makanan, namaun
pada prinsipnya melakukan hal yang sama dengan nyamuk. Dan pada kesimpulannya,
semua hewan tidak bisa bertahan tanpa makanan, ada yang dengan berburu
hewan dan ada yang diburu.
Pada abad ke-11, Al-Khatib al-Baghdadi menuduh
Al-Jahiz telah menjiplak beberapa bagian dari Kitab Hewan karya Aristoteles,
tapi para ahli modern telah menemukan bahwa pengaruh Aristoteles sedikit sekali
dalam hasil karya Al-Jahiz, Al-Baghdadi mungkin tidak begitu memahami dengan
karya Aristoteles secara mendalam pada subjek. Secara khusus, bahkan dikatakan
bahwa Aristoteles tidak memilki pengaruh apapun dalam teori yang dikemukan Al-Jahiz,
termasuk ide mengenai seleksi alam, determinisme lingkungan dan rantai makanan.
Karya selanjutnya adalah Kitab Al-Bukhala (Kitab Keserakahan), merupakan kumpulan cerita tentang serakah. Humoris dan menyindir, adalah contoh terbaik dari gaya prosa Al-Jahiz.. Kitab ini mencerminkan penelitian mendalam dari seorang manusia psikolog. Jahiz menertawakan guru-guru sekolah, pengemis, penyanyi dan ahli-ahli Taurat untuk perilaku serakah mereka. Banyak cerita dari buku ini yang terus dicetak ulang dalam majalah di seluruh dunia yang berbahasa Arab. Buku ini dianggap sebagai salah satu karya terbaik Al-Jahiz.
Ada pula Kitab al-Bayan wa al-Tabyin (Buku kefasihan dan Penjelasan). Al-Jahiz dianggap sebagai salah satu penulis yang paling terkenal sepanjang masa, karena ia diyakini telah menulis selama hidupnya sekitar 360 buku, dari seluruh lapisan pengetahuan. Al-Bayan wa al-Tabyin secara harfiah berarti Fasih dan Penjelasan, adalah salah satu karya terakhirnya, di mana ia mendekati berbagai mata pelajaran, seperti pengalaman luar biasa, pidato retoris, pemimpin sektarian, pangeran, serta memberikan perlakuan sinis dan gila dari orang bodoh. Hal ini juga melahirkan sebuah buku di mana ia menyatukan keterampilan dan kefasihan bahasanya seni keheningan dan seni puisi. Buku ini dianggap salah satu karya teori dan kritik sastra Arab paling awal dalam.
Kitab al Jawari wal Moufakharat Ghilman (Kitab
puji-pujian dari selir dan kasim). Dalam bahasa Arab kata jawari adalah
jamak dari jariya, berarti seorang hamba perempuan, yang dalam
bahasa kita hari ini dikenal dipanggil "selir". Ada dua jenis hamba
perempuan, jariya, salah satu yang mengelola rumah tangga dan
menjalankan tugas sehari-hari, adalah tipe pertama. Tipe kedua dulu disebut qina
dieja qaena. Mereka adalah jariya yang memiliki kemampuan untuk
bernyanyi, yang menempatkan dirinya di atas jariya biasa. Seringkali,
gadis budak jenis itu mendapatkan banyak uang dan bermetafora menjadi
putri-putri mewah dan pedagang kaya. Kata lain dalam judul, ghilman,
adalah jamak dari ghoulam kata yang mungkin diterjemahkan sebagai pelayan
pria. Bagi kebanyakan Ahli Kitab puji-pujian pada selir dan kasim adalah
buku nakal dari sensualitas, dalam buku ini Al-Jahiz menceritakan kita dengan
cerita-cerita yang bersifat erotis yang berhubungan dengan persepsi seksualitas
pada masanya. Ada pula karangannya berupa
buku dengan judul Mufakharat Risalat al-sudan 'ala al-bidan
(Keunggulan Si Hitam dari Si Putih). Sebuah kisah akan keperkasaan kulit hitam
berbanding kulit putih. Yang dimaksud pertama adalah bangsa negro yang
merupakan klan Al-Jahiz, sedang yang kedua adalah orang Arab yang merupakan
penguasa terhadap kulit hitam.
Karya lain yang cukup penting dan merupakan karya
paling awal tentang ilmu psikologi sosial dan psikologi hewan. Al-Jahiz menulis
sejumlah karya berurusan dengan organisasi sosial dari semut dan dengan
binatang komunikasi dan psikologi. Terlalu banyak karya tulisa Al-Jahiz, karena
itu tidak mungkin dipaparkan satu per satu. Yang jelas beliau adalah ulama,
intelektual polimatch yang pernah dimiliki oleh umat Islam secara khusus
dan dunia pada umumnya.
Al-Jahiz kembali ke Basra setelah menghabiskan lebih dari lima puluh tahun di Baghdad. Dia meninggal di Basra pada 869 M. Penyebab pasti kematiannya tidak jelas, tetapi kisah populer adalah bahwa sebuah kecelakaan terjadi, dalam kondisi lumpuh, di mana tumpukan buku-buku pada perpustakaan pribadinya ambruk dan menghimpitnya hingga menjadi peyebab kematiannya. Ia meninggal pada usia 93 tahun.
Yang terpenting dari kisah hidup Al-Jahiz adalah
kegilaannya dalam menuntut ilmu, berasal dari klan negro yang berkulit hitam,
miskin, dan hidup dengan menjadi buruh penjual ikan dan roti di emperan kota
Basra, namun berkat semangat yang terpatri dalam dirinya hingga dapat berubah
menjadi seorang ilmuan yang serba bisa, dipuja-puji dan dikenang zaman. Bahkan
karyanya hingga kini tetap hidup dan jadi rujukan.
Nampaknya, perkataan Yukichi
Fukuzawa, layak disematkan pada sosok Al-Jahiz bahwa manusia tidak dilahirkan
mulia atau hina, kaya atau miskin, tetapi dilahirkan sama dengan lainnya. Siapa yang bersungguh-sungguh
belajar dan menguasai ilmu dengan baik akan menjadi mulia dan kaya, tetapi
mereka yang jahil akan melarat dan hina.
Maha benar firman Allah (Az-Zumar
[39]: 9), Apakah sama orang-orang yang berilmu dengnan orang-orang yang tidak
berilmu? Maka semua akan menjawab, Tidak! Lalu mengapa kita masih malas untuk
belajar? Padahal seorang seorang muslim harus memiliki dua syarat jika ingin
terangkat derajatnya dunia akhirat: beriman dan berilmu (Al-Mujadalah [58]: 11).
Ilmu akan menuntut seseorang beribadah dengan benar sesuai ketentuan agama (mutaba’aturrasul),
dan dapat menjadi wasilah menyebarkan agama Allah dengan ilmiah penuh hujjah.
Sedangkan iman akan menuntun seorang
muslim untuk selalu merasa diawasi oleh Allah (muraqabatullah) hingga
hidupnya tidak terjerumus dalam dunia kemunkaran dan kemaksiatan. Selamat
Menyambut Bulan Ramadan!
AQL.
Tebet-Jakarta, 8 Juni 2015.
Dimuat, Harian Go Cakrawala, 12 Juni 2015.
*Peserta Kaderisasi Seribu Ulama (KSU) Baznas-DDII/ Kandidat
Doktor UIKA Bogor.
Comments